Seperti rumah umumnya, rumah hunian biasa di daerah perumahan Muara Bandung, tetapi tidak biasa ketika memasuki ruang tamu. Beberapa karya foto hasil jepretan tahun 70-an, hingga akhir tahun 2007, semuanya tergantung rapih. Dari sekian foto yang digantung, hanya satu karya yang menjadi kebanggaanya, sekaligus “menjerumuskannya” dalam dunia fotografi, karya “Sujud”, yang memenangkan Grand Prize Best Photo of The Year versi PWI Djaya tahun 1973. “Inilah titik tolak saya menekuni fotografi hingga kini” celotehnya, dalam sebuah kesempatan perbincangan sore hari di rumahnya.

Memasuki usia senja, ibarat matahari yang mulai condong ke ufuk barat, lelaki ini tidak pernah menyiratkan keletihan pada usianya. Entah jenis kayu bakar apa yang menyulutnya, karena setiap obrolannya selalu semangat membakar. Dialah Setiady Tanzil, saksi perkembangan fotografi tiga jaman; Jaman film hitam putih (1960-an), pelaku masuknya film warna di Bandung dan praktisi fotografi digital. Semuanya digaulinya dengan baik dan benar.

Awal pertemuan dengan fotografi dimulai di kota kelahirannya, Tegal. Karena keinginan tahunya, mendorong ia berkenalan dengan seorang karyawan toko foto Tukul di kota Tegal. Lewat karyawan inilah (spesialis kamar gelap hitam-putih) ia belajar tanpa sengaja. Dari sinilah kecintaannya muncul, kata fotografi baru saja ditambahkan dalam kamus hidupnya. Demi memuaskan keinginan tahunya, berbekal uang hasil patungan bersama teman-temannya, ia mendapatkan kamera pertamanya, yaitu BOX kamera. Pada saat itu, seorang fotografer dituntut untuk bisa mencetak sendiri, karena untuk membeli erlarger pada masa itu mahal dan sulit didapat (perang kemerdekaan-agresi militer), maka Setiady muda tidak patah semangat, dengan menggunakan erlarger improvisasi buatannya, menggunakan lensa Voilander, ia bisa mencetak sendiri.

Menginjak usia muda, tahun 1954 ia hijrah ke Bandung, untuk bekerja sebagai karyawan asuransi di Bank BNI. Beberapa tahun kemudian, dengan dorongan kawan karib dari satu daerah, Hussein O. Tanzil, ia bergabung dengan PAF, tercatat pada tahun 1970 menjadi anggota PAF, tentu saja, di dalam lingkungan baru inilah, kecintaan terhadap fotografi semakin menggelora. Menginjak lingkungan baru, tentu saja ia membekali dirinya dengan kamera pertamanya, range finder Yashica Lynx 14E, produksi tahun 1986, yang dianggap modern pada masa itu. Kamera ini sangatlah istimewa bagi Setiady, karena dibeli dari seorang pesulap nasional, Robbin Massarie, atau yang biasa dikenal Mr. Robbin (Meninggal 16 Sepetember 2009) Berselang beberapa waktu, dalam suasana “hunting foto” bersama (alm) Soelarko dan Husein Tanzil, dengan berbekal kamera kesayangannya, Canon FTb, lensa 50-135mm ia berhasil merekam adegan seorang bapak tua, duduk dikursi roda, bersama jamaat lainya, sedang menunaikan ibadah sholat ramadhan di lapangan bola Siliwangi. Inilah “Sujud” karya monumentalnya, yang mengantarkan karirnya melejit. Pada masa itu, hasil karya menggunakan film hitam-putih.

Rintisan karirnya di PAF, melesat. Ketika sebagai anggota junior, beberapa karyanya bisa menduduki peringkat kedua best collection, inilah yang memicunya terus bersemangat berkarya di PAF. Selain selalu berdampingan hunting dan berdiskusi bareng dengan Hussein O. Tanzil, peranan Soelarko (Ketua PAF saat itu) sangatlah penting dalam pengembangan karya fotonya. “Saya banyak belajar dari ulasan Pa Larko” Jawab Setiady. Ia mengistilahkannya “jadi kernet”. Melalui ulasan beliaulah, ia belajar menilai sebuah karya fotografi, kemudian mempengaruhi semua karya yang dihasilkan dalam perjalanannya di perhimpunan fotografi di Bandung.

Dalam struktur organisasi buletin, ia termasuk pengurus PAF, sebagai Bendahara II, hingga pada bulan Oktober 1973, ia sebagai ilustrasi di buletin bulanan PAF. Sesuai dengan keahliannya, pada saat itu ia bekerja sebagai disainer grafis lepas untuk beberapa disain kaver rekaman kaset maupun majalah. Dari keahlian inilah, sebagai mata pencahariannya, dan menghabiskannya di fotografi.