Gunung Galunggung merupakan bagian dari tujuh gunungapi aktif di Jawa Barat. Keberadaanya terus dipantau selama 24 jam tanpa henti, melalui alat pemantau aktivitas gunungapi berupa seismik hingga pengecekan berkala kadar gasnya. Secara administratif berada di dua wilayah kabupaten. Sebelah utaranya di Linggajati, Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya. Sebagian tubuh bagian utara masuk ke wilayah Tenjonagara, Sucinagara, Kabupaten Garut. Dalam catatan sejarah kegunungapian Indonesia, gunungapi ini termasuk fenomenal karena memiliki sejarah letusan masa modern, aktif melalui kegiatan letusannya hampir satu tahun. Tepatnya sejak bulan Oktober 1982 hingga berakhir di bulan Januari 1983. Letusan tersebut diawali pada 5 April 1982, berupa dentuman, pijaran api dan kilatan halilintar. Jenis letusannya menandakan letusan eksplosif. Kegiatan letusannya berlangsung hingga 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983.

Gunung Galunggung merupakan generasi terakhir dari rangkaian evolusi pembentukan sistem gunungapi ini. Pembentukan awalnya melalui letusan di Kawah Guntur, sekitar 4000 tahun yang lalu. Gunungapi ini masuk kedalam klasifikasi gunungapi strato, dengan kerucutunya beraada di sebelah barat dan selatan. Tingginya sekitar 2168 mdp. Kawah yang menghiasi gunungapi ini adalah Kawah Guntur yang berada di bagian puncak, namun saat ini tidak lagi menunjukan aktivitasnya. Sedangkan kawah aktifnya berada ditengah Gunung Galunggung, berupa danau kawah. Diameternya sekitqar 500 meter, dengan kedalam sekitar 100 hingga 500 meter. Paras air danau kawah tersebut terus dipantau, sehingga ketinggiannya diatur melalui terowongan air pengendali. Bahaya yang bisa ditimbulkan adalah dampat sekunder, bilamana gunungapi ini meletus kembali dan membobol dinding tenggara. Akibatnya adalah longsoran atau debri yang didominasi oleh kekuatan air bah. Sejarah letusannya tercatat sejak 1882m berupa letusan yang menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu halus, awan panas serta lahar. Luncuran awan panasnya turun melalui celah Pasir Haur dan Pasir Ngamplong menuju Cisayong dan Cidadap di bagian lereng timur, hingga ke Ci Tanui yang berjarak 18 km dari pusat letusan. Diperkiran korban meningga adalah 4011 jiwa dan kerusakan lahan ke arah timur dan sleatan sejauh 40 km dari puncak (PVMBG, 2014). Letusan selanjutnya adalah 1894, 1918 dan terakhir 1982-1983.

Kegiatan letusan gunungapi ini tentunya membentuk jalannya peradaban yang hadir di lereng. Setidaknya ada dua peristiwa penting perpindahan Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Pada 1813 pada pemerintahan R.T Surialaga, memindahkan ibukotanya dari Sukapura ke Tasikmalaya. Kemudian pada pemerintahan Wiradadaha VIII, kemudian dipindahkan lagi ke sekitar Manonjaya (1832). Perpindaha tersebut dipekirakan oleh aktivitas G. Galunggung di letusan 1822. Letusan kelas plini tersebut meruntuhkan dinding sebelah timur, menyebakan terbentuknya kawah tapal kuda, dengan jari-jari lebih kurang 1000 m. Hujan abu dan lahar hujan merusak tanaman rakyat hingga 40 km ke arah selatan, menyebabkan sebagian Tasikmalaya saat itu tenggelam dalam genangan lumpur (van Padang, 1951).

Peristiwa ke-dua adalah lebih kepada politis, keinginan kolonial Belanda memperkuat militer dengan pembangunan benteng dan tangsi-tangsi militer. Mobilisasi militer tersebut sebagai langkah mitigasi akibat perang Jawa Diponegoro. Setelah kota Tasikmalaya bisa dihuni kembali, pada 1 Oktober 1901, ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan kembali ke tempat ini. Perpindahan tersebut didorong oleh kegiatan ekonomi, melalui perkebuna kopi dan nila, tumbuh subur lereng G. Galunggung menjadi subur.

Dasar kawah Galunggung tahun 2019. (c)Deni Sugandi