Sekitar 600 meter dari Radio Penerima Rancaekek di Rancabatok ke arah utara, akan menemui Statsiun Kereta Api Rancaekek. Merupakan stasiun yang dilintasi oleh jalur Bandung ke Cibatu, Garut. Dilanjutkan ke arah timur, hingga menghubungkan ke Yogyakarta.
Stasiun ini dianggap penting, karena memiliki percangan yang menghubungkan ke Tanjungsari melalui Jatinangor. Jalur alternatif ke arah timur laut tersebut, sudah sejak lama diajukan hak konsensinya oleh pihak partikelir. Diantaranya diajukan oleh R.A. Eekhout, melalui dua proposal, 14 April 1897. Mengajukan jalur penghubung antara Bandung-Cileunyi-Cicalengka, melalui lintasan Cileunyi hingga Sumedang. kemudian pengajuan kedua pada 21 Mei 1897, dari Rancaekek ke Sumedang, hingga berakhir di Karangsambung atau Tomo Sumedang saat ini. Menggunakan teknologi kereta api uap dan listrik
Kemudian proposal susulan, berupa jalur kereta api sekunder, oleh A. Mijer pada 14 Mei 1897. Menghubungkan Rancaekek-Tanjungsari-Sumedang. Kemudian naik ke utara ke Conggeang dan berakhir di Karangsambung. Pada bulan yang sama, tanggal 20 Mei 1897, H. Margadant mengajukan jalur yang sama dengan A. Mijer.
Kemudian A.H. Veerkamp, pada 25 Juni 1897, mengajukan pembangunan jalur dari percabangan Rancaekek-Cileunyi-Tanjungsari hingga Sumedang. Namun semua proposal tersebut ditolak pemerintah Hindia Belanda, mengingat perhitungan biaya dan keuntungan. Namun selepas Perang Dunia ke-1, peta politik dunia berubah. Sehingga pemerintah kolonial perlu mempersiapkan sistem pengamanan militer saat itu.
Kemudian muncul usulan – pembangunan jaringan militer melalui jalur kereta api. Terutama dalam rangka pembuatan basis-basis militer di luar kota,diantaranya Sumedang. pihak militer kolonial saat itu, menduga bahwa serangan musuh masuk dari pelabuhan Cirebon. Sehingga diperlukan penguatan sistem transportasi untuk menggerakan militer, mempertahankan Sumedang sebagai penyangga pertahanan.
Pemerintah kolonial pada saat itu sudah memperhitungkan, bahwa tidak ada nilai ekonomi selain kepentingan pengamanan militer. Pandangan pentingnya militer, disampaikan oleh Menteri urusan Jajahan Titus van Asch van Wijk (1901-1902). Mempertanyakan rencana pembangunan jalur ke Sumedang, karena tidak ada nilai ekonomisnya. Di Lain pihak, pemerintah kolonial sedang giat-giatnya membangun jalur lintasan kereta api antara Cikampek ke Cirebon, melalui pantai utara.
Pernyataan Titus, kemudin ditentang oleh Direktur Burgerlijke Openbare Werken (BOW), atau direktur pekerjaan umum pada saat itu. Mengirimkan surat kepada pemerintah kolonial, pada 23 Juni 1902 Nomor 9916/SS. Menuliskan “Meskipun dari sudut pandang ekonomi tidak dibuktikan urgensi pembangunan pada lintasan ini (jalur kereta api), tetapi sebaliknya perlu untuk disegerakan dibangun. Tujuannya adalah menggerakan ekonomi Jawa Barat, sehingga perlu dibangun oleh negara”. Jawaban dari pemerintah kolonial adalah ditangguhkan untuk berapa tahun ke depan.
Pada 16 Agustus 1907, melalui rapat di komisi perkeretaapian militer di parlemen kolonial. Mendorong pembangunan jalur lintasan Bandung-Cirebon melalui Sumedang. kemudian pada 1914 dilakukan studi kelayakan yang dilakukan oleh kepala teknisi Paul Richter.
Pemerintah kolonial melalui perusahaan negara, Staatsspoorwegen mulai melakukan pembangunan. Dari Rancaekek ke Tanjungsari, dilanjutkan ke Sumedang dan berakhir di Kadipaten, Majalengka. Namun rancangan tersebut akhirnya membangun jalur dari Rancaekek ke Citali, Sumedang. mengingat jalur lintas yang dibuat terlalu sulit untuk dilakukan, karena harus melalui perbukitan Cadas Pangeran.
Rencana pembangunannya telah dirancang melalui kegiatan studi kelayakan, dilandasi melalui staatsblad (surat keputusan) pada 4 Januari 1916. Menjadi dasar pembangunan jalur kereta api Rancaekek – Jatinangor. Jalur selesai dan dipergunakan tanggal 23 Oktober 1916. Kemudian dilakukan pembangunan jalur berikutnya, menghubungkan Jatinangor ke Tanjungsari pada tahun 1918. Karena jalur yang dilalui mendaki, dan melewati beberapa sungai dalam, dibutuhkan waktu pembangunan hingga 3 tahun. Pada 1919, jalur tersebut diperpanjang hingga Citali, untuk dilanjutkan ke Sumedang. Namun tidak sempat dilanjutkan, karena depresi ekonomi global dan perubahan arah politik di Eropa.
Pada akhirnya resmi beroperasi, melayani jalur Rancaekek hingga Tanjungsari sepanjang 11,2 Km. Diresmikan pada 13 Februari 1921. Sedangkan jalur Tanjungsari ke Citali tidak dibuka, walaupun sudah terhubung.
Seiring masuknya Jepang ke Indonesia 1942, rel kereta api ini dibongkar untuk dipindahkan ke Banten. Saat ini besi rel sudah dan bantalannya sudah tidak ada, kecuali meninggalkan jejak dua jembatan utama. Jembatan Cikuda atau disebut jembatan Cincin, dan jembatan Cigondok (Citeureup), Jatinangor.
Saat ini jalur lintasan Rancaekek ke Citali melalui Tanjungsari sudah tidak tampak lagi. Lintasannya sudah ditempati rumah warga, dan perkebunan. Sedangkan stasiunnya telah digunakan untuk kebutuhan fasilitas umum. Diantaranya stasiun Hegarmanah menjadi bangunan bank BUMN, sedangkan stasiun Tanjungsari digunakan aula desa. Jejak yang mudah dilihat adalah sisa jembatan Cikuda, dan jembatan di Cigondok yang saat ini dimanfaatkan sebagai jalan lintasan warga.

