Suara gemuruhnya menunjukan arah, berasal dari aliran air yang jatuh. Menimpa batuan tanpa henti, menimbulkan suara yang menggema di sepanjang lembah. Alirannya airnya deras sepanjang waktu, menandakan sungai ini disumbang oleh sumber mata air yang melimpah. Berasal dari bagian hulu, seperti bak penampungan air raksasa. Secara berkala kemudian menumpahkan airnya ke sungai mealalui ratusan sumber mata air. Alirannya tidak pernah kering, walaupun memasuki musim kemarau.

Panoramanya sangat menyukakan hati, berupa lembah dalam. Dipagari gawir terjal, dengan ketinggian antara 50 hingga 70 meter. Dinding tegak tersebut membentuk tapal kuda, terbuka ke arah barat. Diikuti aliran sungai deras, melalui celah sempit. Mengikuti dengan arah pengaliran, dari timur kemudian mengalir ke arah barat. Air terjun ini menjadi unggulan wisata, di Cicalengka.

Ci Tarik merupakan Daerah Aliran Sungai Ci Tarum. Pertemuan hilirnya di sekitar Solokan Jeruk,. Bojongsoang. Pola pengaliran sungai, memberikan indikasi tekuk lereng. Pertemuan dari dua batuan penyusun yang berbeda. Tekuk lereng tersebut membentuk lembah yang dalam, kemudian ditunggangi Ci Tarik. Batuan sebelah selatannya, berasal dari G. Calangcang. Disusun oleh hasil gunungapi yang umurnya lebih tua, dibandingkan endapan gunungapi di bagian utara. Dengan demikian, sumber endapan gunung api tersebut berasal dari dua sistem gunungapi. Sebelah selatan lebih tua pembentukannya, dibandingkan bagian utara. Mengindikasikan terjadi pergeseran pusat letusan, dari selatan bergeser ke utara. G. Calancang relatif lebih tua, dibandingkan sistem G. Kerenceng-Kareumbi.

Pada peta lama, lembar Soemedang, Army Map Service U.S. Army Washington D.C. (1943). Dituliskan Sindulang, atau Sindulang dalam ejaan baru. Penyebutan tersebut dalam bahasa daerah, biasanya dinamai dengan nama sungai yaitu Ci Tarik. Dalam peta tersebut, menuliskan nama Sindulang merujuk kepada nama geografis.

Pelafalan warga lokal berbunyi cinulang, ada juga menyebutkan cinulang. Tetapi pada peta lama dituliskan Sindulang. Bila kaitkan dengan dengan pemaknaan bahasa Sunda, bisa berarti dulang. Yaitu berupa wadah dengan bentuk cekung seperti baskom, terbuat dari kayu. Biasa digunakan untuk mendinginkan nasi yang telah tanak, dengan cara membolak-balikan nasi panas (ngakeul). Bentuk seperti lumpang tersebut, dikaitkan dengan ceruk yang terbentuk di dasar air terjun.

Terletak disebelah utara Cicalengka. Posisi air terjun diapit oleh Pasir Cijaha dan G. Karenceng. Berupa lembah dalam yang erosi oleh Ci Tarik, mengalir dari timur ke barat. Hulunya berada di G. Munggang 1400 meter dpl., dan Pasir Sindulang berdampingan dengan G. Calangcang-Harendong. Ci Tarik mengalir di atas lava Gunung Kerenceng-Kareumbi. Berupa aliran lava yang tebal, membentuk gawir terjal dan tegak. Menandakan adanya hasil kegiatan pelapukan, melalui kegiatan pengerosian oleh aliran sungai (erosi ke hulu). Batuan yang lebih lunak dibawa oleh air, dan batuan yang keras atau resisten masih tegak berdiri.

Batuannya berupa lava tebal berlapis selang seling dengan breksi gunungapi. Berasal dari hasil kegiatan letusan gunugapi di masa lalu. Saat ini gunungapi tersebut telah padam, kemudian disebut dorman atau gunungapi purba. Sebagian batuan telah lapuk membentuk blok-blok batuan, jatuh dan mengendap didasar sungai. Sebagian besar berserakan di dasar air terjun, membentuk formasi batuan yang menawan. Air terjun ini terletak di Tanjungwangi, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Ke arah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Sumedang.

Pada peta tematik geologi, Lembar Bandung disusun oleh Silitonga (1973). Disebutkan batuan penyusunya adalah material gunungapi. Berupa Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan, ditulis dalam kode Qyu. Berupa pasir tufan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Semuanya merupakan hasil kegiatan gunungapi di masa lalu. Sumbernya berasal dari G. Kerenceng-Kareumbi di bagian utara.

Lembah tersebut merupakan tekuk lereng, pertemuan dua batuan penyusun yang berbeda. Di sebelah utaranya adalah hasil endapan G. Kerenceng-Kareumbi. Disusun oleh Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan. Berupa pasir tufan, lapili, breksi lava, aglomerat yang berasa dari produk G. Kerenceng-Kareumbi.sedangkan di bagian utaranya merupakan produk G. Buyung 1440 meter dpl.

Menuju air terjun ini bisa ditempuh melalui jalan penghubung Cicalengka-Nagreg. Dari jembatan atau underpass Cicalengka, dilanjutkan ke arah utara sekitar 8 km. Jalannya kelas desa, mendaki membelah perbukitan yang memanjang tenggara-barat laut. Perbukitan tersebut merupakan distal atau kaki G. Buyung, gunungapi purba di sebelah timur Cicalengka. Dalam peta disebut Pasir Sangiang, namun warga menyebutnya Pasir Candi. Dipercayai merupakan tinggalan sejarah, seperti yang dilaporkan dalam catatan Belanda. Seorang ahli geologi Belanda, Verbeek melaporkan sebuah Arca Siwa (seperti batara kala), ditemukan di Dusun Peuteuy, Desa Tenjolaya. Keberadaannya kini, sekitar sebelah timur dari Pasirsangiang, tepat di bawah naungan Pasir Panglimanan disebut Babakan Peuteuy. Keberadaan arca tersebut, kini tersimpan di Museum Nasional. Dari catatan Verbeek, dikirim ke Batavia pada tahun 1879.

Perjalanan dilanjutkan ke arah utara, melampaui desa Dampit. Sebelah utaranya merupakan sawah yang menghampar sepanjang bantaran sungai. Menempati lereng landai, membentuk teras-teras yang sawah yang menawan. Menjelang tiba Curug Cinulang, jalanan berkelok-kelok mengikuti kontur perbukitan Pasir Cijaha di sebelah selatannya. Sedangkan ke arah utaranya adalah lembah dalam, ditoreh oleh Ci Tarik.

Mengupas dari artikel lama, diterbitkan oleh majalah pariwisata Hindia Belanda. Mooi Bandoeng, penerbitan bulan April 1934. Mengisahkan cerita rakyat yang menghiasi kepercayaan masyarakat pada masa lalu.

Dahulu kala pernah hadir kerajaan Sindulang, diperintah oleh raja yang bernama Pujasoswara. Raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya karena pemerintahannya yang bijaksana dan lembut ini memiliki anak tunggal, seorang putra, yang merupakan buah hatinya.

Aneh dan tidak dapat dijelaskan oleh takdir dan peristiwa dunia, sebuah wabah penyakit yang serius melanda Kerajaan Sindulang. Sia-sia saja sang Raja memeras otak untuk mencari alasan yang dapat menyebabkan kunjungan seperti itu, hingga suatu hari, penasihat Raja yang sudah beruban dan berpengalaman mengemukakan dugaan bahwa mungkin para dewa marah karena putra Raja, sang pangeran, meskipun sudah cukup umur, belum juga menikah.

Sang Raja, yang mementingkan keselamatan rakyatnya, memerintahkan untuk mencari seorang pengantin agar pernikahan itu dapat segera dilangsungkan. Namun, sang pangeran, yang hatinya belum tersulut oleh api cinta yang sejati, tidak ingin tunduk pada perintah ayahnya dan, lebih memilih apapun daripada menikah secara paksa, memutuskan untuk melarikan diri dari istana.

Dengan mengenakan pakaian sederhana sebagai seorang “petani”, ia menyelinap masuk ke dalam hutan di mana, setelah mengalami banyak kesulitan, ia bertemu dengan seorang petani miskin. Meminta minuman untuk menghilangkan dahaga yang tak terpuaskan, ia ditawari air yang ditepuk-tepuk, yang tampak seperti minuman para dewa bagi mereka yang kehausan. Sebagai rasa terima kasihnya, sang Pangeran menamai tempat dimana ia mendapatkan keistimewaan ini dengan sebutan Ciamis (air tawar), sebuah nama yang bertahan hingga saat ini.

Dengan susah payah, Pangeran kemudian melanjutkan perjalanannya menyusuri tepian Citandui, hingga bertemu dengan seorang wanita cantik di tempat yang sekarang bernama Karangpucung, yang membuatnya langsung tertarik. Saat mereka bertemu lagi, ternyata orang yang tidak dikenal itu juga berdarah bangsawan, seorang putri yang telah melarikan diri dari rumah orangtuanya untuk menghindari pernikahan paksa.

Mendengar hal ini, sang Pangeran mengerti bahwa pertemuan ini tidak mungkin hanya kebetulan, tetapi merupakan perjodohan dari para Dewa. Maka ia meminta pujaan hatinya yang cantik, yang cintanya kian bertambah, untuk mengikutinya ke istana ayahnya. Di sana ia yakin ia akan diterima dengan tangan terbuka dan dinikahkan dengan wanita pilihannya, dengan demikian memenuhi keinginan ayahnya. Namun, kebahagiaan yang kini dianggap sudah hampir tiba tidak akan menjadi miliknya.

Di kerajaan Sindulang, wabah masih terus berkecamuk dan telah memakan banyak korban. Dalam kemarahan atas penolakan untuk mematuhinya, Raja kemudian mengutuk anak kesayangannya, dari bola matanya mengalir tangisan yang kini menjadi air terjun. Bersamaan dengan calon istrinya, keduanya berubah menjadi sepasang kekasih. Dilambangkan dengan dua aliran air terjun yang terus mengalirkan air hingga kini.

Keberadaan Ci Tarik memberikan berkah, seperti cerita di atas. Namun kadangkala Ci Tarik murka, membawa air bandang hingga hilir. Dilaporkan melalui media, bencana banjir yang melanda daerah hilir. Dari hasil penelitian Wanjat Kastolani, dosen Jurusan Pendidikan UPI. Ekosistem Sub Das Ci Tarik Hulu telah mengalami degradasi lingkungan. Terjadi pada sumber daya lahan maupun sumberdaya air. Disebabkan diantaranya oleh karakteristik dan kemampuan lahan, iklim dan curah hujan, batuan penyusun serta perilaku manusianya. Seperti terjadinya perubahan tata guna lahan, dari hutan tutupan menjadi pertanian dan perkebunan.

Sehingga perlu untuk melakukan mitigasi, sebelum berdampak secara luas. Diantaranya dengan penanggulangan melalui penghijauan (reboisasi) di hulu, kemudian melakukan konservasi dan penataan sesuai dengan prinsip konsep konservasi.

Air terjun kembar, mengalir dibatuan gunungapi.
Lava tebal yang tersingkap, membentuk bidang rekahan.
Vegetasi dan pohon tegak yang menaungi aliran Ci Tarik.