Barisan ibu-ibu yang membaw wadah air dari batanb bambu, mengikuti arak-arakan hajat ritual Nyangku. Dalam proses Nyangku di masyarakat adat Panjalu, mengumpulkan air dari tujuh sumber kemudian dibawa ke situs Geger Omas, Desan Ciomas, Panjalu, Kabupaten Ciamis. Air ini digunakan untuk membasuh pusaka inti Galuh di alun-alun Panjalu

Upacara yang selalu dilaksakan setiap tanggal 24 Mulud (Rabiul-Awal) dalam penanggalan Hijriah, di Desa Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ritual ini adalah tradisi masyarakat untuk menghormati Raja Panjalu Borosora, yang mengenalkan Islam dalam ideologi pemerintahannya (Panjalu), peralihan dari Hindu di masa pemerintahan Bunisora. Upacara ini diungkapkan dalam bentuk pensucian kembali pusaka Galuh, diantaranya yang diyakini pedang pemberian Sayiddina Ali, Keris, Kujang, Tombak dan benda pusaka lainya, dengan cara dimandikan menggunakan Tirta Kahuripan disimpan dalam lodong (bambu) berisi air dari sembilan sumber air keramat dan bersejarah pada masa penyebaran Islam. Acara dimulai pagi hari, mengeluarkan pusaka dari Bumi Alit dengan cara digendong dan ditutupi oleh samping kebat (kain batik), kemudian diarak diringi Gembyung dan Shalawat, menuju Nusa Gede, Situ Panjalu, bagian dari napak tilas. rombongan kembali ke alun-alun Panjalu, ditutup dengan memandikan pusaka dan disimpan kembali ke Bumi Alit.

Sumber mata air tersebut menjadi penting dalam ritual Nyangku. Menandakan bahwa sumber mata air tersebut haruslah lestari dan terjaga lingkungan dan  kualitas airnya. Bilamana kering berarti menandakan bencana akan datang.

Pengiring tujuh mata air Panjalu di upacara Nyangku, Ciamis. (c)Deni Sugandi