“The less machine, the more art (Henri de la Blanchere, 1859)”

Dalam rangkaian pameran karya bersama Pinhole Bandung (KLJI Bandung dan kamerapinjaman.com) dalam tajuk “Lubang Jarum Liang Lahat” tanggal 11 hingga 19 Februari 2011, diselenggarakanlah diskusi bulanan. Sebuah diskusi yang menyoal seputar persoalan fotografi diBandung, diskusi yang hanya terjadi sore hari. Hadir lebih dari dua puluh orang, dari latar yang beragam, mahasiswa, pegiat fotografi, klub hingga komunitas pencinta fotografi di Bandung. Inilah pertemuan kesekian kalinya, hari Selasa tanggal 15 Februari 2011.

Pukul empat lebih lima belas sore, ruang luar kedai itu akhirnya ditata oleh manajemen kedai, tiga meja dirapatkan karena acara diskusi kali ini terjadi lagi di luar ruang, sebuah kedai kopi yang baru saja beroperasi di jalan Bengawan nomor 52 Bandung. Tidak seperti diskusi bulan sebelumnya, kali ini dua puluh lebih kursi terisi penuh, oleh partisipan diskusi, jumlah terbanyak dibandingkan pertemuan sebelumnya. Seperti biasa, wacana yang akan menjadi bahan diskusi, dipaparkan moderator diskusi, Deni Sugandi. Wacana diskusi kali ini adalah tawaran lubang jarum sebagai media perlawanan dari maintream fotografi yang telah mapan, teknologi fotografi!

Seperti yang dituturkan diawal, bahwa fotografi kini serba cepat, mudah dan akurat. Segala sesuatunya sudah bisa ditentukan, malahan tidak akan meleset dari yang sudah diperkirakan. Ibarat rencana peraturan permainan bola yang akan dilakukan federasi sepak bola dunia, bahwa dimasa depan, pelanggaran akan ditentukan oleh kamera super cepat. Bahkan bola yang memantul gawang dan secara kasat mata tidak terjadi kebobolan bola, fakta teknis bisa berbicara lain. Karena kamera super cepat itu akan melaporkan langsung, hingga bisa akurat sampai 99.9 persen! Menyatakan bahwa tendangan itu dianggap masuk. Jadi tidak perlu lagi menggunakan wasit. Karena wasit adalah manusia, yang bisa lengah dan salah ketika memberikan keputusan. Pertanyaanya, apakah aturan tersebut menjadi sepabola semakin menarik? Manusiwi kah?

“Fotografi itu telah mati!” lempar Ame, partisipan diskusi. Apakah benar-benar fotografi kini tidak diminati lagi? Apakah fotografi kini telah kehilangan tantangannya? Mungkin itu terjemah bebasnya, untuk kondisi kini fotografi di Indonesia, benarkah?

Sulit untuk menyimpulkan fotografi kini telah tumpul, karena perlu riset khusus yang didampingin data primer. Bukan sebuah kesimpulan sepihak seperti yang sering dilontarkan anggota dewan terhormat yang duduk di kursi wakil rakyat, namun perlu perenungan yang lebih dalam lagi untuk menyatakan fotografi direpublik ini mandul. Kembali kebelakang, memang benar, hampir seratur tahun lebih, bangsaIndonesia ini tidak diberikan kesempatan untuk belajar dan memanfaatkan fotografi sebagai bahasa budaya visual. Tengoklah, fotografi pertama hadir dimuka nusantara ini tahun 1841, yang dipercayakan kepada seorang dokter medis, Jurrian Munich, merapat diBatavia. Setelah itu, mutlak dikuasai bangsa eropa dan warga keturunan Tionghoa. Bahkan hingga masa pendudukan Jepang pun, fotografi belumlah menjadi konsumsi masyarakat lokal. Hingga beberapa tahun kemudian, munculah Mendur bersaudara, yang bernaung di bawah bendera agensi press fotografi pertama di Indonesia, IPPHOS, atau ada di tangan pehoby seperti Preanger Amateur Fotografie Vereneging di Bandung, yang dinasionalisi oleh R.M Soelarko tahun 1957. Semenjak itu, akses ke fotografi terbuka agak longgar, hanya beberapa individu saja yang mempunyai akses, selain mahal juga sangat langka, tetapi masih ada utang pengetahuan dan perkembangan budaya visual fotografi yang tertinggal hampir seratus tahun lebih. Hingga kini, menjelang akhir abad ke-21 fotografi bisa diakses oleh siapapun, terbuka luas dan murah. Kemudian apa yang akan dilakukan?

Mereguk kebebasan sebebas-bebasnya memang diawali oleh gerakan reformasi, yang ternyata tidak tuntas. Begitupula dengan fotografi. teknologi digital disambut dengan suka cita, bahwa alih rupa dan proses instan dianggap biasa, bagian yang lumrah dari perkembangan teknologi. Namun kita lupa, seratus tahun yang hilang tadi adalah proses panjang yang seharusnya mematangkan gairah fotografi di Indonesia. Justru kurang disadari, sehingga istilah instan menjadi biasa, malahan kalau tidak instan akan menjadi aneh, lihatlah budaya mie instan, menikah instan, mendapatkan informasi instan, semuanya serba sekejap. Maka ada nilai yang dilampaui, yaitu proses.

Dalam dunia serba cepat ini, maka proses imajinasi dianggap tidak penting lagi, itu adalah kuno, namun hasil akhir akan menentukan segalanya. Persepsi ini memang telah ditamankan semenjak akhir tahun 1999, menjelang meledaknya teknologi fotografi, yang menghabisi fotografi silver halida. Maka mereka yang lahir dan besar di era teknologi fotografi digital, menyikapinya dengan cara berbeda, membuang jauh proses teknis perekaman. Cara berfikir instan inilah melahirkan generasi-generasi yang melihat bahwa segala sesuatunya dihitung oleh durasi, kecepatan dan akurasi. Disinilah metode rekam lubang jarum melawan!

Kenapa lubang jarum hadir? “Apakah ia sekedar trend, yang bisa segera berganti wujud?” tanya Eki Akhwan. Benarkan demikian? Tentu tidak, jawab Deni Rahadian, seorang penyuka lubang jarum yang tergabung dalam komunitas Pinhole Bandung. Trend itu adalah kapitalisasi, bukan budaya yang dibangun oleh masyarakatnya kemudian menjadi ritual, namun dibangun oleh kepentingan bisnis. Trend itu adalah sahabat baik kepentingan ekonomi, sebut kapitalisasi terjadi secara tidak langsung dan tidak disadari. Jadi lubang jarum bukan budaya dadakan yang dikendalikan pasar, namun ia berwujud sebagai perlawanan dari budaya massal. Sama persis seperti gerakan genre musik yang tidak diterima di major label, ia menjadi label mandiri (baca. Indie label) Sebuah penawaran bagi mainstream yang dominan dan adalah gerakan moral, penyadaran akan pentingnya nilai penghargaan terhadap proses manual. Bila manusia dilucuti hingga bulat bugil, maka benteng terakhir manusia adalah kebebasan berimajinasi. Tetapi, sekali lagi, dibunuh secara sistematis oleh industri besar fotografi digital.

Namun sesungguhnya, gerakan moral lubang jarum ini akan selalu tetap menjadi minoritas, karena ia berada pada posisi yang minim daya tawar. Sebaliknya, ada nilai kemuliaan, yang tetap akan membarakan lubang jarum ini di Indonesia, sebagai gerakan penyadaran kebebasan campur tangan manusia di atas segalanya, jadi berbuat kesalahan itu adalah proses belajar kemudian dimaknai. Itulah yang tidak akan ditemui pada fotografi digital kini, semuanya serba akurat. Jadi jelas, bahwa komunitas, pencinta ataupun simpatisan lubang jarum tidak akan habis digerus waktu, karena ia bukan trend yang akan mati karena siklus budaya populer, namun akan tetap hadir dalam wilayah yang kecil, namun tetap ada. Inilah melawan mapan dengan lubang jarum. (denisugandi@gmail.com)

Tulisan di atas adalah hasil rangkuman diskusi fotografi Omong Kosong Sore-sore/Ongkoss, 15 Februari 2011