Bagi penduduk di kampung Cibogo, Desa Mayang sebelah selatan, Subang menyebutnya gunung Gede. Kerucutnya tinggi menjulang ke langit, kadang-kadang sirna dalam balutan kabut bila jelang petang. Distal gunung tersebut (dasar lereng) melebar ke segala arah, bila diukur berdasarkan ketinggian per 600 m. dpl., kurang lebih memiliki lingkar diameter 6 km. Disusun oleh perselingan piroklasti dan lava, di bangun di atas batuan sedimen sebagai alasnya.
Gunungapi tersebut adalah Gunung Bukittunggul, tumbuh di tiga batas admistrasi, sebelah selatan masuk ke wilayah Kabupaten Bandung Barat, sebagian timur di Kabupaten Sumedang dan di ke arah selatan jatuh ke Kabupaten Subang. Dari tinggian tersebut melahirkan beberapa aliran anak sungai, Daerah Aliran Sungai Ci Punagara yang berakhir di sekitar pantai utara Majalengka
Dalam peta rupa bumi Indonesia, gunungapi tersebut dituliskan Gunung Bukittunggul dengan tinggi 2230 m. dpl. Dari tinggian inilah, Cileat lahir dari pertemuan anak-anak sungai, yang mengalir di atas material hasil letusan gunungapi Umur Kuarter. Airnya muncul dari tubuh gunung kemudian mengalir mengikuti kontur, berhulu di Gunung Bukittunggul, Gunung Sanggara, Gunung Sembul (Sumbul), dan Gunung Ipis. Anak sungai tersebut kemudian bergabung dalam aliran Ci Leat. Airnya jernih di hulu karene perbukitannya masih hijau dan belum tersentuh kegiatan pembukaan lahan. Ekologinya terjaga dengan baik sehingga debit air selalu hadir disepanjang musim. Fungsi hutan adalah menyimpan cadangan air, kemudian dikeluarkan melalui mataair. Airnya bersih karena telah disaring oleh batuan vulkanik, melalui lubang-lubang yang bisa meloloskan air. Selama hutannya terjaga baik, airnya mengalir dan memberikan manfaat masyarakat yang tinggal dilereng gunung.
Anak sungai tersebut bertemu di sekitar lembah yang dalam Mayang sebelah utara. Kemudian jatuh pada dinding tegak yang disusun oleh batuan beku, dengan struktur sesar normal berarah barat timur. Posisi air terjun tersebut diapit oleh dua kerucut Gunung Kembar 1073 m. dpl. di sebelah barat, dan di sebelah timurnya Gunung Canggak 1661 m. dpl. Bentang alamnya adalah lembah yang dalam, ciri erosi sungai ke hulu, masih berlanjut hingga kini.
Dalam peta geologi Gunung Tangkubanparahu (Soetoyo dan Hadisantoso, 1992), menyebutkan satuan-sataun produk hasil letusan yang dikorelasikan dengan aktivitas vulkanisme Gunung Bukittunggul (Btl), pada Umur Plistosen Akhir atau sekitar 700.000 tahun yang lalu. Pada umur yang sama dibagian atasnya ditindih oleh lava dari aktivitas letusan efusif Gunung Sanggara (Sal). Sedangkan di bagian paling atas dan dalam umur yang lebih muda, ditutupi oleh aliran lava aktivitas letusan Gunung Canggak (Cl). Selain pertemuan anak sungai dari utara, Cileat mengalir di atas lava dari tiga sumber letusan. Seirirng waktu setelah lava tersebut membeku, kemudian terbentuklah sesar normal yang disebabkan oleh kegiatan tektonik. Gawir terjal tersebut menjadi ciri khas Cileat, dengan tinggi kurang lebih 50 meter.
Perjalanan menuju air terjun Cileat, dibutuhkan waktu kurang lebih 1,5 hingga 2 jam treking. Jalurnya terbagi dua lintasan dengan tantangan yang berbeda, diantaranya perjalanan treking memotong sawah atau pilihan kedua menapaki perbukitan dengan tingkat kesulitatan sedang hingga semi terjal. Pemandangan selama perjalanan dihantarkan oleh pesawahan yang ditata sesuai kemiringan lereng disebut terasiring. Saat mendekati Cileat vegetasi berganti dari daerah terbuka dan sawah, kemudian berganti menjadi hutan. Selama perjalanan bisa menjumpai beberapa air terjun, sebagai penghias petualangan mata sebelum tiba di Cileat.
Ci Leat merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Ci Punagara. Selain saat ini menjadi tujuan wisata alam Curug Cileat, aliran airnya ditangkap melalui sistem irigasi mengairi sawah dan perkebunan sekitar Mayang hingga Gardusayang, Cisalak, Kabupaten Subang. Airnya terus mengalir, memberikan berkah selama dijaga tetap hijau di bagian hulunya.