Selepas melintasi Ci Tarum di sekitar Sapan, disambut hamparan sawah. Tempat ini merupakan titik terendah diselatan Cekungan Bandung. Elevasinya menunjukan diketinggian 663 m dpl. Sebagian besar wilayah ini kini didominasi oleh sawah yang melampar jauh sepanjang mata memandang. Di peta geologi lama (Bemmelen, 1949) disebutkan kawasan ini merupakan daerah berawa, disebut Rawa Meondjoel (Munjul). Meliputi sebagian besar Sapan, hingga berbatasan dengan jalan utama Baleendah-Ciparay di timur. Pada saat itu didominasi oleh rawa-rawa luas, seiring waktu berubah menjadi perumahan, industri dan lahan persawahan yang menjadi unggulan Kecamatan Ciparay. Penamaan Ciparay merujuk kepada Paray (Rasbora argyuritaenia). Sejenis ikan dengan ukuran kecil, keluarga Cyprinidae. Keberadaan ikan ini ditemui di sungai-sungai kecil, hingga kolam-kolam yang terbentuk secara alami.
Setelah melewati alun-alun Ciparay, kemudian dilanjutkan ke arah selatan mengikuti Jalan Pacet Raya. Jalanan menanjak mengikuti kontur kaki G. Gambung, bagian dari sistem G. Malabar. Luas jalan selebar dua kendaraan, sebagian besar telah dilebarkan agar kendaraan dapat melaju dan berpapasan dengan aman. Jalananya meliauk liuk, menanjak dan sedikit terjal. Terutama selapas Pacet, menjelang Cibeureum pemandagannya dihiasi oleh lembah dan jajaran perbukitan berkerucut tajam. Dasar lembah di toreh oleh Ci Tarum yang mengalir dari selatan ke utara. Dasar sungainya berbentuk huruf v, menandakan arusnya deras akibat menuruni lereng gunung yang terjal. Arus deras sepanjang musim tersebut, mengangkut material dihulu kemudian diendapkan sepanjang bantaran sungai. Diantaranya didapati bongkah dan blok batuan gunungapi, dengan ukuran yang beragam dan telah membundar. Mulai dari ukuran bola basket hingga uuran mobil, menghiasi dasar sungai dan saling terkunci. Semuanya diangkut oleh air, terutama pada saat musim penghujan.
Jalan Pacet-Cibeureum ini memisahkan dua sistem gunungapi. Disebelah baratnya merupakan sistem gunugapi purba G. Malabar, kemudian di sebelah timurnya adalah G. Rakutak. Dibelah oleh Ci Tarum yang berhulu dilereng G. Wayang. Mengalir dari selatan ke utara, membelah Pacet dan membentuk lembah yang dalam. Memasuki wilayah Desa Tinggal Resmi, pemandangan didominasi perkebunan sayuran. Menempati lereng-lereng terjal mengikuti tekuk lereng gunung. Tanahnya berupa lapukan endapan gunungapi, dan dibeberapa tempat didapati bongkah-bongkah batuan gunungapi.
Diantaranya adalah bongkah batu yang disakralkan oleh warga Kampung Joglo, Desa Resmi Tinggal, Kertasari. Keberadaanya disekitar lereng perbukitan, yang kini telah menjadi bagian dari hunian warga. Disebut Batunanceb, atau batu yang tertancab. Ukurannya sekitar 3 meter, dengan lingkar hampir 2 meter, berwarna abu-abu terang.Diperkirakan berkomposisi andesitik. Berbentuk persegi panjang, mengkerucut ke bagian atasnya. Fiturnya unik, memiliki alur tegak vertikal. Bentuk demikian terjadi akibat proses erosi, dan pelapukan oleh vegetasi. Di sekitar berdirinya Batunanceb, ditemui juga beberapa bongkah batu. Menandakan ketersebarannya mengisi lereng sebelah timur G. Gambung, bagian dari sistem G. Malabar. Kehadiran batuan tersebut bisa saja dilontarkan secara balistik, kemudian mengendap disekiar lereng gunungapi.
Dalam keterangan papan informasi Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Budaya, Kabaupaten Bandung, disebut batu tegak. Bagi masyarakat lokal, batu ini dianggap sebagai peninggalan budaya prasejarah, berupa tapak kaki manusia. Keberadaan batu tersebut menjadi menarik bila dikaitkan dengan hasil budaya di jalur Pacet-Pangalengan. Dibuktikan dengan keberadaan tinggalan budaya disebelah utaranya, sekitar kawasan puncak G. Wayang. Berupa arca-arca tinggalan masa praSunda klasik. Arca berwujud manusia dengan bentuk yang sederhana, menyiratkan hasil budaya awal polinesia. Ukurannya sekitar 60 cm, terdiri dari beberapa bentukan yang menyerupai fisiologi setengah badan manusia. Dilaporkan oleh S. A Reitsma dan H. Hoogland, dalam Gids voor Bandoeng en Omstreken (1921). Buku panduan wisata sekitar kota Bandung.
Dengan demikian, keberadaan arca tersebut tentunya memiliki makna penting, mengingat budaya prasejarah sudah hadir di kawasan ini. Makna lainya menurut warga, keberadaan Batunanceb ini menjadi batas Danau Bandung Purba. Keterangan demikian tentunya tidak tepat, mengingat paras muka airnya tertingginya sekitar 684 hingga 688 m dpl. (Dam, 1996), pendapat lain menyatakan sekitar 725 m dpl. pada 35.000 tahun yang lalu (T Bachtiar, 2004). Sedangkan keberadaan kampung Joglo, di atas lebih dari 1000 m dpl. Namun bila menjadi batas peradaban, bisa jadi digunakan sebagai penanda geografis, mengingat keberadaan Batunanceb berada di lereng terjal, dan terbuka. Sehingga bisa saja digunakan sebagai penanda batas wilayah, atau bisa juga sebagai titik pandang ke arah Cekungan Bandung segmen timur.
Bergeser ke arah selatan, mengikuti jalan Raya Pacet ke arah Cibeureum hingga bertemu dengan RSUD Kertasari. Kemudian mengambil jalan ke arah SD Argasari, mengikuti jalan perkebunan ke arah selatan. Wilayah ini dahulu merupakan perkebunan kina, memasok kebutuhan dunia. Hingga tahun 1940-an memasuki titik emasnya, kemudian merosot dengan semakin menyusutnya luasan perkebunan kina pada 2015. Termasuk pabrik pengolahan kina di Desa Cikembang, atau sebelah selatan dari perkebunan kina di Sukapura. Setelah perkebunan kina hilang, kawasan ini menjadi lahan perkebunan sayur. Terletak di Sukapuran dan Cirawa Kertasari. Berupa perbukitan landai, bagian dari medial G. Malabar. Luas wilayahnya skitar 130 hektar, dibatasi dua kampung. Sebelah utaranya Argasari, dan sebelah selatannya adalah Cirawa. Menurut masyarakat, perkebunan kina ini disebut perkebuna kina argasari.
Perbukitan yang didominasi oleh tanah lapuk dari kegiatan letusan G. Gambung dan G. Sedatapa. Berada diperbukitan bergelombang, dengan beberapa puncak dan lereng yang landai. Keberadaan garis konsentris disekitar perkebunan ini, pernah ditulis oleh Haryoto Kunto (1986), kemudian ditulis ulang kembali kembali oleh Gootfried Roelcke dalam buku panduan wisata Bandung (1994). Dalam tulisannya menguraikan kemungkian usaha masyarakat prasejarah, untuk membuat parit dengan tujuan tertentu. The pre-historic earthworks near Pacet, are allegedly the largest in Wes java and their original purpose is still unclear to archeologists. The network of ditches and embankenet is several kilometer long agricultural terracing and settlement activities va not lest to much to see.
Garis lingkar dengan ukuran antaran 1000 meter, menyiratkan parit atau benteng yang dibuat melingkar tertutup.. Bila diukur pada pata peta google map tahun 2013, ukuran paritan tersebut diantaranya seluas 5 hektar, hingga 11 hektar. Berbentuk garis elips dan lingkar tertutup. Berada dibeberapa segmen tinggian, terutama menempati bidang puncak perbukitan. Keberadaanya kini sebagian besar telah hilang akibat kegiatan pertanian, sehingga batas secara fisik sudah tidak tampak lagi.
Bukti keberadaan parit, telah lama dilakukan oleh para pendahulu. Diantaranya dituliskan dalam tulisan di batu Prasasti Kawali I pada abad ke-14 Masehi. Tulisannya menggunakan aksasara Sunda Kuni, dan baca dalam bahasa yang sama. Ditulis pada media batu gunungapi, berukuran 120 cm, sisi kanan 125 cm dansisi atas 46 cm. sisi bawahnya sekitara 57 cm dan tebalnya antara 10 hingga 17 cm. Akasara dipahat dalam 10 baris tulisan yang dibatasi oleh garis.
Terjemahan singkat prasasti tersebut, menuliskan penguasaan Prabu Raja Wastu yang berkuasa di kota Kawali, mempercantik keraton Surawisesa. Dengan membuat parit disekitar pusat pemerintahannya. Dalam naskah tersebut, ditulis nu marigi yang artinya adalah pembuatan parit. Dalam Atmamiharja (1990), marigi diterjamahka kakalen yang bermakna sama dengan parit atau saluran air. Makna parit tersebut adalah pembuatan saluran irigasi, untuk tujuan pengairan pertanian dan sawah pada saat itu.
Makna parit kemudian dituliskan pada prasasti Gegerhanjuang sekitar 1033 (Saka), atau 1111 Masehi (Holle, 1877). Prasasti ini merupakan sumber otentik tentang keberadaan Kerajaan Galunggung di Desa Linggawastu, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasilkmalaya. Prasasti ditoreh di atas batu gunungapi, berukuran 80 cm dan lebar 60 cm. Ditulis dalam aksar Sunda Kuno yang diduga lebih tua dari Prasasti Kawali. Menuliskan pada 1033 ibukota Rimantak disusuk oleh Batari Hyang. Dalam tafsirannya Batari Hyang membuat benteng pertahanan di ibu kota Kerajaan Galunggung, dengan cara membuat parit (nyusuk atau marigi).
Naskah lainya diberitakan dalam naskah Amanat Galunggung, Rahyang nyusuk na Pakwan. Kemudian dalam prasasti Batutulis, disebutkan Sri Baduga Maharaja nyusuk na Pakwan. Dengan demikian sudah ada upaya pembuatan parit dengan tujuan sistem pengairan seperti di Kawali, atau sistem pertahanan yang lakukan oleh Sri Baduga Maharaja.
Dugaan keberadaan parit purba Sukapura, Kertasari ini masih belum bisa dipastikan, karena bisa berasal dari hasil kegiatan perkebunan kina, atau aktifitas perkebunan pascakina. Tetapi bila merujuk pada keberadaan peradaban yang telah ada di kawasan ini, menandakan adanya upaya untuk mengelola bentang alam untuk kebutuhan keberlangsungan budaya.