“Tahun 1970-an awal itu kurang lebih 60 orang lebih yang berprofesi foto amatir, sekarang sih tinggal 6 orang saja. Itulah, semenjak hp sudah bisa pake motret, profesi kami sekarang sudah tidak menentu lagi”
Keluh kesah tersebut sepertinya dinikmati begitu saja, memang terlihat tanpa beban. Inilah pilihan hidup yang sudah dipilih Atoy Toyib sebagai fotografer amatir* yang beroperasi di wilayah sekitar alun-alun kota Bandung. Begitu banyak asam-garam yang dilakoninya, semenjak alun-alun yang terkenal dengan tempat transaksi “kembang Bandung” penggusuran, premanisme hingga beberapa kali menyaksikan perubahan struktur bangunan masjid. Karena konsisten semenjak tahun 70-an hingga kini, beberapa kawan-kawan seprofesi, berkelakar, memanggil Toyib sebagai Ki Buyut, selain mudah dikenali penampilan eksentrik, juga janggut putih tebal menjadikannya ciri monumen hidup di alun-alun Bandung.
Kamera merek terkenal awal tahun 80-an, tergantung kuat dilehernya. Nampak goresan sana-sini, bak ibarat kamera perang, melalui lensa 50mm inilah ia telah mendokumentasikan morfologis fashion, gaya rambut, pose remaja Bandung dari tahun tujuh puluhan hingga kini. “Ini mah jarang dipake, malahan ga ada filmnya, cuma aksi saja, biar orang tahu kalau saya adalah fotografer amatir” jelas Toyib. Penggunaan film 35mm masih juga ada yang berminat, tetapi tidak begitu banyak. Selain sebagai fotografer amatir, Toyib pun kadang menggunakan film untuk usaha foto langsung jadi, pada acara wisuda, pernikahan atau dokumentasi pas foto. “Tujuh anak saya, saya besarkan dengan kamera ini” sambil menunjuk kamera tuannya, terlihat sudah tidak berfungsi lagi. Film merupakan pilihan yang masuk akal bagi mereka, selain ekonomis, tampilan kamera ukuran 35mm masih “menjual kharisma” meskipun untuk tugas sehari-harinya ia menggunakan kamara jenis saku digital 6 megapixel.
Kini, jumlah pemotret yang aktif, berjumlah 6 orang saja, selain dirinya, ada beberapa kawan-kawan seperjuangannya turut pula mendampinginnya. Masing-masing kini menggunakan kamera digital poket. Bukan berarti mereka tidak ingin menggunakan jenis kamera yang DSLR yang layak, tetapi, bagi mereka benda tersebut masih jauh diangan-angan karena mahal. Bisa dikatakan, profesi terhormat seperti ini tampaknya jauh dari perhatian pemerintah, atau malah dari kapitalis penguasa usaha fotografi di Bandung. Tanpa kehadiran mereka, lab-lab foto di Bandung tentunya akan gulung tikar, karena tidak ada “order” proses film.
Kurang lebih awal tahun 1970-an, ia mulai mangkal di depan masjid Agung Bandung. Terhitung, pemotret amatir tahun tersebut adalah hampir 60 orang, dengan jam kerja dari pukul tujuh pagi hingga enam sore. Karena begitu banyaknya pelaku usaha ini, maka Toyib dan kawan-kawan mendirikan paguyuban, yang disebut Gabungan Fotografer Amatir Bandung. Sekretariat tidak resmi didirikan di bawah jembatan penghubung dari alun-alun ke bangunan masjid Agung (sebelum tahun 80-an). Pada saat itu dekepalai oleh Kapten Mahmud, kemudian dilanjutkan Atang Taher dan Ade. Seiring pembangunan masjid, jembatan penghubung ini dihilangkan, kemudian bagian masjid maju kebagian depan jalan, tentu saja sekretariat tidak resmi ini pindah. Terakhir dipimpin oleh Komar, di depan penyebrangan penghubung daerah Banceuy.
Sistem kerja yang mereka kembangkan memang sungguh unik, karena mereka secara aturan tidak tertulis tidak mempunyai hak menguasai wilayah tertentu, karena masing-masing bergerak tanpa dibatasi ruang pembagian wilayah. Latar belakang yang disukai pemesan foto biasanya berlatan gedung Bank Rakyat Indonesia BRI, atau kubah masjid Agung. Pada masa lalu, harga jasa untuk ukuran 4R, ditebus seratus lima puluh rupiah, untuk film negatif hitam putih, termasuk klisenya. Sedangkan untuk penggunaan kamera Polaroid, dihargai seribu rupiah. Penggunaan kamera langsung jadi inipun tidak bertahan lama, hanya sekitar tiga tahun, terhitung dari tahun 1987 hingga 1989, karena dianggap begitu kurang populer lagi, selain itu hasil kurang optimal dan harga relatif mahal.