Pada masanya pesisir Aceh utara merupakan gerbang masuk pelayaran perdagangan, penyebaran budaya dan agama. Beberapaa penelitia sejarah hampir sepakat bahwa pantai utara merupakan pintu masuk, cikal bakal akses pra-Islam dan Islam abad ke-7 yang ditandai berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Karena letaknya berada di jalur pelayaran Timur Tengah dan Tiongkok, menyebabkan pesisir utara Aceh sangat mudah didarati. Namun jauh sebelum penyebaran Islam, pesisir ini telah dipengaruhi budaya Hindu. Dicirikan dengan nama dan tinggalan arkeologi yang merujuk budaya berlanjut. Van Langen menyimpulkan bahwa tradisi budaya Aceh sangat dipengaruhi nilai-nilai agama Hindu
Migrasi Hindu di pesisir utara Aceh terlihat dari tinggalan arkeologi, yang kini masih bisa disaksikan. Diantaranya tinggalan benteng Indra Patra di Desa Ladong, Mesjid Raya, Aceh Besar. Benteng yang kini dikelola oleh Direktoran Jenderal Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Daerah Istimiwa Aceh dan Sumut, merupakan cagar budaya. Salah satu sumber menyatakan bahwa benteng ini dibangun oleh putera Raja Harsya, yang melarikan diri karena diserang Bangsa Huna 604 masehi. Benteng ini terletak secara sangat strategis, sebagai pos pengamatan dan pertahanan dari armanda musuh yang datang dari arah selat Malaka. Selain itu fungsi benteng ini sebagai pusat pemerintahan dan agama pada masa itu. Pendirian kerajaan Hindu Indra Patra berhubungan langsung dengan kerajaan Indra Purwa di Peukan Bada, di kaki bukit Lampague dan kerajaan Indra Puri di Aceh Besar. Ketiga benteng didirikan pada masa yang sama, sehingga titik pendiriannya ditata sedemikian rupa. Bila ditarik kelurusan ketiga titik tersebut, maka akan membentuk pola garis khayal segitiga disebut Trial (segitiga) Aceh Lhee Sagoe, yang kini masih misteri.
Indra Patra merupakan komplek benteng yang terdiri dari tiga unit, satu diantaranya hancur luluh lantah dihantam Tsunami 2014. Salah satu benteng terbesar memiliki luas keliling 287 m, yang terletak di sebelah tenggara dan dianggap struktur benteng utama. Dimensi struktur bangun berukuran 70 m x 70 m, dengan ketinggian 4 m, dan ketebalan dinding 2 m. Batuan penyusun benteng dari batugamping atau batu kapur, yang mudah didapatkan perbukitan disebelah tenggara. Penempatan bongkah batu berbentuk persegi tersebut ditata sedemikian rupa, kemudian disusun menggunakan semen dari bahan campuran bubuk batu kapur dan telur sebagai bahan perekat. Di dalam benteng utama didapati dua struktur menyerupai stupa, bentuk kubah yang menaungi sumur sebagai mata sumber mata air berupa sumur. Kemungkinan digunakan sebagai tempat penyucian peribadatan. Di bagian tengah terdapat bekas pondasi dengan luas keliling 85 m, diperkirakan menjadi bangunan utama dari pusat kegiatan peribadatan Hindu Lamuri.
Keberadaan kerajaan Hindu Lamuri dicatatkan dalam berita asing, ekspedisi, perdagangan dan penyebar agama yang pernah singgah. Berita paling tua datang dari Arab Abu Zaid, 916 M menyebutkan keberadaan kerajaan Lamuri ditulis Ramni, kemudian ekspedisi Marco Polo 1292, menyebutkan nama Lambri. Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis Prapanca, 1365 mencatat Lamuri, dan perjalanan ekspedisi Cina Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan, 1416, menenuliskan La-po-li. Kemudian menurut sumber berita perjalanan Tome Pires dalam catatan Suma Oriental, 1512, disebut Lambry. Berita asing tersebut memperkuat keberadaan kerajaan Lamuri yang berada di semenanjung utara Aceh, dan menduduki wilayah Aceh Besar saat ini. Namun kapan dan tahun berapa kerajaan ini berdiri, masih dalam perdebatan yang harus dibuktikan dengan penelitian-penelitian panjang, apalagi bukti arkeologi kini sangat sulit dicari, karena dampak tsunami 2004. Bila melihat dari letak geografisnya, kemungkinan kerajaan ini mandiri, mengalirkan roda ekonominya dari sektor perdagangan dikendalikan di dermaga Malahayati kini.
Fakta lain yang menguatkan kerajaan ini, dibuktikan dengan keberadaan Situs makam Kerajaan Lamuri. Terletak di atas bukit yang berhadapan langsung dengan teluk Bulohan, di gampong Lamreh dan Kuta Leubok, Kecamatan Mesjid Raya, atau di sebelah timur kota Banda Aceh. Secara umum, perbukitan ini disusun oleh batugamping dan ditemui nisan-nisan tinggalan Kerajaan Lamuri. Dari hasil penelitian nisan tertua berusia 1462 M. Menurut peneliti Husaini Ibrahim meyatakan bahwa situs Lamuri adalah sebuah kerajaan di masa Hindu-Budha dan Islam abad ke-15 M, dapat diungkapkan dengan berbagai temuan artefak di kawasan seluas 300 hektar, berpusat di Lamreh kini berdampingan dengan pelabuhan Malahayati. Lamuri adalah cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan ratusan batu nisan berbagai tipe dan jenis. Ia menyebutkan, tulisan-tulisan pada batu nisan di Lamuri ini menunjukkan keberadaan sebuah kerajaan Islam terawal di Nusantara (mencakup kawasan Melayu di Asia Tenggara).
Batu nisan atau disebut juga batu Aceh dikelompokan menjadi tiga penamaan berdasarkan bentuk; gabungan sayap (bucrane), berbentuk persegi panjang dan bentuk bundra atau silindrik. Masing-masing mewakili gelar dan jabatan, nisan bentuk polos biasanya untuk Teungku atau ulama. Bentuk persegi panjang dengan puncak mahkota bersusun dua atau tiga dan bentuk bundar segi delapan delapan, dihiasi bunga lidah api berelief mahkota bersusun adalah ciri bangsawan. Ragam hiasnya pun biasanya ditatahkan pahatan ayat-ayat Al Qur’an, terutama pada batu nisan dengan bentuk atau pola garis geometris. Untuk sebarannya, batu Aceh ini menyebar hampir ke pelosok hingga ke wilayah sebagaian Malaysia. Batu nisan dengan tipe kerucut atau plak pling, merupakan bentuk umum yang mendomiasi sebaran bentuk dari ciri kerajaan Lamuri.
Di sebelah timur komplek pemakaman raja-raja Lamuri di desa Lamreh, terdapat Benteng Malahayati, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Almukammil (1589-1604 M). Bangunan ini merupakan benteng pertahanan sekaligus asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pemenuhan konsumsi laskar angkatan perang pimpinan Laksamana Malahayati. Keberanian Malahayati tertuang dalam Oud Glorie yang ditulis Marie van zeggelen, mengisahkan ketangguha armada perang Malahayati yang berhasil mengalahkan pasukan Belanda 1599. Cornelis de houtman dan Frederijk de houtman, diserbu oleh pasukan Inong Balee karena kedua bersaudara yang memimpin pasukannya berkhianat terhadap pemerintahan kerajaan Aceh.
Letak keberadaan kerajaan Lamuri hingga kini masih menjadi perdebaan, namun malalui perkiraan letak kerajaan ini berdekatan dengan bibir pantai, kemudian meluas hingga ke pedalaman. Kemungkinan berada di teluk sekirat daerah Krueng Raya, yang dinamai kini Lamuri. Kata “Lamuri” bisa merujuk ke nama tempat “Lamreh” di pelabuhan Malahayati. Lamuri mencapai kejayaannya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Melalui pemerintahannya berhasil membangun hubungan diplomatik dngan Dinasti Usmani dari Turki, kerjaan Safawi atau Ishafan di Persia dan kerajaan Mughal di India.Inggris dan Belanda. Lamuri sudah dikenal dan menunjukan peranya sebagai sebuah kerajaan yang besar, menjadi Kota Bandar (pelabuhan) yang terkemuka di jalur perdagangan Asia Tenggara.
Dari puing-puing Lamuri kemudian lahir Aceh Darussalam, yang bisa didudukan sebagai kesultanan Islam terkuat di Asia Tenggara, berdiri sejajar dengan kerajaan Islam lainya di dunia. Sisa kejayaan tercermin dari sisa warisan arkeologi yang kini sedang digali kembali, melalui disiplin ilmu dan para peneliti budaya, sejarah dan arkeolgi yang berburu dengan waktu. Jejak sejarahnya memberikan andil besar terhadap budaya yang kini berkembang, maka menjadi penting tetap menjaga warisan kerajaan Lamuri ini agar tidak lenyap ditelan waktu. Sebab Lamuri bukan saja catatan sejarah kerajaan, tetapi identitas kekayaan sejaran dan budaya Aceh.