Satu sudut jalan di kota Yogyakarta, poster besar terpampang jelas, wajah ganteng calon legislatif duduk manis, tangan mengepal, lengkap dengan atribut partai dan tag-line tebal Anti korupsi! Pas tepat di bawah poster itu, duduklah dengan seksama, seorang gimbal compang-camping dekil, si gila asli. Kesimpulannya; sama-sama menggila. Portrait cerdas yang berhasil direkam si pemotret, sebagai pengantar pembuka menuju ruang pamer LOOK @ ME, pameran tunggal Agung Sukindra.
Barangkali ada yang belum tahu, seperti apa rupanya orang unik penduduk istimewa Yogayakarta (istilah ini saya pinjam dari tulisan pengantar katalog oleh Romo Budi Subanar SJ.) adalah orang kurang ingatan, pada pameran LOOK @ ME karya Agung Sukindra, di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, dipamerkan tanggal 23 hingga 30 November 2009. Pameran tunggal fotografi yang menuturkan bahwa orang gila itu pastilah berpakaian compang-camping, makan sembarangan, kadang murah senyum, punya tabiat mempertontonkan kemolekan tubuh, seakan sepanjang jalan Malioboro adalah cat-walknya dan yang paling terakhir, kadang asik sendiri, sekaligus mempertanyakan “kartu tanda penduduk-nya” mereka. Pastilah, kalau berjumpa dengan manusia unik ini pada suatu kesempatan, reaksi saya pasti biasanya menghindar, mengalihkan tatapan ataupun pura-pura sibuk menyangkal eksistensi mereka, namun tidak dipameran ini, saya tidak bisa memejamkan mata.

Itulah teror orang gila yang berbicara pada karya Agung Sukindra. Entah itu jumlahnya lebih dari duaratus, atau bisa lebih, si penyelenggara pameran pun enggan menyebut secara tepat berapa jumlah foto yang dipamerkan. Entah itu tidak penting lagi bagi dirinya, atau memang sengaja, supaya para pengunjung belajar berhitung. Tetapi saya berkeyakinan, para penikmat foto yang sempat berkunjung di pameran ini pasti berdecak kagum, berapa sebenarnya jumlah foto yang dipamerkan? Banyak nian untuk berbicara bahwa mereka sudah pasti kurang ingatan!

Ratusan foto, mungkin bahkan lebih dari seribu foto stok yang sudah diabadikan Agung untuk kepentingan pameran. Hampir semua karya menggunakan jenis lensa panjang yang membebaskan dirinya (baca: pemotret) bisa mengambil subyek dari jarak jauh. Tampak beberapa jepretan diambil dalam waktu singkat, entah itu karena mereka selalu berkeliaran tanpa jadwal tetap, hingga si pemotret harus berkeliling “hunting” memang, persis sekali seperti petugas sensus khusus mengurus orang gila. Ada satu alasan Agung, rupanya berasal dari sepenggal kalimat dari kitab suci “Ketika aku lapar, kamu tidak memberi aku makan. Ketika aku haus, kamu tidak memberi aku minum. Ketika aku orang asing, kamu tidak memberi aku tumpangan. Ketika aku telanjang, kamu tidak memberi aku pakaian..” (Tulisan pengantar katalog pameran, Catatan Robi Budi Subanar SJ.) inilah yang menjadi api yang selalu membakar dalam gelisahnya ketika memejamkan mata sebelah kanan dan memotret.

Ruangan bentara budaya yang terdiri dari dua ruang; utama dan tambahan, tampaknya penuh terisi dengan foto-foto yang dicetak dengan ukuran yang bingkai bervariasi. Satu sudut berdiri partisi yang sengaja menggantungkan properti baju, celana, kantong plastik, alas tidur dan benda-benda harian mereka. Bingkai itu beragam ukuran, dari ukuran 30×40 cm hingga 2 meter. Begitu pula dengan cara penyajian, ada yang kena sentuhan filter software edit digital imaging, ada pula yang dibiarkan begitu saja. Bahkan cetak warna dan hitam-putih turut bersanding bersama. Semuanya beraduk-aduk, bersama, sehingga saya berkeyakinan, para pengunjungpun disuguhkan nuansa pameran rasa lain, seperti tag-line produk permen; rasanya rame.

Memang tidaklah sempat berdialog dengan Agung Sukindra, kenapa menyajikan gambar gado-gado begitu banyak, dengan jumlah karya lebih dari dua ratus. Pesanpun menurut saya sangat sulit tiba dibenak pengunjung, karena bias. Selain foto yang disajikan terlalu banyak untuk berbicara hal yang mudah (kadang tidak) bahwa mereka terlantar, hidup menggelandang, tidak waras, siapa peduli? dan dipertegas dengan pasal hukum di satu sudut ruang pamer dengan ukuran teks diperbesar. Tetap saja mereka adalah orang gila yang ditelantarkan negara. Agung berusaha menampar siapa saja melalui pameran ini, yang enggan menoleh, apapun yang terjadi, warga istimewa ini tetap membutuhkan perhatian. Apapun terjadi, mereka adalah bagian dari komunal.

Begitu banyak teror foto yang ditebar, akankah pesan yang disampaikan tiba di nurani pengunjung pameran? Karena itulah fotografi, menggugah, menginspirasi sekaligus mencekam. Menurut saya, kuantiti tidaklah penting, jadi kenapa harus repot-repot menggantungkan foto terbingkai dengan jumlah yang banyak, kalau misi yang ingin disampaikan adalah mereka membutuhkan perhatian. Tampaknya Agung berusaha memberondong dengan senapan mesin, tetapi luput, karena pengunjung kelelahan menghitung foto yang dipamerkan. Dalam pameran ini, saya melihat Agung tidak berniat melebarkan persoalan menjadi gila yang dibalut semiotika, perlambang-perlambang, tetapi, monumen hidup ini membutuhkan uluran tangan dari masyarakat sebagai pemiliknya. Pasti tahulah, uluran tangan pemerintah selalu kalah cepat.

Apapun yang terjadi, gila adalah tetap milik orang waras. Karena orang gila itu enggan menjadi waras, karena menjadi waras membutuhkan kegilaan tertentu. Jadi batas gila-waras itu semakin tipis adanya. Agung Sukindra telah menghadirkan gila sebenarnya, walaupun kemasan pameran masih sajikan dalam batas ala kadarnya, mengangkat isu kegilaan selalu menggelitik para penikmat foto untuk melebarkan persoalan itu menjadi dialektika.