Ada tiga pendapat ahli, hasil penelitian kegunungapian; Nasution (2004), menyatakan tiga generasi gunugapi; PraSunda, Sunda, dan Tangkubanparahu. PraSunda membangun dirinya setidaknya sekitar 1 juta tyl, aktif melalui letusan besar 560 ribu tyl. Kemudian tumbuh generasi ke-dua yaitu PraSunda. Tumbuh dari lingkar yang kurang lebih sama dengan generasi sebelumnya. Aktif antara 210 ribu, 128 ribu dan terakhir 105 ribu tyl. Generasi berikutnya adalah lahirnya G. Tangkubanparahu, sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Aktif hingga kini.

Bukti letusannya adalah endapan awan panas, tersebar di sekeliling pusat letusan. Diantaranya saat ini menjadi tujuan wisata Gua Jepang dan Belanda di Tahura Ir. Djuanda.

Bila ditarik dari lingkar batas luar kaldera, 6,5 km x 7.5 km. Perkiraan tingginya kurang lebih 3800 hingga 4000 m dpl. Sehingga sulitlah disimpulkan tingginya lebih dari itu. Selain itu dasar tumbuhnya gunungapi tersebut merupakan batuan sedimen, kemudian tidak akan tercapai tinggi lebih dari 4000 meter. Akibat batuan penyusuunya berupa perselingan lava dan piroklastik, belum terkonsolidasi dengan baik. Sehingga bisa saja terjadi lonsoran (debris avalanche). Seperti halnya G. Papandayan, G. Gede, G. Galunggung dan seterusnya.

Selain itu terjadi proses erosi dan pelapukan, terus memangkas tubuh gunugapi tersebut. Sehinga tingginya tidak lebih dari 4000 meter dpl.

Dari keterangan Bronto (2004), Cupunagara, dan Cibitung merupakan sistem gunungapi yang berbeda dengan umur yang lebih tua. Diperkirakan hadir 59 – 36,9 juta tyl, berdasarkan karbon dating batuan. Sehingga bisa saja sebaran batuannya tertutup oleh produk letusan G. Prasunda-Sunda. Karena merupakan sistem gunungapi yang berbeda, sehingga ditafsirkan, luas dasar G. Prasunda-Sunda hanya sebatas 7,5 km.