Kakinya melebar hingga menempati beberapa wilayah, berada di administrasi Kabupaten Bandung. Dalam pembagian bentanglahan gunungapi, disebut fasies. Bagian pusat atau puncak ditempati dua kerucut, puncak Bubut dan Tanjaknangsi. Kemudian turun ke arah lereng terjal (fasies proksimal), hingga kaki gunung (fasies distal). Dalam pengukuran dengan menggunakan alat bantu google maps, didapat panjang lingkar kurang lebih 25 km. Bila diukur lebar dari bagian tekuk lereng, dari Pasirjambu dari sebelah barat ke Cimaung di arah timur, mendapatkan panjang sekitar 8,3 km.

Dari hasil penelitan Sutikno Bronto dkk., (2006), mengelompokan ke dalam Satuan Batuan Gunungapi Tanjaknangsi (TV). Umurnya sekitar Plistosen atau sekitar 700, satu umur dengan Batuan Gunugapi Pangalengan.

Dari pengamatan dari topografinya, didapati celah yang terbuka kearah timur laut. Sebelah baratnya dipagari oleh dinding gawir kawah, sepanjang kurang lebih 5 km. Berupa bentuk khas dari sisa pusat letusan, kemudian materialnya longsor ke arah baratlaut. Dari mulai bagian puncak (sentral), ke melandai ke arah lereng atau fasies proksimal ke medial (kaki). Didapati sebaran batuan gunungapi berupa aliran lava masif/tebal, breksi piroklastik, batulapili, tuff, dan breksi lahar ke arah kaki. Keterdapatan ukuran batuan beragam tersebut, merupakan ciri dari hasil kegiatan gunungapi di masa lalu.

Dalam peta lembar Bandjaran penerbitan the Army Map Service (1943), titik tinggi puncaknya 1503 meter dpl. Bersanding dengan puncak sebelah barat, G. Puncaklingga 1306 meter dpl. Kemudian disebelah selatannya, puncak G. Tikukur 1399 meter dpl. Keberadaanya muncul pada lereng G. Pangalengan, sehingga bisa ditafsirkan bahwa G. Bubut-Tanjaknangsi-Tikukur ini diperkirakn bagian dari anak gunungapi Pangalengan (Bronto, 2006).

Keberadaan gunungapi purba ini, diapit oleh daerah Banjaran di sebelah timurlaut, Pangalengan di tenggara. Kemudian Ciwidey sebelah timurnya, serta Soreng dibagian utara. Dalam peta lama Overzichtskaart van Java en Madoera (1940) dan dalam peta lembar Garoet penerbit Army Map Service Washington D.C. (1944). Hanya dituliskan puncak G. Bubut (Boeboet), tanpa menyertakan nama Tanjaknangsi. Pada peta awal tematik geologi; Geologische Kaart van Java en Madoera (1896), merupakan endapan gunungapi tua.

Gunungapi memiliki manfaat sebagai reservoir air, memberikan berkah melalui sumber mata air yang melimpah dibagian lerengnnya. Kodisi demikian merupakan ciri dari sistem air tanah dangkal yang berasosiasi dengan batuan penyusunnya. Disebut dengan mata air kontak. Batuan pembawa air, atau yang meloloskan air berupa batuan prioklastik. Endapan batuan hasil kegiatan letusan gunungapi, disusun oleh ukuran yang beragam. Dari ukuran pasir, kerikil hingga kerakal. Dengan demikian memiliki sifat mengantarkan air, meluluskan air. Mengalir dialasi batuan masif, yait batuan lava. Airtanah tidak dapa merembes ke lapisan impermeabel (batuan lava), maka keluar ke permukaan tanah dalam bentuk mata air.

Sumber-sumber mataair tersebut, terkumpul kemudian membentuk aliran sungai-sungai kecil. Di lereng sebelah timur, merupakan sumber mata air dari beberapa anak sungai, diantaranya Ci Wangun yang menali dari Cikadureuntas. Kemudian Ci Gadog, Ci Gunungbubut yang mengalir ke arah timur melalui Lemahneuneut (Lemahneundeut), dan Ciburuy. Penyebutan nama neundeut, menandakan daerah tersebut batuan dipermukaannya tidak stabil. Sehingga seringkali terjadi gerakan tanah, sesuai dengan penyebutannya bermakna tanah bergeser atau longsor.

Bergeser ke selatan, didapati Ci Nunda, Ci Hanjara bergabung dengan Ci Pait di Talun. Kemudian Ci Nangsi yang bergabung dengan sungai kecil dari lereng G. Tilu. Diantaranya Ci Saninten, Ci Urug, dan Ci Kupa yang bermuara di Ci Sangkuy di Pataruman.

Semua anak sungai tersebut, bergabung dengan Ci Sangkuy. Pertemuannya disekitar Cimaung, Pangalengan. Kemudian membelah Banjaran dan berakhir di Ci Tarum sekitar Dayeuhkolot. Sub Das Ci Sangkuy, hulunya di Situ Cileunca-G. Windu, Pangalengan. Elevasinya sekitar 2700 meter dpl, hingga titk terendah di muara sekitar 600 meter dpl. Kemudian mengalir ke arah utara melalui lereng timur G. Tilu. Selama perjalanan, dimanfaatkan untuk membangkitkan sistem pembangkit listrik tenaga air.

Diantaranya Pembangkit Listrik Tengana Air/PLTA Lamajan. Sistem pembangkit listrik, dihadirkan pada masa kolonial, sekitar 1920 hingga tahun 1924. Memanfaatkan gaya gravitasi, pengaliran air dari waduk Situ Cileunca.

Penyebutan nangsi Oreocnide rubescens, merujuk pada nama tumbuhan perdu. Bermafaat sebagai tanaman herbal, dengan ciri daun hijau dan berbulu halus. Tinggi rata-rata bisa mencapai 1.5 meter, tumbuh subuh di daerah lembab dan teduh. Biasa ditemui disepanjang tepi sungai, subur sepanjang masa. Mampu tumbuh diatas ketinggain antara 300 hingga 1500 meter dpl.

Pada masyarakat hutan, memanfaatkan cairan yang berasal dari batang. Digunakan untuk mengobati untuk mencuci mata yang bengkak, dengan cara diteteskan. Sedangkan daunnya bisa dimakan sebagai lalapan, dengan cara dikukus. Buahnya bisa dimakan lansung, dengan ciri berwarna putih dan berair. Rasanya manis serta renyah berair. Dalam literatur kolonial, Indische Groenten (sayuran Indonesia) terbit pada 1931. Menyebutkan bahwa nangsi merupakan makanan pribumi Sunda, digunakan sebagai sayuran.

Manfaat demikian, bisa menjadi cara masyarakat lokal memberikan nama topografi. Tanjak bermakna jalanan yang terjal, sedangkan nangsi adalah tumbuhan herbal yang dapat dikonsumsi. Penamaan tersebut diurakan dalam pengertian toponimi. Asal-usul penamaan berdasarkan peristiwa, bentuklahan, atau merujuk kepada nama tumbuhan.

Bubut-Tanjaknangsi-Tikukur merupakan sistem gunungapi purba, meletus di masa lalu. Kini menjadi bagian dari tubuhnya dierosi tingkat lanjut. Tanah lapuk memberikan kesuburan, berkah bagi tumbuhan yang hidup subur dibagian puncaknya. Namun bagian lerengnya telah berubah fungsi menjadi lahan pertanian dan hunian. Sehingga lambat laun kondisi lingkungannya terdegradasi. Dampaknya adalah mata air mengering, kemudian longsor ketika musim hujan datang.