Menyapu lebar sudut mata, rasanya tidak akan pernah bisa melibas tuntas kaldera Dieng dari ketinggian bukit Sinila. Dari titik ini, seakan-akan misteri kabut musim kemarau telah memeluk amuk magma gunung api aktif di Jawa Tengah.  Laten produk vulkanik seakan menjadi bayang hitam dataran tinggi ini, sebut saja peristiwa yang merengut warga desa Kepucukan, merengut 149 nyawa sekaligus, dalam rentetan waktu serentak. Inilah buas yang tersembunyi dibalik indah misteri.

“Dead pottato Sir” ujar pemandu lokal, ketika menjelaskan fenomena udara dingin musim kemarau pada beberapa pelancong asing. Sebut saja titik terdingin adalah 15 hingga 10 derajat celcius, suhu yang sungguh dingin. Para petani di sini rupanya membekali dirinya tidak saja dengan keterampilan bercocok tanam, namun menjadikan sarung dan kupluk sebagai penghangat sejati. Diantara artefak kompleks Candi Arjuna, para petani ini menggantungkan asa, sebagai penggarap tanaman kentang, carica, keripik jamur dan purwaceng, sebagai unggulan panen setiap siklus musim panen.

Saya melihat penampakan peninggalan kebudayaan Hindu tua! Seru Van Kinsbergen, ketika mencapkan tripod kamera Daguertype di komplek Candi Bima. Ialah orang Belanda yang diutus untuk mendokumentasikan ruang galeri hasil kebudayaan tertinggi di nusantara ini, dalam dokumen fotografi silver nitrat pertama. Ini adalah penampakan permanen pertama, kemudian menjadi koleksi pusat kajian arkeologi Hindia-Belanda, bukti bahwa Jawa Kuno pernah memiliki kebudayaan tinggi. Dari komplek Candi ini, Van Kinsbergen tidak pernah mengira, bahwa dataran tinggi Dieng menyimpan potensi alam lain; panas bumi.

Panas bumi dataran tinggi Dieng, dirintis semenjak tahun 1918 masa kolonial Belanda, tersimpan 60Mwe. Besar potensi ini akan menjadi cadangan energi yang bermanfaat untuk bangsa ini. Maka Dieng mengiris mistis di kabut yang telah dikuakan kini.