Artikel di majalah wisata kolonial, menyajikan foto hitam putih. Di dalamnya menggambarkan dua orang Belanda, duduk diatas papan yang ditata diantara tegakan pohon. Udara sejuk masih bisa dirasakan walaupun melalui gambar, mengingat danau atau situ tersebut merupakan bagian dari dataran tinggi Pangalengan. Dari arah timur tampak gawir terjal yang menaungi situ. Jika menjelang matahari terbit, sinarnya tertutup oleh tubuh gunung, sehingga danau jatuh di dalam bayang-bayang. Namun bila jelang siang, akan terlihat jelas jelita danau yang berada persis di kaki gunung.
Kondisi demikian menjadikan situ ini dihuni oleh Itik Alis (Anas superciliosa) atau sejenis bebek. Dicirikan dengan bulunya berwarna abu-abu dan garis hitam dibagian alis mata. Habitatnya termasuk langka, sehinga pada saat itu penguasa perkebunan kina Cinyiruan (Gouvernoor Kina onderneming Tjinjiroean) pada saat itu, menetapkan Situ Cibitung sebagai monumen alam. Perlindungan tersebut memastikan agar Itik Alis tidak punah dari habitatnya.Namun seiring waktu, saat ini keberadaanya sudah tidak ada. Apakah hilang seiring menyusutnya ukuran situ, atau ekosistemnya sudah tidak mendukung lagi.
Dalam penulisan populer saat ini, disebut Situ Aul yang berada di kaki Gunung Artapela. Gunung hasil intrusi tersebut tumbuh menjulang tinggi sekitar 2.194 m dpl. Sedangkan ketinggian situ berada dibawanya, atau sekitar 1.857 m dpl. (RBI, lembar Lebaksari, 1999). Gunung Artapela dipopulerkan oleh para pendaki gunung, mengingat pendakiannya tidak terlalu sulit. Selain berada di tempat tinggi dan terbuka, sehingga arah pandangnya bisa melihat puncak G. Malabar di sebelah utara. Artapela dalam penulisan peta RBI, 1999, dituliskan G. Gambungsedaningsih. Sedangkan menurut peta terdahulu penerbit De Haan ANRI (1830), dituliskan G. Semboeng (Sembung).
Sedangkan dalam hasil penelitian R. D. M. Verbeek (Description géologique de Java et Madoura, 1869) ditulis G. Gamboeng. Hingga kini, terutama dalam penelitian panasbumi dan kegunungapian, merujuk pada penyebutan yang ditulis oleh Verbeek. Dalam penelitian lanjutan, G. Gambung merupakan bagian dari kompleks sistem gunugapi Malabar. Umurnya sekitar 0.23 juta tahun yang lalu (Boogie, MacKenzie, 1988). Disusun oleh perselingan piroklastik dan lava dengan komposisi dari basal hingga andesti basal. Bila ditarik garis utara selatan, sejajar dengan G. Wayang-Windu-Bedil.
Saat ini Situ Cibitung atau situ Aul, saat ini dikepung oleh perkebunan rakyak dan kegiatan eksplorasi panasbumi. Luas situ tersebut menyusut, akibat pengambilan air untuk perkebunan, dan perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi perkebunan. Penyusutan tersebut semakin cepat seiring kebutuhan warga, untuk lahan penggarapan perkebunan. Selian mendesak ke arah situ, termasuk pengambilan sumber air untuk kebutuhan tanaman. Jangankan itik yang pernah dibanggakan oleh juragan kina di Cinyiruan, ikanpun tidak ada. Menandakan situ ini mengalami degradasi.