“.. duduk disamping pa kusir yang sedang mengendarai kuda’, sepenggal lirik lagu anak-anak tentang perjalanan menaiki kereta kuda. Disebutkan bahwa si anak sangat senang duduk di bangku paling depan, karena dapat melihat leluasa pemandangan, sambil memperhatikan arah jalan. Makna lagu tersebut menyiratkan bahwa duduk dengan pandangan luas merupakan berkah perjalanan, terutama yang berkesempatan melakukan perjalanan panjang. Duduk disamping jendela memberikan kesempatan untuk meraup kemolekan bentang alam tanpa batas, apalagi pandangan dari ketinggian. Duduk disamping jendela kabin pesawat komersial, adalah pilihan terbaik menyaksikan permukaan bumi dari titik tinggi.
Di balik bingkai jendela pesawat komersial, pemandangan di udara jauh lebih luas dibandingkan kereta kuda. Pesawa udara mampu terbang di atas ketinggian antara 10 ribu hingga 35 ribu kaki di atas permukaan laut, setara dengan 5 kali ketinggian gunung tertinggi di Jawa. Di balik jendela yang mungil tersaji tayangan pesona lereng pegunungan, lembah, kelok sungai yang dibatasi oleh cakrawala.
Kesempatan ini menjadi celah bagi penyuka fotografi, mengabadikan bentang alam bumi dan fenomena langit dari ketinggian sambil duduk manis. Namun ada baiknya mempersiapkan segala sesuatunya, karena pesawat merupakan ruang komersil yang bersinggungan dengan kepentingan keselamatan, yang dituangkan dalam aturan-aturan yang mengikat. Dalam kondisi tertentu, pramugari akan mengeluarkan larangan sepihak berkaitan keselamatan perjalan. Hingga kini belum ada larangan khusus penggunaan kamera digital elektronik pada saat terbang, kecuali bersinggungan dengan kenyamanan penumpang disamping tempat duduk. Untuk penerbangan pendek penumpang regional, biasanya dilayani jenis ATR 72, pesawat berbaling-baling. Jenis pesawat ini sangat menguntungkan karena posusu saya di atas, sehingga bisa leluasa mengkomposisi lebar dari balik jendela, tanpa terhalang sayap. Tetapi bila menggunakan jenis jet Boeing seri 737 atau Airbus A330 pastikan duduk di paling belakang atau di depan karena posisi sayap di tengah.
Berkaitan dengan itu, tentunya diperlukan persiapan dan rencana, agar hasil pemotretan tampil baik. Kendala teknis tentunya ada, karena memotret di atas ketinggian memiliki kesulitan tersendiri. Meskipun kini beberapa kamera dilengkapi fitur canggih, namun tetap saja ada kendala diluar kemampuan teknis fotografi, misalnya kontras tinggi akibat tipisnya lapisan atmosfir, getaran pesawat hingga kendala teknis lainya. Berikut cara terbaik menyiasati dan pilihan bijak memotret di balik kabin pesawat komersial umum.
Pemilihan waktu penerbangan menjadi penting, selain menghindari kontas tinggi pada jadwal penerbangan siang. Usahakan memilih waktu terbang paling pagi atau menjelang sore. Waktu tersebut disebut golder hour atau cahaya matahari terbit sejajar dengan horison, karena cahaya samping akan menampilkan tekstur lembah, pegunungan dan perbukitan.
“Posisi menentukan prestasi” istilah yang sering didengar. Posisi kursi bisa ditentukan pada saat pemesanan tiket. Beberapa maskapai menarik biaya tambahan, tetapi ada pula yang bisa diminta langsung saat cek-in awal. Duduk dibagian belakang dan depan memiliki keuntungan dan kekurangan. Bila memilih di bagian depan, mulai dari baris pertama hingga ke delapan, padangan bisa bebas ke depan. Kerugiannya adalah pandagan ke belakang terbatas, tertutup oleh sayap pesawat. Sedangkan duduk di bagian belakang, mulai dari baris paling belakang hingga baris ke lima ke arah depan, memiliki keleluasaan memotret lebar tanpa terhalang sayap pesawat, hanya terhalang sedikit oleh sayap ekor pesawat. Namun bila mengarahkan lensa ke bagian depan, pasti tertutup sayap, dan kemungkinan terbaik adalah duduk paling belakang, karena lebih leluasa dibandingkan di bagian depan.
Ukuran lingkar jendela kabin tidaklah besar, sehingga menjadi perhatian untuk pemilihan panjang fokal lensa. Beberapa pesawat komersil yang telah lebih dari lima tahun masa operasi, biasanya terdapat cacat di jendela bagian luar yang terbuat dari kaca-plexi (plexyglass). Kemungkinan karena gesekan udara, material kasar dari udara (biasanya silika dari letusan gunung api), dicirikan lapisan luar jendela kasar, tergores, sehingga gambar berkesan blur. Untuk menyiasatinya menggunakan bukaan diagragma terlebar, dan memosisikan lensa sangat dekan dengan kaca bagian dalam, tetapi tidak menyentuh. Bila diperhatikan, di bagian bawah jendela terdapat lubang sangat kecil sekali, berfungsi agar tidak berembun, menjaga kestabilan tekanan kabin. Namun pada ketinggian tertentu seiring arah matahari, biasanya menjadi bias dan kontras.
Pilihan kamera kini sangat beragam, bisa menggunakan kamera jenis saku, mirorless hingga dlsr, semuanya sama saja tetapi memiliki kelebihan dan keuntungan. Kamera saku sangat ringkas, namun memiliki fitur yang terbatas. Berbeda dengan kamera mirorless dan dslr, bisa mengatur full manual hingga kecepatan tinggi. Terpenting adalah cukup baik untuk pembesaran dan kualitas kerapatan pixel.
Semua panjang fokal lensa bisa digunakan, namun bila sudah terbang di atas ketinggian antara 10 ribu hingga 35 ribu kaki, atau setara 10-15 km di atas permukaan bumi, dibutuhkan lensa normal ke tele. Untuk membidik kerucut gunung api dikejauhan, dibutuhkan lensa 200 hingga 300 mm pada format full frame. Bila menggunakan sensor APS, tinggal dikalikan 1,6 kali dengan panjang fokal lensa. Lensa terlebar antara 24 hingga 35 mm, lebih lebar lagi biasanya berkesan melengkung, karena sudut pengambilan oblig atau miring terhadap permukaan bumi. Lensa medium-tele bisa digunakan untuk memotret alur sungai, lereng gunung, lembah dan perkotaan.
Pesawat jet komersial terbang dengan kecepatan di atas 700 km per jam, namun tidak terlalu terasa karena menjelajah di atas ketinggian tertentu, jauh dari permukaan bumi. Dengan demikian berbanding lurus dengan penggunaan kecepatan di kamera. Pada saat take-off, gunakan fitur kecepatan dan kunci di atas 1/1000 detik. Bila telah mengudara, minimal 1/800 detik. Fitur yang terbaik digunakan adalah semi-auto Time Value (Tv) atau Speed (S) di beberapa merek kamera. Dengan demikian bisa mengatur kecepatan tinggi untuk mengkompensasi laju pesawat di atas kecepatan rata-rata 700 km perjam. Bila pesawat telah mengudara di atas ketinggian di atas 10 km dari permukaan bumi, tidak terasa cepat bergerak, namun biasanya akan terjadi goncangan akibat menabrak udara kosong di udara. Pada kamera format 35 mm, pemilihan bidang gambar vertikal atau horisontal disesuaikan dengan kebutihan. Yang harus diingat adalah posisi memotret duduk, sehingga tidak leluasa menentukan komposisi. Kandang-kadang komposisi terkunci pada satu sudut, mengingat ruang pengambilan gambar yang sempit (terhalang sayap pesawat), sehingga hanya menunggu momen saja.
Hindari penggunaan filter Polariser (PL), karena akan membiaskan cahaya menjadi spektrum warna pelangi. Cukup menggunakan filter Ultra Violet yang mampu mereduksi haze di atmosfir. Bagi pengguna kamera memiliki lcd bisa dilipat, memiliki keuntungan sendiri. Komposisi dan pengaturan sudut akan lebih mudah, tanpa harus mengintip melalui view finder.
Selain teknis pengoperasian kamera, yang terpenting adalah mengetahui jalur lintasan pesawat terbang, berkaitan dengan pemandangan yang akan dilihat. Seperti contoh bila menumpang pesawat dari Jakarta ke Bali, pilihan terbaik adalah duduk di sebelah kanan atau kursi F. Dari sisi ini bisa menpatkan jajaran pemandangan gunung api sepanjang Jawa, mulai dari Gunung Gede di Jawa Barat, Gunung Sumbing dan Sindoro, serta kelurusan Gunung Ungaran, Merbabu dan Merapi. Memotret memang sangat menyenangkan, namun karena berada di ruang komersial, sangat disarankan untuk menjaga sikap kepada penumpang sebelah, apalagi belum dikenal sebelumnya. Selebihnya silahkan eksplorasi, dan jangan lupa disertai peta untuk melihat bentang alam apa yang menarik yang akan diabadikan.