Dari awang-awang, kota yang tumbuh di atas emas hitam menggeliat hingga mendesak datar tinggi di sekitar perbukitan yang menjulang tinggi. Sawahlunto mekar seiring kegiatan eksplorasi tambang dalam batubara yang diusahakan sejak kolonial Belanda. Kini pesonanya masih berkilau berwujud menjadi tujuan geowisata di pedalaman Sumatera.

Syahdah hamparan sawah pernah hadir di cekungan ini. Seperti namanya yang terdiri dari dua kata kemudian menjadi satu makna, merujuk kepada hasil budaya pangan sawah. Pesawahan tesebut menutupi hampir seluruh lembahnya yang dipotong ole Batang Lunto. Sungai tersebut berfungsi menjadi sumber air yang didistribusikan dalam sistem pengairan sawah tradisional. Hulunya berada di Angari Lumindai di sebelah barat, kemudia mengalir ke dataran rendah hingga ke Nagari Lunto hingga memberikan manfaat pengairannya ke anak Nagari Kubang.

Belanda menyebutnya Lunto Kloof atau Lembah Lunto, karena berada di lembah yang dikelilingi perbukitan. Dahulu adalah hanyalah desa kecil, benar-benar teriosolasi secara geografis karena dibentengi oleh perbukitan-perbukitan yang menjulang tiggi. Jauh sebelum para eksplorasi Belanda datang ke nagari ini, jumlah penduduknya tidak lebih dari 500 jiwa, hidupnya bergantung pada hasil bumi dan bercocok tanam di beberapa bagian tempat saja. Sedangkan di beberapa ladang yang tersebar, tidak bisa ditanami karena tanahnya tidaklah subur. Unsur hara sangat rendah, sehingga Sawahlunto dianggap tidak bisa dikembangkan menjadi ladang pertanian, karena sifat tanahnya tidak subur.

Belanda datang ke pedalaman Sumatera tidak satu kali, namun dalam beberapa kali kunjungan yang bertujuan menggali sumber daya alam yang dikandung ranah minang ini. Seiring revolusi industri yang bermula di Inggris, kemudian menjalar ke pelosok Eropa, termasuk negeri Belanda. Melalui surat perintah ekspedisi pertama, C. De Groot dipercayakan untuk meneliti kandungan batubara di Padang Sibusuk pada 1858. Usahanya berhasil memetakan sebagian potensi batubara, namun perlu penelitian lanjutan. Rintisan selanjutnya dilakukan oleh W.H. De Greeve yang bekerja di wilayah Cekungan Ombilin di 1868, dan melaporkan total cadangan batubara yang dikandungnya adalah 200 juta ton. Hasil analisa kimia menunjukan bawah batubara daerah Sawahlunto/Sibantar merupakan peringkat tinggi (PPSDG, 2011). Penelitian tersebut menyebutkan di kawasa tersebut memiliki potensi Batubara hingga 10.995.060 ton.

De Greeve tidak berhenti di Sawahlunto saja, namun ia menelursuri hingga ke arah hilir dari aliran Batang Kuantan. Namun hahas nasibnya, perahu yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi oleng karena menerjang jeram berkali-kali, hingga ia menemui ajalnya pada 22 Oktober 1872. Tubuhnya terbujur kaku, tersangkut dipohon setelah dilakukan pencarian lebih dari satu minggu. Insinyur belanda ahli batubara tersebut dimakamkan tidak jauh lokasi penemuan jasadnya, di dataran tinggi di samping sungai Kuantan, Nagari Durian Gadang, Sijunjung.

Petualangan De Greeve berakhir tanpa turut menyaksikan buah hasil penelitiannya. Dari data yang dibuatnya, maka dilakukan kegiatan penambangan dalam skala bear, termasuk pembuatan jalur transportasi menggunakan lokomotif tenaga uap. Kegiatan eksploitasi tambang meningkat pesat 1891, sehingga membawa perubahahan dan mampu menggerakan kegiatan ekonomi penduduk Minangkabau, terutama kesempatan bekerja sebaga buruh tambang.

Sejak berhentinya aktivitas penambangan 1999, Sawahlunto berkembang ke arah lain. Menggali kembali jadi dirinya yang bisa dimanfaatkan menjadi kegiatan ekonomi, dari Nagari yang subur hijau permadani pesawahan, kemudian digali menjadi penambangan, hingga menjadi tempat tujuan wisata sejarah tambang kelas dunia.