Sejarah dilakoni dengan dua cara, larut dalam bagian sejarah itu sendiri atau duduk di luar lingkar sejarah sebagai pengamat. Inen memilih sebagai pebingkai waktu, sejak paska kemerdekaan Republik ini. Dari kampung kemudian menjadi asisten, terakhir menyandang kamera sendiri, sebagai saksi pendokumentasi Konperensi Asia Afrika 1955 di Bandung di usia belia.
Siapa menyangka di usia jelang senja, daya ingatnya masih setajam lensa maha karya buatan Jerman. Suaranya masih lantang tanpa harus mengeja, sedangkan tangannya selalu aktif memberikan penekatan disetiap cerita.
Siapa menyangka di usia senja ini, ingatanya masih tajam, setajam lensa Rangefinder Leica serie IIIc, yang kemudian menjadi saksi bisu di dalam kotak kaca di museum Asia-Afrika Bandung, kamera kelas dunia yang pernah di gunakan Henri Cartier Bresson. Ingatannya kembali menewarang pada masa lalu. Masa kelahirannya tanggal 28 Agustus 1937 lalu di Bandung.
Berasal dari keluarga sangat sederhana, di Jatinangor Sumedang, kemudian pindah tahun 1948 ke Bandung. Dari penghasilan yang pas-pasan, sebagai asisten supir di keluarga Van de Sande Droop di jalan Cihampelas (dahulu nomor 97, samping restauran Sugun milik keluarga Otje Djunjunan), ayahnya tidak sanggup menyekolahkan Inen. Pda akhirnya hati baik tuan Belanda ini, dibuktikan dengan mengangkat Inen dan kakaknya bersekolah di Sekolah Rakyat. Tiga Sekolah Rakyat yang ia lakoni, SR Sukajadi, SR Cihampelas kemudian SR Sejahtera. Masa mencari ilmupun dilanjutkan hingga tingkat sekolah menengah pertama Erlangga, jalan Karapitan hingga duduk dibangku kelas dua.
Situasi politik tidak menentu, pemerintah Soekarno, pada masa itu mengeluarkan peraturan untuk menasionalisasi aset-aset perusahaan yang dikuasai bangsa asing. Keputusan Presiden inilah yang menyebabkan keluarga besar Van de Sande Droop untuk hengkang dari Bandung dan kembali ke Belanda. Beberapa tahun sebelumnya, Van de Sande Droop wafat, dikuburkan di Pandu Bandung.
Selepas dari keluarga Belanda, keluarga Inen bertahan di Cihampelas Bandung, tinggal dirumah sangat sederhana dan hidup prihatin. Masa sulit inilah, Inen yang beranjak dewasa untuk bisa mencari pekerjaan.
Fotografi bukan pilihan
Ternyata fotografilah yang memilihnya. Perjumpaannya memang tidak disengaja, terjadi dengan begitu saja. Tahun 1953, keluar dari keluarga tuan Droop, Inen bekerja sebagai pembantu di keluarga james, pemilik James Photo Service. Usaha jasa fotografi untuk kebutuhan berita dimedia wilayah kota Bandung, yang didirikan oleh James AS. Adiwijaya sesudah masa perang, seorang keturunan Pakistan-Garut, berkantor di jalan Naripan di Restauran Merdeka (Disamping dahulu Bank Dennis, sekarang menjadi Bank Jabar-Banten) tepat satu atap dengan Preanger Studio milik Oom Nyoo, jalan Naripan nomor 4, yang bekerja untuk Jawatan Penerangan Propinsi Jawa Barat pada masa itu. Pada tahun berikutnya, dengan berbekal Leica seri IIIF pemberian Oom Paul Tedja Surya, melanjutakan usaha Preanger Studio milik mertuanya. Karir Paul selanjutnya menjadi wartawan senior foto di harian umum Pikiran Rakyat.
Pada usia 15 tahun, Inen bekerja dengan tekun, jujur dan patuh. Simpatik akhirnya muncul pada pemilik kantor berita lokal Bandung ini. James memberikan kesempatan kepada Inen untuk belajar memotret. Pelajaran pertama adalah menjadi asisten di kamar gelap, belajar proses cuci dan cetak film hitam putih. Langkah inillah yang mengantarkan Inen menggauli fotografi. Perlu diketahui bahwa, pada masa itu, profesi fotografer sangatlah terhormat, selain harga sangat mahal, materialnya pun susah didapat.
Tentunya kesempatan ini disambut baik, maka dengan cepat Inen dapat menguasai teknik dasar fotogafi dan kamar gelap. Dan seiring waktu, berkat bimbingan James, yang kemudian disebutnya “Papih” ia mulai menerima pekerjaan liputan dokumentasi. James sangatlah penting dalam masa karir Inen, selain seorang guru, ia pun memperlakukan Inen layaknya seperti seorang anaknya sendiri. Order pertama yang diterima adalah dokumentasi acara kelulusan di Universitas Padjajaran. Pada saat itu, jasa yang diberikan berupa cetak foto ukuran 9x12cm (3R) kemudian disusun dalam satu album. Satu foto dihargai Rp. 150 hingga Rp. 250. Layanan komersil lainya melayani untuk kebutuhan pribadi, keluarga maupun instusi pemerintah. Perlu diketahui, cara menjual jasa fotografi, hasil jepretan Inen (dalam satu liputan kurang lebih tiga roll film negatif 135mm), kemudian dibuat dalam bentuk kontak print ukuran 20×25 cm. Cetakan hitam putih ini lalu diperlihatkan kepada konsumen. Bila yang bersangkutan ada di dalam bingkai foto tersebut, bisa langsung dipesan dengan ukuran tertentu. Dari ukuran 9×12 cm hingga pembesaran 40x60cm.
Pekerjaan rutin yang biasa dilakukan Inen adalah melakukan peliputan acara formal pemerintahan di Bandung, kemudian dikirimkan ke media masa Pikiran Rakyat, Sipatahunan, Warta Bandung, Bandung Post, Mangle, Duta Masyarakat, Madala, Harian Karya, Banteng, Puspa Wanita, Sari, Pengdam (Kodam penerangan angkatan darat) perlu diketahui pada saat itu media massa dan pemerintah daerah (departemen hubungan masyarakat) belum memiliki fotografer. Ada satu catatan khusus bahwa, pekerjaan yang dilakukan Inen tidak bersandarkan pada jiwa komersil. “Nawaitu saya ingin mengabdi kepada negara, jadi untuk urusan “pembiayaan” kadang mencari sendiri” kata Inen. Meski dalam struktural ia tidak bekerja untuk pemerintahan, tetapi untuk James Photo Service, tanpa permintaan khususpun ia selalu berinisiatif untuk mendokumenasikan kegiatan formal walikota, gubernur hingga kegiatan di Kodam Siliwangi. Boleh dikatakan kedekatan seperti ini dibangun oleh Inen, sehingga ia tidak pernah masuk dalam struktural sistem manapun, alias fotografer lepas (baca: freelance photographer)
Untuk layanan jasa foto (agen foto) untuk kebutuhan media cetak pada masa itu di Bandung adalah James Press Photo, Preanger Studio dan Betty Studio di jalan Sunda Bandung. Bila disandingkan dalam jajaran generasi dalam industri media massa, Inen satu angkatan dengan Sakti Alamsyah, Atang Ruswita dan Bram MD dari harian umum Pikiran Rakyat kemudian Ace Bastaman (Sipatahunan)
Ketulusan hati Inen untuk mendokumentasikan kegiatan Kodam, dalam kaitannya turut mengisi redaksi fotografi untuk Penerangan Kodam (Pengdam) selama bertahun-tahun, ia dikenal baik oleh Solichin GP dan Himawan Sutanto. Turut pula dalam operasi militer penumpasan DI/TII, Brathayuda dan penumpasan G30 S PKI di Jawa Barat.
Mendokumentasikan Konperensi Asia-Afrika
Melalu Djawatan Penenerangan, James menunjuk Inen untuk turut mendokumentasikan kegiatan Asia-Afrika tahun 1955. Beban berat ini menjadi tantangan untuk Inen. Rasa sungkan, malu dan takut gagal pastilah dialaminya, namun dengan pembawaanya yang santun dan tenang, maka ia dapat akses penuh meliput kegiatan konperensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Rekan sejawat pewarta foto yang turut meliput adalah Paul Tedja Surya dari Pikiran Rakyat, Johan Beng dari Antara, Nico Surya, Dr. Koo (Ganda Kodyat dari PAF Bandung), Lan Ke Tung, Kurnia dan James AS. Adiwijaya. Jauh sebelum KAA, Inen telah pula mendokumentasikan rapat persiapan di gedung MPRS I, II dan III di gedung Merdeka. Kini, beberapa karya fotonya ada di Museum Konferensi Asia-Afrika, dengan credit title “Depen RI”
Untuk urusan membeli perlengkapan, ia membeli kamera bekas, dari Dragon Photo Suply, Hardja Widharma. Kamera Leica seri IIIC yang ia beli dengan harga Rp. 75.000., Berikut erlarger. Menurut Inen, pemilik toko ini turut membantu menyediakan kebutuhannya, yaitu penyediaan film. Karena sangat langka, maka ia membeli dari Produksi Film Negara (PFN) film 35mm untuk kebutuhan film. Ukuran yang biasa yang dibeli bervariasi, antara 100 feet, 400 feet hingga 1000 feet, kemudian dipotong sesuai kebutuhan di kamar gelap.
Jenis film yang biasa ia gunakan adalah film seluloid 135mm hitam putih, buatan jerman, merek Agfa, Adox, Hepapar atau Gevar. Untuk kebutuhan lainya, kadang ia membeli di sebuah toko foto milik Tionghoa, Bahtera dan Happy dijalan Dalem Kaum Bandung.
Mendirikan bendera sendiri
Dalam perjalanan karier Inen, nama James Photo Press selalu melekat pada dirinya. Malahan beberapa konsumen mengenal Inen dengan nama James. Dengan kesan dimata umum seperti itu, pihak keluarga James kurang berkenan. Pada titik inilah, Inen hendak melepaskan nama James yang melekat pada dirinya dengan cara mendirikan nama sendiri. Nama yang dipilih diilhami dari nama Tentara Pelajar Siliwangi “Tugas Prakasa Siliwangi”
Sepanjang tahun 1966 hingga 1967, mendirikan usaha Prakasa Press Photo kemudian hijrah bersama istri yang ia nikahi tahun 1964, berbekal satu kotak perlengkapan kameran termasuk erlarger. Kota pertama yang ia tuju adalah Yogyakarta, kemudian ke Jakarta, Bogor dan Puncak Cianjur. Dalam rangkaiannya, ia pernah meliput rapat raksasa presiden pertama, Soekarno, Operasi penumpasan DI/TII di Garut, Operasi Kalong penumpasan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh G-30-S/PKI, Penertiban kota, pemberian Samkarya Nugraha, ulang tahun KODAM Siliwangi, pelantikan gubernur dan seremonial pemerintah daerah dan porpinsi Jawa Barat.
Karena kedekatan khusus dengan gubernur Jawa Barat melalui kegiatan dokumentasi foto di humas propinsi, beberapa Gubernur yang pernah menjabat memanggilnya dengan bahasa non formal. Solichin GP memanggil “Kumaha euy, kuat keneh euy..” untuk Aang Kunefi memanggilnya dengan sebutan “Jang” dan Mashudi “Ujang”.
Begitu besar jasa Inen, mendokumentasikan kegiatan formal di pemerintahan, instusi militer dan kegiatan intelejen, namun perhatian dari pemerintah dirasa kurang. Potret pelaku sejarah, yang digerus sejarah itu sendiri. Namun sangat disayangkan, koleksi-koleksi negatifnya tidak bisa dihadirkan kembali, karena rumahnya terbakar. Orang lain membuat sejarah, menjadi bagian sejarah, tetapi Inen Rusnan memilih mendokumentasikannya dalam bentuk fotografi. Ialah pewarta foto angkatan pertama di Bandung.