Pekerjaan paling aneh yang dilakukan pada masa kini. Selain selalu bekerja dikotak gelap, harga jasa yang terlampau murah dan pengguna jasa semakin pudar. Itulah “Apdruk Poto Kilat” terima cetak kilat, lima menit langsung jadi!
Tangan cekatan itu, menyelipkan negatif format 135 milimeter dibalik bingkai, yang telah dibuatnya, sehingga foto tampak sebagian saja. Sang pelanggan duduk manis, sambil menghisap sebatang rokok. Ia menutupi badannya dengan menggunakan terpal terbuat dari bagor bekas, yang terpaku di atas atap gerobak, dengan demikian, setengah badannya bisa dianggap “light proof” masuk kedalam kamar gelap. Hanya kaki beralas sandal capit biru saja yang masih tersinari matahari. Nyaris tidak ada suara, entah apa yang sedang ia lakukan, namun imajinasi saya membayangkan, ia sedang mengatur fokus, jarak antara kertas foto dan banyangan yang diproyeksikan, dari lensa yang ia beli bekas seharga lima puluh ribu rupiah. Ia bekerja senyap. Kertas buatan Cina ia selipkan dibagian bawah lensa, diatas tatakan yang bisa diatur ketinggiannya, menangkap refleksi bayangan.
Tanpa bantuan lampu pengaman (baca safelight, biasanya berwarna merah) ia meraba gambar dalam gelap, hanya menggunakan “perasaan saja” jawabnya. Sebuah lubang yang terletak di bagian atas atap gerobak, berfungsi sebagai sumber cahaya, menetes lewat lensa untuk direfleksikan. Satu detik, dua detik, tiga detik, cukup, gumannya dalam hati, semacam stopwatch ekspos yang ditanam dalam indera perasanya. Sungguh berungtung, pukul sepuluh lewat setengah, matahari bisa bersahabat, masih bisa diajak kompromi untuk pekerjaannya. Didalam kegelapan, tangannya lincah menggerayangi kertas ukuran 3R yang sudah di ekspos, bagaikan menggoreng kerupuk, gambar pun mengembang di dalam larutan developer. Sedikit senyum muncul diwajahnya, rupanya larutan “agak” kadaluarsa ini masih bisa diajak kerja sama. Bilasan terakhir di ujung nampan sebagai larutan penetap, permbeku waktu. Langkah terakhir, di ujung ember tua kotor, karena larutan developer itu adalah saksi, telah ribuan foto warga Bandung dicuci didalamnya. Tanpa air mengalir, cukup di rendam dan diulas tangan. ya, sudah beres!. Hingga hisapan batang rokok terakhir pelanggan, menandai proses cetak-foto telah selesai, uang tiga ribu rupiah berpindah tangan.
Panggil saja Otoy, pemilik nama lengkap Toto kelahiran Tasikmalaya tahun 1972 ini, mengawali karirnya sebatas hanya membantu membilas foto hasil cetak, kemudian dikeringkan menggunakan panas pancaran petromax (foto disimpan di atas tutup bagian atas petromax) pemilik gerobak itu adalah kakak kandungnnya, Engkos, tahun 1986 lalu. Kini, ia telah memiliki roda sendiri. Tulisan besar “Apdruk Poto Kilat” terpampang paling besar didepan gerobak mungil berukuran satu meter ke satu meter enam puluh. “Apdruk” yang dimaksud adalah bahasa serapan dari bahasa Belanda, Afdruk, dalam kamus besar Indonesia adalah af•druk n cak hasil mencetak film
Untuk urusan modal, bisa dianggap murah, karena teknologi teknik cetak, nyaris tidak pernah berubah dari tahun-ketahun. Dengan modal gerobak kedap cahaya, lensa untuk memproyeksikan gambar dari negatif, kertas foto ukuran 3R dan larutan kimia; Minigrain dan Hypo/Fixer. Pada masa lalu, menggunakan petromax, sebagai alat bantu untuk mengeringkan kertas foto, namun semakin tidak rasionalnya harga minyak tanah, maka metode pengeringan ini tidak lagi digunakan, cukup dilap dengan kain dan dijemur di atas atap gerobak, tunggu lima menit, selesai. Untuk urusan kertas, masih tersedia di jalan Cibadak, Kamal photo suply jalan Braga atau di Amir photo service depan statsiun braga.
Pada tahun tersebut, adalah masa keemasan jasa cetak pas foto. Terhitung lebih dari sepuluh gerobak yang beroperasi di depan kantor pos, Kosambi Bandung, dan sebagian lagi di sepanjang jalan Malabar-Ahmad Yani (pintu rel kereta api). Kini, tinggal satu gerobak saja yang teronggok di depan kantor pos Kosambi. Semua berasal dari luar Bandung, dan diwariskan kepada anak atau adiknya, untuk melanjutakan usaha ini. Sebut saja, Didin, Daim dan anaknya Endang berasal dari Singajaya Garut, Salim dan kakaknya Uwa Ajuh berasal dari Subang dan gerobak yang selalu mangkal di pintu masuk kantor pos adalah milik kakak beradik Engkos dan Toto dari Tasikmalaya. Menurut Ina Junaedi (52 tahun) petugas parkir di depan kantor pos Kosambi, ada sepuluh gerobak yang aktif semenjak akhir tahun 70-an, hingga memasuki tahun 2000, tinggal satu gerobak milik Otoy.
Otoy tidak pernah menyangka, kalau jenis pekerjaan ini telah punah. Karena tiada pilihanlah, ia tetap menekuni pekerjaan ini, demi menghidupi anak-istri di kampung. Lebih dari 23 tahun ia tetap bertengger dengan setia, melayani jasa cetak pas foto. Kotak biru beroda laher besi ini selalu hadir setiap hari. Bila jam operasional selesai, maka roda ini akan mudah dijumpai, terparkir manis di depan halaman kantor pos. Untuk urusan tidur, ia menumpang di dalam ruangan kecil di bagian belakang kantor pos. Demi menyambung hidup, kadang bila sepi pelanggan, ia pun bertugas sebagai penjaga parkir sepeda motor, atau mengerjakan jasa grafir-stempel milik temannya.
Kini habitat “Apdruk Poto Kilat” di Bandung tiggal tiga orang saja. Itu pun sebagian sudah sering tutup. Diantaranya depan kantor pos Kosambi, Sepanjang jalan Malabar (sudah tutup), Depan Poltabes Kota Bandung (tutup), Babakan Tarogong-Kopo depan rumah sakit Imanuel (Sudah tutup), Sukajadi dan satu gerobak di Cicadas. Jelas sudah, semenjak hanphone berkamera (awal tahun 2000-an) jasa ini terpuruk. Bagi industri besar jasa fotografi di Bandung, bentuk jasa ini mungkin dianggap tidak penting. Tetapi bagi kaum marginal, dengan kemampuan ekonomi pas-pasan, jasa ini telah mengantarkan sarjana yang melamar kerja. Ingat syarat lamaran kerja membutuhkan pas foto. Lantas siapa kini yang berjasa? (denisugandi@gmail.com)
Tulisan ini selain dalam rangka pupujieun, juga merangkai kembali sejarah fotografi Bandung dan forum fotografi untuk bandung 200 tahun.
Sumber:
Wawancara Toto, jasa cetak pas foto kilat dan Ina Junaedi, petugas parkir kantor pos Kosambi.