Mungkin, seorang Goenadi Haryanto menyebutnya “Si kamus fotografi berjalan” celoteh Dayat Ratman, seorang kawan karib dan rekan kerja almarhum. Entah dalam kesempatan apapun, setiap pertanyaan seputar teknis fotografi akan dijawabnya. Berbeda dengan rekan fotografer seangkatannya, daripada mengkoleksi kamera lebih baik mengkoleksi brosur, berkas foto kopian dan buku buku tentang literarur fotografi. Jelas sudah, baginya bergaya dengan kamera baru tidaklah menarik minatnya, tetapi membongkarnya sampai titik skrup terakhir adalah hasratnya.
Dari situlah, sisi “ngulik” ingin tahunya lah yang bergemuruh. Lulusan SMA PGII ini membekali dirinya dengan kepiawan membaca literatur berbahasa Belanda dan Inggris. Hingga akhir hayatnya, 15 Juni 2003, beliau dikenang sebagai edukator, penulis buku dan organisator. Terjerembab dalam dunia fotografi karena awal awal perjumpaan yang tidak menyenangkan, tanpa sengaja membuka kamera seorang tamu. Kemudian dengan berbekal kamera pinjaman orang tuanya, RLT Roleiflex T milik orang tuanya pada tahun 1953 di Bandung, ia menjelajahi kota, bersama kawan kawannya, memotret serta memuaskan dahaga keingintahuannya. Perjumpaan ini kemudian membekas, dan menjadi pilihan karirnya.
Diawali dengan membuka jasa fotografi dokumentasi untuk acara pernikahan, hingga dokumentasi liputan acara Setelah sepuluh tahun lebih berkecimpung di dunia fotografi, Leonardi bergabung dengan klub PAF pada tahun 1967. Diklub inilah gagasan dan idenya semakin berkembang.
Terbukti, melalui bantuan Soelarko selaku ketua PAF saat itu, ia diberi kepercayaan untuk mengurus bulletin bulanan, yang berisi hasil lomba bulanan, jadwal dan laporan hunting foto, ia laksanakan semenjak bulan Desember 1967. Pada tahun 1986, tanpa kehadirnnya, pengurus PAF menunjuk ia menjadi ketua umum, menggantikan Soelarko, yang telah dipercaya sebagai ketua PAF hampir 32 tahun lebih. Pada bulan Februari 1969, terpilih menjadi Peminpin redaksi, dan dibantu J.O. Wuisan dan Estian Agustian menerbitkan bentuk majalah pertama Foto Indonesia, sekaligus mendirikan Yayasan Foto Indonesia, yang diketuai langsung oleh Leonardi. Berikut susunan pengurus majalah Foto Indonesia hingga tahun pertama; Pemimpin umum Ir. Andojo Hanudjaja, Penanggung jawab Leo Nardi, Dewan redaksi Drs. B. Darmawan, J.O. Wuisan, Leo Nardi, Ir. Andojo hanudjaja, Staf redaksi iin Hardiono, Ridwan Gunawan dan Estian Agustian, Pembantu tetap Prof. Dr. R.M. Soelarko (Bandung) Dr. Ganda Kodyat (Bandung) Susanto Prawirohardjo, Dipl. Ing Arch (Jerman Barat) Ir. O. Rustandi (Bandung) dan Bagian iklan Thio O. Tjuan. Majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Foto Indonesia, percetakan P.D. Grafika Unit 1, S.I.T: Keputusan Menpen R.I. No. 0713/SK/DIR.PDLN SIT/1968 tanggal 26 Desember 1968. S.I.P.K: Deppen No. d-135/F/F-6/IV. Tanggal 4 Februari 1969. Alamat redaksi/tata usaha; Jlan L.L. R.E. Martadinata 45 Bandung. Membentuk FOTINA Seiring semakin banyak pelanggan Foto Indonesia, maka dibentuklah sebuah klub fotografi kemudian disebut Pencinta Fotogarfi indonesia FOTINA pada tahun 1987. Pada saat itu, klub ini mewadahi para pelanggan yang tersebar se-Indonesia, sebagai upaya marketing service dari majalah Foto Indonesia. Keputusan ini memang mengundang kontroversi di dalam struktur PAF, pada awalnya bulettin intern, kemudian berkembang menjadi majalah, dan lepas dari struktur pengurusan PAF, meskipun hampir semua pengurus majalah ini adalah anggota PAF. Bisa dikatakan, pada satu sisi Leonardi berdiri di PAF, dan kaki lainya mempertahankan kepentingan bisnis majalahnya. Akhirnya ia memutuskan mundur dari jabatan ketua PAF (1986-1987) dan digantikan oleh Setiadi Tanzil.
Seiring dengan kesibukannnya menulis dan memberikan pelatihan singkat, Leonardi diminta untuk menjadi pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Disain (FSRD) ITB. Semenjak tahun 1973, beliau menjadi diangkat menjadi staff pengajar hingga 23 tahun. Seiring waktu, disamping mengajar, beliaupun masih sempat mengurus majalah fotografi pertama di indonesia ini, hingga pada tahun 1975 menjadi pemimpin umum Foto Indonesia, sampai tahun 1986. Satu tahun sebelumnya, mendirikan usaha fotografi, NESC yang kemudian berubah menjadi MULTIVERA FOTO Darkroom Specialist Jalan Veteran 53 Bandung. Terobosan yang dilakukannya adalah “proses cuci slide satu hari” masuk pagi selesai sore (pada masanya, melakukan proses tersebut dibutuhkan tiga sampai lima hari pengerjaan) Selain itu, menawarkan perlengkapan kamar gelap. Untuk urusan cuci-cetak hitam putih, diserahkan kepada partner bisninya, Dayat Ratman.
Tidak puas dengan cuci slide dan layanan untuk proses profesional, Mutivera menerima proses movie 8mm yang pertama kali di Bandung. Dari riset otodidak ini, lahirlah dua buku “Penuntun Kinematografi jilid I (1977) dan Penuntun Kinematografi Jili II (1978) Tahun berikutnya, terbitlah buku Belajar Foto Sambil Santai (1979), “Mencetak Sendiri Foto Warna (1979), Tanya Jawab Problema Fotografi (1987) dan Penunjang Pengetahuan Fotografi (1989) Diktat kuliah selama menjadi dosen FSRD ITB, petunjuk belajar fotogarfi Diktat dan Penuntun Kuliah Fotografi selama menjadi dosen UNPAS Bandung dan beberapa catatan yang belum sempat dipublikasikan. Sesuai dengan sifatnya, yang selalu tertarik hal baru dan dalam rangka mempengeringati hari jadi yang ke 15 Foto Indonesia, Leonardi melemparkan gagasannya pada bulan Agustus 1982, hendak mengadakan Foto Expo, yang pada akhirnya terselenggara setahun berikutnya. Saat itu beliau sebagai Ketua Panitia Foto Expo 1983, diselenggarakan selama lima hari (5-9 Februari 1983) di Grand Hotel Preanger Bandung. Diselenggarakan oleh Yayasan Foto Indonesia dan Niaga Photo Supply. Ini adalah event produk dan pameran karya fotografi pertama di Bandung.
Lembaga Fotografi Candra Naya telah mengadakan dua kali FOTO FAIR di Jakarta. Perkumpulan Senifoto Surabaya tahun 1982 mengadakan Gelanggang Promosi Fotografi di Surabaya (Sumber: Sambutan Ketua FPSI Prof. Dr. R.M. Soelarko pada booklet Foto Expo 1983) Setelah 19 tahun mengajar untuk mata kuliah fotografi di FSRD ITB, semenjak tahun 1975 hingg tahun 1994 Leonardi secara moral belum meras puas, karena belum bisa menghasilkan sarjana seni fotografi. Seuntai kata pernah terngiang ditelinga Dayat Ratman, rekan kerja paling lama. “Kalau saya berhasil meluluskan sarjana fotografi, saya mau pensiun saja” rupanya, gayung bersambut. Pihak rektorat Universitas Pasundan menawarkan menyusun kurikulum fotografi untuk Fakultas Ilmu Seni dan Sastra untuk jurusan Fotografi, kemudian beberapa tahun kemudian berubah menjadi jurusan Fotografi dan Film. Leonardi mulai aktif mengajar sebagai Dosen Luar Biasa* selama 7 tahun (1996 – 2003) lebih, menutup mata. Selamat jalan Leonardi, terima kasih warisan pengetahuannya yang telah dijejakan, pastilah bermanfaat.
(denisugandi@gmail.com) Sumber adalah hasil wawancara dengan : Istri Leonardi (Jalan Pandu) & Dayat Ratman, Buku Mencetak Sendiri Foto Warna.
*Karena dianggap sebagai praktisi, bukan dengan latar akademis minimal Strata 1, maka disebut Dosen Luar Biasa. Setara dengan dosen reguler yang menempuh pendidikan sarjana.