Di akhir pekan 20 Desember 2025, jalanan menuju Soreang dari arah Bandung timur tampak lenggang. Biasnya tersedak karena jumlah kendaraan yang berlomba menuju pusat kota, kini terurai karena memasuki musim libur. Tidak lebih dari 30 menit, tiba di pusat kota Soreang. Nama yang belum dikenal masa kolonial, cukup disebut wilayah Kopo (Topographisch Bureau Batavia, 1909). Selanjutnya lahir nama soreang, untuk menyebut ibu kota Kabupaten Bandung. Makna kata dari nyoreang, artinya melihat kembali ke masa lalu. Makna lainya adalah tempat untuk memandang atau titik pandang.

Makna titik pandang menjadi tepat, secara geografis ke arah selatan Soreang merupakan dataran tinggi antara 700 hingga 1000 meter di atas muka laut. Dilingkung kerucut-kerucut perbukitan dan gunungapi yang pernah aktif di masa lalu, dan perbukitan soliter. Diantaranya G. Sadu 897 meter dpl., Pasir Sempur berdampingan dengan Pasir Malaka di sebelah selatan. Kemudian G. Haur 936 meter dpl., G. Aseupan 873 meter dpl., di bagian barat. Kemudian ke utara berdiri Pasir Salam 855 meter dpl., dan pasangan G. Hawu bersanding bersama G. Singa 1087 meter dpl.

Keberadaan Soreang pada masa kolonial menjadi penting, karena sebagai kota penghubung antara industri perkebunan di sebelah selatan ke kota Bandung. Dengan demikian untuk mempermudah pengangkutan hasil panen, pemerintahan kolonial membuat jalur kereta api.

Pembangunan jalur kereta api dianggap efektif, karena jenis transportasi ini terpadu, muran dan cepat. Menggantikan pengangguran menggunakan pedati yang terlalu lambat dan mahal. Angkutan masal ini dirintis semenjak masuknya kereta api ke kota Bandung. Pada tanggal 30 Oktober 1916, telah diselesaikan rancangan awal jalur trem Bandung ke Kopo (kini Soreang).

Pembangunan jalur dimulai dengan menghubungkan antara Bandung ke Soreang melalui Dayeuhkolot pada 1921. Kemudian dilanjutkan jalur Soreang ke Ciwidey tiga tahun kemudian. Jalur ini resmi beroperasi 1925 dan berakhir beroperasi 1982.

Ex Stasiun Soreang
Dua orang ibu tua membuka percakapan. “Mangga, kadieu, tingali ieu bak cair”, ujarnya. Kemarilah, saya perlihatkan bak penampungan air (kereta api uap). Ibu paruh baya begitu gesit membukakan pagar bambu. Menyibakan jemuran kasur yang disimpan di depan pintu masuk pintu air. Bangunan yang tidak lebih dari setengah ukuran peti kemas, disusun oleh tembok tebal. Mencirikan struktur bangunnan yang diibuat masa kolonial, menggunakan susunan batu bata. Ketebalan dinding 20 centimeter, dari bata merah dengan ukuran yang lebih besar dari standar saat ini. Di bagian atas bangunan, didapati bak air yang terbuat dari plat besi tebal. Saat ini keadaannya sudah tidak layak lagi sebagai penampung air, karena di beberapa bagian telah korosi dan bolong.

Keberadaan tandon air dan tangki air (water crane), merupakan fasilitas penting di stasiun abad ke-19. Mengingat kereta api yang beroperasi, masih menggunakan kereta api uap klasik class produksi tahun 1904 hingga 1910. Dengan demikian memberlukan volume air yang banyak, untuk konversi menjadi tenaga mekanis dari hasil tekanan uap.

Jalan masuknya melalui satu-satunya pintu yang menghadap ke arah barat. Terbuat dari kayu tebal, dengan tinggi orang dewasa. Di dalamnya berupa ruang yang kini ditempati oleh macam-macam barang penghuni rumah, seperti layaknya gudang. Fungsi dari ruang ini adalah sebagai ruang pengendali aliran air, jalur distribusi ke water crane atau tiang tangki pengisi air. bentuknya seperti keran pipa dalam ukuran besar, dipompa dari water tank atau bak air melalui jaringan pipa bawah tanah.

Dari bak air ini, dialirkan melalui jalur pipa bawah tanah ke arah utara mendekati jalur rel kereta api. Terdapat dua sistem tangki air (water crane) di stasiun kereta api Soreang. Di sebelah timur, dengan ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan sisi sebelah barat. Keberadaanya di sebelah selatan dari posisi lintasan rel kereta api, dengan tinggi tiang tidak lebih dari 4 meter. Untuk mengalirkan air ke bak penampungan/ketel di lokomotif, kemudian dipanaskan oleh sumber panas dari tungku pembakaran. Pada saat itu biasanya menggunakan kayu bakar, dalam jumlah yang banyak. Seri kereta api

Berseberangan dengan bak tampung (tandon), ke arah utara. Berdiri bangunan yang memanjang barat-timur. Berupa struktur bangunan sisa peron kereta api. Terdiri dari beberapa bagian yang dipisahkan oleh sekat tembok. Merupakan bangunan bekas stasiun Soreang,dengan call sign SRG. Berada di elevasi 734 meter dpl., menghubungkan ke dataran tinggi stasiun Ciwidey 1106 meter dpl. Dengan demikian memiliki perbedaan ketinggian (elevation gain) 372 meter.

Untuk kondisi topografi demikian, diperkirakan menggunakan lokomotif uap jenis Mallet SS1600, yang merupakan lokomotif uap buatan Belanda, sering disebut juga lokomotif seri NIS 151-160. Beberapa sumber menyebutkan penggunaan tipe C11 atau BB10.

Gunung Hawu
Masyarakat menyebutnya Pasir Hawu, atau Gunung Hawu. Bentuknya kerucut, kemudian bagian puncaknya berupa dataran, sehingga menyerupai bentuk perbukitan yang tumpul. Hawu adalah tungku, digunakan untuk alat memasak menggunakan bahan bakar kayu. Bahannya terbuat dari tanah liat, dibentuk menyerupai bentuk kerucut. Bagian atasnya dilubangi, untuk menempatkan alat memasak. Alat masak tradisional ini memiliki bentuk topografi yang disandingkan dengan penamaan tempat.

Di bagian lerengnnya terdapat klaster pemukiman warga, hanya beberapa rumah. Menempati lereng terjal yang dihubungkan melaui jalan kelas desa. Rumah-rumah warga tersebut ditempati oleh beberapa keluarga, turun temurun bekerja sebagai peladang atau petani.

Di bagian baratnya telah berubah menjadi ladang pertanian, sedangkan bagian puncaknya berdiri rumah tinggal. Dari keterangan warga, sebagian besar bagian barat hingga puncak telah dimiliki perseorangan. Lahannya bagian puncak telah berdiri rumah tinggal atau villa. Sebagain wilayah sebelah barat terbuka, dimanfaatkan ladang. Melihat kondisi topografi demikian, perlu perhatian pemanfaat lahan yang berbasis bahaya longsor. Dalam mekanisme gerakan tanah, manusia turut memainkan percepatan bahaya longsor mengingat perkebunan tersebut berada di lereng curam. Gangguan pada kondisi lereng, baik pemanfaatan perkebunan atau hunian berkontribusi pada bahaya longsor.

Pemanfaatan perkebunan di lereng adalah faktor pengontrol, selain itu kemiringan lereng, batuan penyusun yang mudah lepas. Selanjutnya biasanya dipicu oleh curah hujan tinggi. Sebagian air hujan meresap, kemudian membentuk bidang gelincir. Keberadaan lereng terjal tersebut, sebaiknya ditanami pohon, agar mengurangi risiko gerakan tanah.

Gunung Hawu bersanding dengan beberapa kerucut perbuitan lainya. Berdiri dihadapannya ke arah utara, didapati kerucut yang lebih tinggi. Disebut Gunung Singa 1087 meter dpl., kemudian di sebelah timurnnya ditempati Pasir Laja, dan Pasir Salam. Ke arah selatan dibatasi Pasir Saar dan Pasir Caringin. Jauh ke arah barat, berjajar puncak G. Geulis,Pasir Kupa dan Pasir Angin.

Kerucut-kerucut tersebut merupakan bagian dari sistem gunugapi Soreang. Batuannya diuraikan pada keterangan peta Geologi Lembar Garut (Alzwar drr., 1992), dan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1972). Di Daerah Soreang, kemudian ke arah timur diantara Baleendah hingga Ciparay, batuannya disusun hasil endapan gunungapi. Terdiri dari breksi tufan, dan lava. Warnanya gelap, ditafsir berkomposisi andesit-basal.

Dari pengukuran batuannya, (Koesoemadinata dan Sunardi, 1999), umur batuan gunungapi daerah Cipicung sekitar 3,30 juta tahun, di Kromong Timur 3,24 juta tahun dan di Kromong Barat 2,87 juta tahun. Dengan demikian, menegaskan pendapat Sudjatmiko (1972), dan keterangan dari Silitonga (1973), daerah Soreang dan Banjaran merupakan gunungapi berumur Pliosen (Bronto, 2006).

Dari penelitian Sutikno Bronto (2006), di jurnal geologi Stratigrafi Gunungapi Daerah Bandung Selatan, Jawa Barat. Pengelompokan morfologi kerucut sekitar Soreang, ke dalam satuan Batuan Gunung Api Soreang. Membentuk konsentris (lingkaran), sehingga puncaknya disebut G. Buleud. Penggunaan bantuan pengukuran peta google map. panjang utara ke selatan sekitar 4,2 km. Sedangkan dari barat ke timur mendekati angka 4,3 km. Di bagian tengahnya terdapat cekungan yang ditafsir sebagai fasies sentral gunungapi purba Soreang.

Selanjutnya Bronto menduga, fasies medial memiliki lereng curam ke arah fasies sentral. Di bagian timur laut, terdapat tinggian yang mempunyai bentuk tapal kuda. Bukaan ke arah timur menghadap ke Dataran Bandung. Bronto menafsirkannya sebagai kerucut gunugapi kedua di dalam kawasan sistem Gunungapi Soreang.

Puncakmulya
Titik terbaik untuk menyaksikan kelompok kerucut perbukitan Gunungapi Soreang, bisa disaksikan di dataran tinggi Puncakmulya, Kutawaringin. Berada di ketinggian 1015 meter dpl., berupa pegunungan yang menghubungkan antar gunung disebut sadel (col/saddle). Penyebutan Puncakmulya muncul di peta modern, sedangkan pada peta lama Topographisch Bureau (Batavia) Lembar Kopo (1909) disebut Puncakgadog. Nama Gadog merujuk kepada nama pohon Gintung (Bischofia javanica).

Puncakmulya merupakan tertinggi, dilalui jalan penghubung antara Soreang ke Cililin. Jalan kelas desa, antara Cikupa di sebelah timur. Kemudian mengarah ke arah barat laut, membelah perbukitan sekitar Desa Sukamulya. Jalur perlintasan antar desa ini, dinaungi beberapa kerucut perbukitan bagian dari sistem Gunungapi Soreang. Di titik tinggi Puncakmulya, merupakan titik terbaik untuk mengamati bentang alam perbukitan. Di balik puncak perbukitan, terlihat dataran rendah Soreang. Dicirikan dengan struktur bangunan Masjid Agung Soreang dan Gedung Sabilulungan yang menjadi khas ibu kota Soreang. Puncak ini dikelilingi oleh kerucut-kerucut perbukitan, ditafsir sebagai batas kaldera Gunungapi Soreang bagian barat. Diantaranya G. Dukuh 1035 meter dpl, di sebelah timur laut. Bersanding dengan G. Kutamajangkar 1178 meter dpl., saat ini disebut G. Kutawaringin. Kemudian ke arah utara, dibatasi G. Cintalangu 1202 meter dpl., di baliknya didapati puncak memanjang baratlatu-tenggara disebut G. Gedogan.

Ke arah selatan, berjajar puncak-puncak yang memanjang timur-barat. Diantaranya G. Remeng yang dinaungi G. Aul 1201 meter dpl. kemudian ke arah barat berdampingan dengan G. Kerud, dan lebih ke arah barat daya ditempati G. Kaseproke 1187 meter dpl.

Sebagaian besar lereng perbukitannya telah bersalin rupa, dari kawasan hutan menjadi ladang. Kondisi demikian karena lahannya disusun oleh batuan lapuk yang memberikan unsur hara yang baik. Namun kondisi demikian, memiliki potensi gerakan tanah. Akibat batuannya belum terkonsolidasi dengan baik, atau batuan lepas. Batuan penyusunnya berupa lava andesit, breksi piroklastik, dan tuff. Dibeberapa tempat menyingkapkan batuan dasarnya, berupa breksi gunungapi.

Membentuk tiang akibat erosi tingkat lanjut, seperti yang terlihat di jajaran puncak antara G.. Kaseproke dan Pasir Pogor. Struktur batuan demikian, mirip dengan Gunung Buleud, Desa Cibodas. Tingginya 1178 meter dpl., bila dilihat dari kampung Bahuban, bentuknya mirip Candi. lokal menyebutnya Batunini, karena bentuknya seperti seorang nenek yang memikul barang.

Gunung Lumbung
Dari Puncak Mulya, kemudian bergerak ke arah barat melalui Cikoneng. Jalannya berupa aspal yang terkelupas, erosi air hujan. Menyisakan jalanan yang terkelupas, memperlihatkan makadam (jalan batu). Jalanan melandai ke arah barat, melewati G. Gedogan hingga Babakan, dilanjutkan ke Cikoneng. Dari Desa ini, kemudian memotong ke arah utara melalui jalan setapak hingga Cigadung..

Jalannya pas satu kendaraan roda dua, menanjak terjal hingga tiba di Cinagrog. Sesuai dengan namanya, titik ini merupakan sadel G. Lumbung. Dari peta lama Batavia : Topographisch Bureau (1906), menunjukan garis putus-putus. Garis tersebut memberikan petunjuk bahwa jalan menuju puncak G. Lumbung, dilalui dari sisi sebelah timur.

Pendakian jalur saat ini, lebih populer melalui jalur dari arah utara. Dimulai dari jalan setapak di seberang SDN Lembang. Jalurnya lebih panjang, dibandingkan bila dilalui dari arah timur. Jalurnya lebih landai, memutar ke arah barat mengikuti kontur perbukitan. ‘Jalan yang tersedia berupa jalan setapak, menanjak dan bertangga. Tetapi bila melalui Cinagrog, bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, karena sebagian besar jalan sudah dibuka oleh warga. Tujuan pelebaran jalan setapak tersebut, untuk mengangkut hasil panen.

G. Lumbung 1062 meter dpl., merupakan perbukitan yang menaungi Dusun Lembang, Mukapayung. Merupakan perbukitan yang memanjang barat-timur. Ke arah baratnya dibatasi oleh G. Putri 880 meter dpl. Di Hadapannya adalah perbukitan G. Solokanpandan 1042 meter dpl. Di antara Lumbung-Putri dan Solokanpandan, membentuk lembah dalam yang ditoreh oleh Ci Lembang. Mengalir ke arah barat, bergabung dengan Ci Bitung, hingga bermuara di Saguling, Cililin.

Dari Cinagrog, terlihat dataran rendah yang membentuk cekungan. Disebut Dusun Lembang, Mukapayung. Daerahnya subur, ditandai dengan hadirnya petak-petak sawah yang menghiasi sebagian besar cekungan. Air mengalir melalui beberapa anak sungai, diantaranya Ci Lembang. Hulunya di lereng selatan G. Gedogan 1296 meter dpl., salah satu puncak tertinggi di wilayah Mukapayung.

Catatan awal yang menjelaskan keberadaan tingalan budaya di puncak G. Lumbung adalah laporan dua peneliti Eropa. P. Van Oort dan S. Muller, menulis hasil survey arkeologi dalam laporan Aanteekeningen Gehouden Op Eene Reize Over Een Gedeelte. Berupa perjalanan survey ke wilayah Jawa dan sebagian Sumatera, dilakukan dari tahun 1833 hingga 1835.

Survey arkeologi ke G. Lumbung dilakukan selama tiga hari, dari tanggal 15 hingga 17 Januari 1833. Berangkat dari Cilokotot, kemudian menyeberangi Citarum di Cipameuntasan, kemudian ke utara melaui Gajah Langu. Saat ini ditafsirkan sebagai perbukitan G. Salam di Leuwigajah, Cimahi Selatan. Dalam keterangan selanjutnya, Muller menggambarkan dari Ci Tarum ke arah selatan jarang dihuni. Ke arah selatannya adalah padang rumput yang luas, ditempati ilalang dan gelagah, rusa liar dan harimau. Sesekali melihat kawanan angsa dan banteng liar yang sangat ditakuti warga. Areal ini seringkali digunakan sebagai lahan perburuan binatang liar oleh Bupati Bandung saat itu.

Kondisi demikian menandakan wilayah Bandung bagian selatan, masih relatif belum terjamah. Sehingga batas wilayah pemerintahan pada saat itu bukan pada batas wilayah lahan, tetapi berdasarkan sebaran penduduk.

Pada tanggal 17 Januari 1833, P. van Oort dan S. Muller melakukan perjalanan lanjutan. Dimulai dari Cililin, kemudian menyeberangi Ci Minyak. Perjalanan ini sepertinya telah diatur dan diatur oleh seorang Wedana Rongga saat itu. Digambarkan bahwa sungai tersebut dalam dan deras airnya, namun bila disandingkan dengan kondisi sekarang berbeda. Sebagian besar sungainya sudah tenggelam oleh genangan Waduk Saguling. Dari Tegallaja keduanya melanjutkan dengan cara berjalan kaki, menyusuri Ci Bitung ke arah hulu.

Selepas lembah Mukapayung, kemudian menembus perbukitan hingga tiba di lembah disebut Lembang. Berupa cekungan yang diapit oleh beberapa puncak perbukitan. Menjelang tengah hari, mendaki Gunung Lumbung dari sisi utara. jalannya curam dan terjal, hingga mendapati dataran di atas perbukitan tersebut. Selanjutnya dilaporkan didapati teras persegi yang ditumbuhi rumput dan semak-semak, menutupi area tanah yang luas. Muller menduga bahwa daratan di bagian puncaknya pernah ditempati sekelompok warga. Namun ia tidak menemukan sisa-sisa jejak bangunan.

Kemudian dilanjutkan ke arah timur, mendekati punca perbukitan. Selama perjalan menemui pecahan genteng, mangkuk porselen cina, dan wadah-wadah pecahan lainya. Keberadaan pecahan porselen, hingga kini masih didapati secara acak. Terutama di perkebunan warga dekat situs arca. Muncul ke permukaan karena kegiatan penggemburan tanah, atau kegiatan perkebunan lainnya. Namun ketiga dikonfirmasi kepada warga yang menempati perkebunan, kurang begitu memahami keberadaan pecahan porselen tersebut.

Dari keterangan Muller, didapati situs yang dibatasi oleh batu sungai. Dicirikan dengan bentuk batu yg membundar, menandakan batunya diambil dari sungai sekitar perbukitan. Kemudian dibawa ke puncak dan ditata sedemikian rupa. Pada laporan Muller.

“Patung itu berdiri di bawah pohon tua yang tinggi, dikelilingi oleh lingkaran batu yang ditegakkan, dan tingginya lebih dari enam meter. Bentuknya sangat tidak jelas; sepertinya menggambarkan seorang manusia dalam posisi duduk, yang memegang sesuatu di depan dadanya, yang mirip dengan seorang anak dengan kepala burung. Bagian depannya menghadap ke barat laut, dan di belakangnya terdapat batu bulat kecil yang tingginya lebih dari satu meter.

Penduduk setempat menyebutnya arca. Mereka tidak akan melakukan hal penting apa pun tanpa terlebih dahulu mempersembahkan dupa dan memohon berkah darinya.”

Saat ini keberadaan arca tersebut kurang lebih sesuai dengan penggambaran lukisan Van Oort. Berupa bentuk menyerupai tubuh manusia setengah badan, kemudian bentuk mata tunggal di tempatkan pada bagian arca. Tingginya 65 cm dan lebar 40 cm, terbuat dari batuan trachyte. Batuan beku hasil kegiatan gunungapi, berwarna terang.

Arca tersebut didampingi oleh tiang batu disebut lingga, dengan ukuran tinggi 120 cm, dan lebar sekitar 50 cm. Gambar sketsa dan keterangan, dituliskan dalam laporan terpisah. Melalui Over Eenige Oudheden Van Java En Sumatra.

“Fig. 1. Sebuah Artja dari Gunung Loemboeng. Gunung ini terletak 6 atau 7 jam perjalanan ke arah barat daya dari kota utama Bandung, di tengah-tengah gunung-gunung lain yang berukuran sedang. Puncaknya, sekitar 5000 kaki di atas permukaan laut, menampilkan sebuah dataran tinggi kecil, di mana terdapat sebuah gagah (ladang padi hutan) dengan sebuah rumah sederhana. Saat mengolah tanah, ditemukan berbagai sisa-sisa rumah tangga, seperti koin tembaga kecil (pitis atau pitjis), seukuran duit, dengan lubang persegi di tengahnya, sejumlah pecahan piring atau cangkir berwarna kebiruan, sebuah pot kecil dari bahan putih, berbutir halus, dan sangat keras (lihat gambar 3), dan akhirnya sebuah wadah dupa kecil dari tanah merah (gambar 4, a. dari samping, b. dilihat dari atas, gambar-gambar ini, sama seperti gambar 3, diperkecil satu setengah kali), semua benda ini ditunjukkan kepada kami oleh seorang wanita tua dan dijual dengan harga murah. Di titik tertinggi puncak gunung tersebut terdapat patung Artja yang digambarkan (fig. 1). Patung kuno ini — jika dalam kondisi saat ini masih dapat disebut patung — berdiri di bawah pohon Hoeni yang cukup besar (Antidesma bunius).

Ini terdiri dari dua belas batu sungai yang disusun dalam lingkaran dan ditutupi oleh beberapa baris tanaman Hanjuang berdaun merah (Dracaena terminalis). Bentuknya sangat tidak jelas dan telah banyak rusak akibat pengaruh udara dan air, karena patung tersebut terbuat dari batu konglomerat. Bagian belakangnya hampir rata, dan hanya bagian samping dan depan yang masih utuh. Di bagian depan hanya terlihat kepala burung, yang paling mirip dengan burung merak, yang dapat dikenali dengan jelas. Patung ini tidak memiliki wajah yang sebenarnya, tetapi di bagian atas kepala terlihat sosok seperti mata yang berdiri tegak, yang memiliki kemiripan dengan mata ketiga yang melambangkan matahari di dahi Siwa. Tinggi patung keseluruhan adalah 0,65 meter, lebarnya 0,40 meter, dan ketebalannya 0,25 meter. Bagian depannya menghadap ke arah barat laut.

Gambar 2. Batu panjang, ramping, dan sedikit kemerahan ini, yang diduga merupakan Lingga, terletak di sebelah timur laut di belakang arca yang telah dijelaskan di atas. Batu tersebut memiliki tinggi 1,20 meter, lebar 0,28 meter, dan tebal 0,20 meter. Di dekat benda-benda ini, terutama di depan Artja, terdapat beberapa ikat jerami padi yang setengah terbakar dan beberapa tongkat bambu, yang diduga digunakan untuk ritual mistis guna meramalkan masa depan. – Tidak jauh di selatan Gunung Loemboeng, terdapat puncak gunung lain yang memiliki nama bersejarah G. Majapahit”

Saat ini kondisi arca dalam kondisi tidak terawat. Terbuka tanpa ada atap penutup, sehingga akan mudah lapuk dan rusak oleh cuaca. Keberadaan segmen bagian atas pada arca, saat ini telah tererosi. Sedikit membundar, dan kehilangan detail seperti yang digambarkan oleh Van Oort pada 1833. Selain itu didapati kolom yang membentuk seperti obelix, dengan aksara latin berupa angka. Diduga merupakan titik triangulasi yang digunakan kolonial, untuk melakukan pemetaan.

Bak penampung air, disalurkan ke tanki air/water crane untuk lokomotif uap.
Jejak rel disekitar Soreang barat.
Bongkah batuan beku, penyusun G. Hawu. Berupa andesit yang terkekarkan akibat pelapukan.
Arca, dengan lingga dibagian belakannya. Di samping kanan diperkirakan tugu triangulasi.
Dilembah Curugan G. Putri, Mukapayung.