Sesuai namanya, Gunung Guhawalet merupakan kerajaan burung walet di Cihea, Kabupaten Cianjur. Sarangnya menyebar di gua-gua yang berada pada dinding tegak perbukitan, terutama dibagian utaranya. Keberadaan gua burung walet tersebut, menyimpan sumber penghasilan ekonomi besar. Terutama untuk warga dikampung Cibuntu yang berada dilerengnnya. Berupa sarang burung walet yang melimpah, tersebar diceruk dan gua tebing tegak bukit. Burung walet mampu membuat sarang tiga kali dalam satu tahun, menempel diceruk dan celah gua. Sehingga diperlukan cara khusus untuk memanennya, dengan cara diraih menggunakan tangan hingga menggunakan alat bantu seperti tongkat.

Pa Ahim (70 tahun) warga Cibuntu, Desa Cihea menceritakan suka duka mencari sarang burung walet. Diperlukan keberanian dan keterampilan, terutama untuk menapaki tebing terjal. Kemampuannya datang akibat desakan ekonomi, walaupun mengandung resiko kecelakaan yang tinggi. Dinding tegak tersebut memiliki celah dan rekahaan miring, dimanfaatkan sebagai jalur menuju gua sarang walet. Menurut Ahim, warga menggungakan peralatan sederhana, mulai dari tali hingga batang bambu yang berfungsi sebagai tangga. Ruas bambu disebut sigay, berupa batang bambu panjang dan disambung, kemudian dilubangi bagian tengahnya menjadi tangga titian. Digunakan sebagai tangga vertikal sederhana, untuk mencapai lubang gua.

Untuk membuat jalur menuju mulut gua, menggunakan tali tambang plastik. Tali tambang tersebut digunakan untuk membantu pendakian, dan mengikat tangga bambu. Cara kerja tradisional demikian, mengandung resiko kecelakaan tinggi yang jauh dari keamanan kerja. Selain bahaya terjatuh hingga terpeleset yang bisa mengakibatkan kondisi fatal. Ahim pernah terjatuh dari ketinggian lebih dari 15 meter, menyebabkannya harus berhenti dari pekerjaannya mencari sarang burung walet. Walaupun nilai jualnya sekitar 8 ribu per gram, namun tidak sepadan dengan resiko yang didapat. Ahim dan kawan-kawan menimbang risiko terlalu tinggi, kemudian memutuskan berhenti dan kembali menjadi petani daun pisang Manggala disekitar lereng perbukitan.

Saat ini keberadaan gua-gua tersebut ditutupi vegetasi lebat, oleh pohon kayu dan gulma. Sebagian besar gua-gua tersebut telah dihuni oleh kelelawar. Sehingga gua tersebut hanyalah sebatas kenangan warga yang masih disematkan namanya, Gunung Guhawalet.

Sepenggal cerita tersebut mengantarkan pendakian ke perbukitan karst di sebelah barat Ci Tarum. Jalur pendakiannya kurang lebih 2,3 km, dengan perolehan perbedaan ketinggian (elevation gain) sekitar 380 meter. Dari peta lembar Rupa Bumi (1999), menuliskan tingginya 737 meter dpl. Puncaknya berada disebelah timur, dari jajaran perbukitan yang memanjang baratdaya-timurlaut. Berjalan kaki dari titik pendakian di Cibuntu, diperlukan waktu kurang lebih 1,5 hingga 2 jam, mengingat sebagian besar jalur sudah tertutup vegetasi. Variasi jalur berupa jalan setapak landai, melintasi sungai hingga jalan setapak yang terjal mengikuti kontur perbukitan.

Gunung Guhawalet berada diperbatasan antara Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bandung Barat. Dipisahkan oleh Ci Tarum yang membelah perbukitan karst Rajamandala, dan Ci Sokan sebelah baratnya. Bentang alamnya berupa perbukitan yang memanjang baratdaya-timurlaut, disusun oleh batuan karbonat, Formasi Rajamandala (Toml). Dicirikan dengan batugamping masif, berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Menandakan bagian dari satuan batugamping yang memanjang dari Saguling hingga Cikamuning di bagian timurnya. Perbukitannya membentuk punggungan, bukti perbukitan struktur yang dikendalikan oleh kegiatan tektonik. Bila diibaratkan seperti hamparan karpet, kemudian didorong dari dua arah. Tadinya horisontal kemudian terlipat-lipat, akibat mendapat gaya kompresi. Analogi demikian paling mudah untuk memahami, struktur perbukitan yang terlipat di sesar Cimandiri segmen Rajamandala-Saguling. Jadi punggungan Gunung Guhawalet bisa ditafsirkan sebagai perbukitan yang terlipat, akibat sesar naik.

Perbukitan karst ini mudah dikenali, berupa punggungan yang tajam hasil kegiatan pelarutan atau karstifikasi. Terlihat jelas menjelang kampung Cibuntu, Desa Cihea, morfologi punggungan perbukitan dan lembah yang memiliki relief yang tajam. Kondisi bentang alam demikian memandakan resistensi dari batuan yang disusun oleh batugamping. Sebelah utaranya disusun batupasir-batulempung yang lebih resisten terhadap kegiatan erosi. Sehingga terbentuk punggungan tajam, menyisakan lebar punggungan tidak lebih dari 2 meter. Membentang sekitar 3 km. dari Pasanggrahan disebelah barat, hinga Sanghyang Poek dibagian timur.

Pendakian dimulai dari kampung Cibuntu, kemudian melambung ke arah barat dan berbelok ke arah timur. Melalui jalan setapak perkebunan pisang yang melampar hingga ke Haurwangi. Sesekali menemui petani daun pisang yang hanya memanfaatkan daunnya saja, sedangkan buah pisangnya tidak dipanen. Disebut juga pisang batu, atau klutuk (Musa balbisiana Colla), dicirikan dengan buahnya berbiji. Mudah tumbuh dan dikategorikan sebagai tanaman asli yang belum mengalami persilangan.

Diseperempat perjalanan, Ahim menceritakan sasakala batulawang. Berupa tanjakan yang melewati celah batuan, dan diyakini memiliki kekuatan magis. Sehingga bagi warga yang menuntun kerbau harus menyisipkan uang pada celah batuan. Kepercayaan itu sirna, seiring diperlebarnya celah tersebut, dilakukna secara bergotong royong oleh warga.

Jalur setapak melintasi sungai yang mengalir dari utara ke selatan, diantaranya Ci Nungnang, dan Ci Bajing di arah hulunya. Kemudian bergabung dengan Ci Batubengkong dan Ci Lagandang, bagiandari Daerah Aliran Sungai Ci Tarum. Didasar sungai ini terlihat batuan yang berlapis dan tegak. Keberadaan struktur demikian, karena bagian dari sistem Sesar Cimandiri yang beradarah timurlaut-baratdaya. Karena arah tegasannya dari selatan ke utara, kemudian membentuk struktur sesar naik khususnya di daerah Rajamandala. Kemudian menerus ke arah Purwakarta. Pola sesar ini mernurut Katili (1975), dikenal dengan arah Meratus yaitu arah yang mengikut pola busur pada umur Kapur atau sekitar 120 juta tahun yang lalu.

Penyebaran dari satuan batuan ini, memajang dari Citarante di Bayah Sukabumi, kemudian menrus ke Rajamandala. Dari penelitan Martodjojo (1984), disimpulkan bahwa batuan karbonat Formasi Rajamanalad diendapkan daerah poros Citarante-sukabumi-Rajamandala, merupakan tepian dari suatu cekungan. Berbatasan dengan daratan di sebelah selatan Ciletuh. Dari sistem terumbu menunjukanarah lautnya ke utara.

Pendakian dilanjutkan mengarah ke barat, setelah melewati Ci Bajing. Dari titik ini jalur mendaki terjal yang menjadi batas antara perkebunan pisang dengan tegakan perbukitan. Kemudian menyusuri dinding tebing hingga mencapai puncak. Disegmen terjal ini diperlukan media dan fasilitas pengamanan, mengingat jalurnya terjal. Secara teknis menapaki dinding batuan tegak, sehingga diperlukan alat bantu dan pengamanan pendakian.

Di bagian puncak didominasi oleh batugamping yang runcing. Terbentuk akibat kegiatan pelarutan (karstifikasi), sehingga terbentuk kerucut-kerucut yang tajam. Di sebelah utara bagian puncak, dimanfaatkan menjadi tempat kemping, berupa dataran yang sempit disebut Puncak Datar Bawang. Disusun batugamping yang menjadi bagian perbukitan karst Citatah, kemudian berhenti seiring aktivitas kegunungapian dikala Miosen akhir. Pengendapannya berlangsung pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir, atau sekitar 22 hingga 12 juta tahun yang lalu. Seiring waktu terangkat, dan dilipat oleh kegiatan tektonik.

Dari titik puncak ke arah selatan terbentang punggungan perbukitan yang menjang searah dengan Gunung Guhawalet. Terlihat lembah yang dalam diapit oleh dua tebing Puncak Larang 881 meter dpl., sebelah barat dan Pasir Kiara 794 meter dpl. sebelah timunrnya. Didasar lebah tersebut mengalir Ci Tarum, outlet dari Saguling menuju Waduk Cirata. Bila cuaca cerah, sebelah baratnya terlihat kerucut G. Gede-Pangrango yang muncul diantara jajaran perbukitan dan dataran tinggi Cianjur.

Punggungan tesebut memisahkan Waduk Saguling dengan Batarcaringin disebelah utaranya. Jajaran perbukitan tersebut dalam Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), merupakan bagian dari Anggota Batupasir dan Batulanau Formasi Citarum (Tmts). Berupa perbukitan yang berada di sebelah utara dan selatan, dengan ketinggian antara 200 hingga 950 meter dpl. Memiliki kemiringan ke arah utara, dan lapisan batuan membentuk perbukitan terlipatkan, dicirikan dengan punggungan yang memanjang barat-timur. Membentuk perbukitan sinklin dan antiklin, berupa relief kasar yang menunjukan bahwa satuan ini memiliki resistensi tinggi terhadapa erosi (Kurnia Adji, 2010).

Lembah yang dierosi Ci Tarum merupakan jalur bobolnya Danau Bandung Purba segmen barat. Membobol bataupasir-batulanau dan breksi Formasi Citarum (Brahmantyo, 2002). Seperti yang diuraikan dalam hasil kajian  “Analisis Geomorfologi Perbukitan Saguling-Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak Melalui Gua Sangiangtikoro” oleh Budi Brahmantyo, Sampurno, dan Bandono (https://fitb.itb.ac.id/titik-takik-bobolnya-danau-bandung/), Proses pengeringan Danau Bandung Purba berlangsung sejak 20 hingga 16 ribu tahun yang lalu (Mac Dam, 1994), dibuka oleh sesar geser arah utara-selatan. Fitur buminya terlihat jelas, bila ditarik ke arah selatan, di celah Cukang Rahong.

Ke arah timurlaut terlihat jembatan lama dan jembatan Citarum Rajamandala, dibangun pada masa Orde Baru pada 1979. Posisi ketinggian jembatan lama pernah dinaikan beberapa kali, untuk mengantisipasi kenaikan paras Ci Tarum, outlet dari bendungan Saguling. Sedangkaan posisi jembatan Citarum Rajamandala lebih tinggi. Panjang lintasannya sekitar 222 meter, membentang diantara tebing yang menghubungkan batas Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.

Bila menarik garis kelurusan berdasarkan topografi dan pola pengaliran sungai tersebut, mengindikasikan bahwa perbukitan ini terbentuk dari kegiatan tektonik. Menghasilkan jalur sesar regional Cimandiri, terbentang dari Muara Cimandiri di Palabuhanratu di bagian baratdaya, menerus hingga ke Ciitatah-Saguling dan berakhir di G. Sunda-Tangkubanparahu. Kemudian dipotong oleh Sesar Lembang, arah barat-timur.

Bukti keberadaan sesar regional tersebut memicu terjadinya gerakan tanah. Seperti yang dilaporkan waga pada hari Sabut, 27 Desember 2014. Terjadi pergerakan tanah di Kampung Cibuntu yang memiliki garis hingga 1 km. Dampaknya adalah rusaknya 9 rumah warga di RT 1/8 Kampung Cibuntu, Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi. Keberadaanya tepat berada di bawah Gunung Guhawalet sebelah utara.

Kondisi bumi Gunung Guhawalet memiliki potensi wisata bumi. Jenis aktivitas wisata yang berbasis sejarah bumi, kearifan kebudayaan. Pada awal tahun 2021-an, kawasan ini pernah dikembangkan menjadi wisata pendakian dan perkemahan melalui karang taruna. Karena pengelolaanya yang belum terorganisasi dengan baik, maka di akhir tahun 2022 ditutup. Dengan demikian diperlukan cara yang ideal, untuk diterapkan dalam pengembangan wisata Gunung Guhawalet selanjutnya. Diantaranya perlu penguatan narasi dan interpretasi, sebagai dasar pengembangan dan termasuk pengelolaanya yang lebih baik.

Ceruk dan gua tempat sarang walet di sebelah utara.
Punggungan memanjang baratdaya-timurlaut. berupa sesar anjak/naik.
Mikro karst dicirikan dengan hasil proses pelaturan, dengan latar Pasir Kiara dan Puncaklarang.
Perlapisan tegak, batupasir-batulempung Fm. Citarum di Ci Nungnang.
Jalur pendakian melalui perkebunan pisang Manggala, dan dinding tegak sebelah selatan.
Rekahan pada batuan, mengindikasikan sesar naik ke arah utara.