JAMPÉ NYADAP LAHANG KAWUNG
Kengkeng leungeun kawung bingkeng,
ditinggur ku budak kereng,
asal béngkok jadi lempeng,
lempeng jadi jeceng,
lila jeceng tambah mangkreng,
digéyotkeun,
trek celereng, trek cereleng,
géyot ka kidul nyiuk ka Laut Kidul,
géyot ka kalér nyiuk ka Laut Kalér,
heuras ka luhur sieun guludug,
mun ka handap notos dano,
cor golontor, cor golontor!
(R.O. Moechtar, Baranang Siang, No. 2, tt.)

Dalam gelap, Cahdi (30 tahun) petani penyadap gula aren telah sigap. Rumah sederhananya menjadi saksi perjuangannya setiap subuh menuju lereng sekitar Pasir Banceuy, tujuannya adalah menyadap pohon aren atau kawung. Cahdi berangkat setiap pagi, kemudian dilakukan kembali jelang sore, seperti itu setiap hari. Pada siang hari ia habiskan untuk memasak air aren tersebut menjadi gula kawung, yang dicetak dalam bentuk bambu dan dibungkus daun kawung kering. Satu kilo gula, membutuhkan sepuluh liter air aren, kemudian dimasak hingga kental, membeku menjadi gula merah.

Hari ini ia hendak membuka pohon baru untuk disadap, di sekitar lereng pasir Banceuy yang dibatasi Ci Cenang. Dalam prosesnya, Cahdi harus membuat perjanjian yang dilafalkannya dalam doa, ritual ngawin kawung.

Dalam mitos Sunda, pohon kawung adlaah tanaman bermanfaat yang keluar dari kuburan Dewi Sri selain padi. Hanya dua tanaman inilah yang disebut sebagai Dewi Sri dalam mitos Sunda. Dalam wujud padi dia disebut dengan Nyai Dewi Pohaci Sanghyang Sri Dangdayang Tresnawati, sedangkan dalam wujud kawung dia disebut dengan Nyai Pohaci Hideung Geulis atau Nyai Pohaci Hideung Sieup.

Pekerjaan tradisi ini adalah salah satu lahan mata pencaharian hidup ‘urang Sunda agraris’ sejak empat abad yang lalu (naskah Carita Parahiyangan; abad XVI, mengulas tentang titisan Pancakusila yang menjadi penyadap nira) Ditulis pula, pada kitab Sanghiyang Siksa kandang Karesian (1518) menyebutkan bahwa sadap (peso sadap) adalah salah satu senjata tajam bagi kaum tani.

Meskipun dalam pertumbuhannya tidak memerlukan perawatan khusus, tetapi ketika akan dimanfaatkan atau mulai diproses untuk membuat gula, kawung memerlukan suatu perlakuan khusus. Banyak tata cara tradisi yang harus dikerjakan dengan tarapti (hati-hati dengan segala tata cara tradisi), kapan kawung harus mulai disadap, mantra-mantra, ngukus, dan lain-lain. Kawung di sini harus diperlakukan sebagaimana seorang suami mengurus istrinya (lir ibarat ngurus pamajikan bae). Teledor sedikit saja lahang kawung yang sedang disadap akan berkurang airnya atau kering sama sekali.

Dari rentangan waktu yang panjang, tetap saja, tradisi sadap nira ini masih hidup. Secara filosofis, wujud kawung dengan segala kegiatan pengurusannya mempunyai makna yang sangat dalam bagi masyarakat Sunda agraris, khususnya masyarakat di sekitar Subang selatan.