Pemandangan dari balik jendela kabin pesawat komersial sebelum mendarat di badara Hanandjoeiddin Belitung. Terlihat bekas galian timah, kaolin, pasir kuarsa dan mineral lainnya yang terhampar di bentanglahan Belitung dan Belitung Timur. Fisiografi pulau Belitung dari barat ke timur terdiri dari geantiklin barisan, kaki-kaki perbukaitan, muka pegunungan dan perbukitan bergelombang serta daratan aluvial. Geantiklin barisan terbentuk oleh batu malihan pra-tersier Formasi Kelapakampit disusun batupasir, batusabak, dan batulumpur, serta batuan gunung api tersier-kuarter Formasi Siantu. Batuan malihan di beberapa tempat diterobos oleh Granite Tanjung Pandan, disusul Adamalit Baginda. Berkah bumi yang membentuk pulau Belitong sejak umur Jura, harus berganti ronanya menjadi wajah bopeng hasil kegiatan penambangan kaolin, timah, kuarsa, pyrite, galena, mallacite, zircon, hematite.

Penambangan hadir dibumi Belitong sejak akhir abad ke-18. Dilakukan oleh pekerja tambang orang Cina, menggunakan bor dari tembaga. Awal abad ke -19 tahun 1885 digunakan bor bangka yang diciptakan oleh J.E. Akkeringa seorang ahli geologi. 1850-an digunakan alat bantu mesin gali sebagai pengganti tenaga kuli. Tambang primer di Bangka Belitung mengunakan sistem open pt dan sistem tambang dalam. Di wilayah Belitung digunakn mesin semprot atau water gun untuk memisahkan butir-butir timah dari unsur pengikanya.  Seperti tanah liat, kaolin, dan unsur lainya.  Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia. Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha. Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel. Permasalahan Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula.

Tambang terbuka aktif di sekitar Tanjungpandan
Kolam bekas tambang (Kulong) belum sepenuhnya direklamasi.
Perkebunan sawit turut menata wajah Belitong