Getaran udara tiba di perahu cepat yang saya tumpangi, akibat letusan di puncak serta diiringi kenampakan kolom asap yang terus membumbung tinggi. Suaranya datang terlambat karena merambat di udara, terbentuk karena desakan gas membongkar kepundan yang tertutup material letusan sebelumnya. Sejak awal tahun 2018, gunungapi di Selat Sunda ini terus aktif mengeluarkan rempah-rempah dan material gunungapi ke udara. Sebagian jatuh lagi di sekitar lingkar kawahnya, teredapkan menjadi permukaan tubuh gunungapi baru.
Gunung Anakkrakatau adalah generasi terakhir dari suksesi sebelumnya. Kini ia tumbuh dengan kecepatan 6 m per tahun akibat pengendapan material letusan sebelumnya, sehingga diperkirakan pada 2020 ketinggiannya mencapai titik tertinggi optimal. Tinggi kerucut tersebut sama dengan Gunung Krakatau-Danan dan Perbuawatan, meletus hebat 1883. Akankah gunungapi tersebut meletus kembali seperti sebelumnya? Tentu saja bisa, namun belum bisa dipastikan. Belumlah ada teknologi yang bisa memperkirakan gunungapi akan meletus secara tepat, tetapi melalui perkirakan berdasarkan pengamatan visual, perubahan gas gunungapi, dan aktifitas seismik. Data tersebut kemudian ditafsirkan oleh ahli gunungapi, melalui keilmuan yang mengkhususkan pada volkanologi.
Sejarah komplek gunungapi Krakatau tidak hadir dalam semalam, namun lahir jauh sebelum peradaban manusia ada di muka bumi. Seperti yang diceritakan dalam Kitab Raja Purwa karya oleh R. Ng. Ranggawasito. Kitab yang disusun 1885 di Surakarta, mengisahkan kesaksian letusan gunungapi di Jawa, Madura hingga Bali. Dalam satu baitnya, dituliskan “Di tahun Saka 338 (416 Masehi) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang dijawab dengan suara serupa yan gdatang dari Gunung Kapi yang terletak di sebelah barat Banten baru.”
665 tahun kemudian, merupakan siklus ke-dua pembangunan kembali kerucut gunungapi, tumbuh dari bawah gelombang laut. Tubuh yang muncul di atas permukaan laut bila diukur mencapai kurang lebih dua kali ketinggian Gunung Anakkrakatau saat ini. Di 1215 meletus dahsyat, setara dengan 6 Volcanic Explosivty Index (VEI). Dari letusan tersebut menyisakan sisa kaldera terluar, diantaranya Pulau Sertung, Pulau Panjang dan Pulau Rakata.
Siklus ke-tiga yaitu pra-1883. Sejak 1680 para kapten kapal yang melintasi Selat Sunda telah mencatat kehadiran kerucut Perbuwatan. Seperti yang dituliskan oleh Verbeek dalam laporannya, bahwa pulau-pulau volkanik tersebut tumbuh dan membentuk satu kesatuan pulau. Selama 668 tahun ia membangun dirinya melalui letusan berutun kemudian membentuk trio kerucut; Rakata, Danan dan Perbuwatan berarah baratlaut. Panjang pertemuan ketiga kerucut tersebut 9 km panjang dan 5 km lebar. Diantara ketiga gunungapi tersebut, Gunung Perbuwatan pernah meletus dalam jangka waktu beberapa bulan saja, kemudian terlelap tidur untuk bangun kembali menjelang 1883. Selebihnya adalah sejarah, mencatatkan letusan paroksismal, dan dampaknya secara global.
Gunungapi yang terletak di antara Selat Sunda yang memisahkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Bisa ditempuh melalui dua jalur, melalui dermaga Canti di Lampung selatan, melalui Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi. Pengarungannya menggunakan perahu kayu, untuk 15 orang dan bergerak lambat. Moda transportasi ini sangat diminati karena relatif lebih murah dibandingkan melalui Dermaga Carita, karena jenis perahu yang digunakana berbeda. Jalur laut berikutnya melalui Dermaga Carita, Anyer Banten. Pengarungan melalui Pantai Carita ini sangatlah tepat bagi mereka yang memiliki waktu kunjungan singkat, namun cukup menantang adrenalin karena harus terjaga selama satu setengah jam melawan ombak. Goncangannya akan terasa kuat setelah lepas dari dermaga, tepat di pertengahan menjelang Pulau Rakata.
Rasa lelah dipengaruangan laut akan sirna digantikan ketakjuban, apalagi bila mengunjungi saat Gunung Anakkrakatau sedang aktif. Kolom asapnya membumbung tinggi hingga 1000 meter, dan sebagian batuan api jatuh. Bila disaksikan di kala malam dari Pulau Rakata, akan mempertontonkan api yang dilontarkan ke udara seperti pertunjukan kembang api. Bentuk demikian disebut letusan strombolian, ibarat air mancur dalam bentuk pijar api. Berkunjung di kala gunungapi aktif, tentunya menjadi perhatian serius bila berkaitan dengan keselamatan. Dalam kondisi demikian, baiknya dikenali terlebih dahulu ancaman bahaya, melalui beberapa sumber informasi seperti yang dimaklumatkan oleh lembaga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Badan Geologi melalui aplikasi Magma. Selebihnya adalah selamat menikmati pijar api serta sensasi gemuruh yang menggetarkan sukma.