“Bunyi bahananya sangat berjabuh (menggelegar) Ditempuh air timpa habu (debu) Berteriak memanggil anak dan ibu Disangkanya dunia menjadi kelabu” berikut adalah penggalan dari naskah lama, yang ditulis dalam aksara arab dan dibaca dalam bahasa Melayu-Mbojo. Rangkaian kalimat tersebut menceritakan kesaksian, dahsyatnya letusan gunung di utara pulau Sumbawa. Dalam keterangan naskah tersebut memberikan gambaran yang begitu mengerikan, seakan-akan dunia akan kiamat.
Informasi tersebut ditulis di atas lembar naskah kuno Bo’ Sangaji Kai yang mengupas tentang sejarah raja-raja di Bima dan Dompu, yang dibacakan oleh Umi Ka’u Siti Maryam R. Salahuddin saat sore di kediamannya. Dalam kesempatan ini saya mendengarkan kisah Tambora, melalui tafsiran naskah yang dibacakan oleh Siti Maryam, keturunan langsung sultan terakhir Bima, Muhammad Salahuddin yang bertahta 1920 hinga 1943. Wanita tua bergelar doktor filologi atau ilmu naskah, kini menjelang usia 90 tahun, masih terlihat antusias membacakan naskah tua, walaupun dengan bantuan kaca pembesar. Setiap lembar ia telusuri, dan dibuka penuh perhatian karena telah bahan kertas mulai rapuh. Rumah tinggal sekaligus difungsikan sebagai museum budaya Samparaja, yang memiliki beberapa peninggalan Kesultanan Bima. Di museum keluarga ini tersimpan beberapa artefak penting kesultanan Bima, mulai dari sebagian naskah-naskah yang dituliskan dalam aksara bahasa arab, perkakas sehari-hari, alat-alat perang, seragam kebesaran, simbol dan bendera kesultanan, hingga beberapa artefak silang budaya Cina dan Gujarat dalam bentuk piring porselen. Koleksi naskah museum ini telah ditransliterasi ke dalam huruf latin, karena naskah asli tertulis dalam aksara Arab berbaasa Melayu. Kurang lebih 700 halaman, disusun bersama DR. Henri Chambert Loir, ahli filologi Perancis dan Lembaga Kebudayaan Perancis EFEO. Buku ini menjadi salah satu dokumen nasional, yang diluncurkan di perpustakaan Nasional RI, 3 Februari 2000. Dari naskah tersebut dicatatkan dengan baik, kesaksian raja Sanggar yang selamat dari amukan Tambora.
Gunung yang terletak di pulau Sumbawa, tercatat meletus dahsyat di bulan April 1815 dan menenggelamkan tiga kerajaan seketika, dibawah endapan abu gunung api. Kehancuran ini terdampak langsung oleh aliran awan panas, menelan seluruh peradaban kerajaan yang berada di lereng bagian selatan-timur, diataranya kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar. Peristiwa ini menyebabkan kematian akibat material letusan, hingga ribuan jiwa baik di pulau Sumbawa, hingga sebagian di wilayah pulau-pulau sekitarya. Dalam sejarah letusan gunung api, tidak ada yang pernah selamat dilumat oleh awan panas ini, yang turun dari lereng bersama gan dan material kerikil dan batuan yang masih panas membara. Sisa endapan awan panas masih bisa saya saksikan saat pendakian menuju pos tiga. Endapan yang berlapis disusun oleh material debu, kerikir hingga kerakal yang telah membatu.
Jalur pendakian Doro Canga menuju puncak, hingga ketinggian 2.851 m terlihat endapan aliran lava yang tersingkap akibat dikikis hujan, diperkirakan hasil letusan sebelum 1815. Jalur setapak yang tidak terlalu terjal ini tidak juga landai, tetapi membutuhkan ekstra hati-hati, karena pijakan diselimuti oleh lapili. Batuan berukuran kerikil yang melampar menutupi lereng gunung, seperti berjalan di atas kelereng. Bila pijakan kurang baik, biasanya bisa terpeleset. Dari tinggian ini saya membayangkan kerucut gunung di atas ketinggian 4000 m, yang selalu tertutup awan. Mungkin satu-satunya kerucut gunung tertinggi di untainan kepulauan Sunda Kecil, kemudian dibongkar oleh letusan 1815. Dilereng sebelah selatan, saya melihat beberapa bukit berbentuk kerucut sempurna, disebut kerucut sinder. Bentukannya terjadi karena letusan kekuatan rendah, kurang lebih seperti letusan mercon memuntahkan material kerikil pijar tidak terlalu tinggi, kemudian diendapkan kembali di sekitar gunung, sehingga membentuk kerucut. Bukit ini ditaksir tidak lebih dari 200 hingga 400 m, hadir di lereng selatan Tambora.
Berdiri di tubir kaldera terlihat ceruk yang sangat besar, menyerupai wajan. Letusan ini membentuk kaldera terdalam di dunia, hingga 1.100 m. Luasnya 6 km dari utara ke selatan, dan bila dari timur ke barat sekitar 7 km. Menurut keterangan Wahibur Rahman kawan dari pecinta alam di Bima, di dasar kaldera didapati danau vulkanik, dengan garis terpanjang kurang lebih 1200 m, dan titik terdalam kurang lebih 15 m dan terus bertambah. Selain danau didapati juga kemunculan gunung api muda, disbut Doro Afi Toi dan Doro Afi Bou, dengan ketinggian masing-masing 100 m, dan terus tumbuh.
Ceruk besar berbentuk mangkuk ini hilang bersamaan dengan letusan tiga hari, dari 10 hingga 12 April 1815, terlemparkan dalam bentuk material batuan, mulai dari ukuran debu hingga blok-blok besar batuan yang dilontarkan hingga belasan kilometer. Dalam skala Volcani Explosivity Index (VEI) antara 7 dan 8. Bila disandingkan dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, antara 171.000 kali, atau 4 kali lebih besar letusan Gunung Krakatau. “Letusan pertam Gunung Tambora terdengar pada 5 April 1815 di pulau Jawa (Batavia), terdengar selama 15 menit dan berlangsung keesokan harinya seperti meriam”. Demikian kesaksian Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford Raffles ketika berada di Batavia. Letusan tersebut ditafsirkan suara meriam pasukan di Yogyakarta. Keesokan harinya matahari tertutup, dan turun hujan abu disebagian Sulawesi dan Gresik di Jawa Timur.
Karena posisi gunung api berada di wilayah ekuator, debu vulkanik menembus stratosfir menyelemuti hingga bumi hingga satu tahun lebih, sehingga cahaya matahari tidak bisa menembus permukaan bumi. Diperkirakan kurang lebih 100 hingga 150 kilometer kubik debut gunung api dilemparkan ke angkasa, bersamaan dengan 200 juta ton sulfur dioksida yang dilepaskan ke udara. Peristiwa ini menyebabkan satu tahun tanpa musim panas, melanda hingga Eropa. Peristiwa global ini menyebabkan dampak letusan tidak langusung, karena bukan saja terjadi di wilayah nusantara saat itu, tetapi menyebabkan wabah penyakit dan kematian hingga gagal panen. Menurut laporan seorang pengelana Jerman, Franz W. Junghuhn menuliskan jumlah korban mengingal karena kelaparan kurang lebih 40.000 orang di pulau Lombok, dan sekitar 25.000 orang di pulau Bali.
Dampak letusan ini global, mempengaruhi perjalanan sejarah di dunia. Di Eropa suhu turun hingga 10 derajat, menngakibatka gagal panen, dilanda penyakit, dan kelaparan hingga kekalahan perang Napoleon. Bukan saja penderitaan, dampak tidak langsung ini memberikan inspirasi kepada Mary Shelley menuliskan epik Frankenstein, karena terispirasi dunia yang gelap total dan langit memerah ketika ditimpa cahaya matahari.
Menjelang senja perlahan puncak Tambora diselimuti awan. Suasana begitu mencekam saat saya menapaki kembali jalan turun menuju pos terkahir, karena disergap kabut. Dilaporkan beberapa pendaki tersesat karena kabut membatasi jarak pandang hingga 2 m. Satu-satunya jalan setapak yang aman adalah mengikuti botol mineral yang ditancapkan terbalik oleh pemandu lokal. Botol kosong ini semacam cek poin, membantu navigasi turun menuju pos berikutnya. Dari tebalnya kabut, saya memperhatikan perlahan puncak Tambora senyap, seperti menghilang ditelan gulungan kabut dalam hitungan menit. Dalam perjalanan ini saya terngiang pesan dari tetua di Bima, bahwa arti dari Tambora diambil dari kata lakambore di bahaa Mbojo (DompuiBima) yang berarti mau ke mana, atau menanyakan sutatu tujuan seseorang, atau merujuk dari “ta” dan “mbora”, ta dalam bahasa Bima berarti mengajak, dan mbora berarti menghilang. Walaupun telah terjadi lebih dari dua ratus tahun yang lalu, ingatan letusan maha dahsyat di Indonesia ini tidak akan hilang dari ingatan sejara bumi. Alam memberikan keberkahan, sekaligus suatu saat ia akan mengambil kembali yang menjadi haknya, disebut keseimbangan alam.