Kabut masih enggan pergi, padahal siang telah beranjak sejak dari tadi. Matahari hanya memulas terang, dibeberapa tempat. Memberikan nuansa syahdu menjelang siang. Warga petani sudah hadir sejak adzan subuh, merayap diperkebunan untuk menyiangi tanaman.

Kondisi demikian, menjadikan kawasan ini memiliki waktu pagi yang lebih panjang. Karena cahaya matahari tidak bisa hadir, akibat ditutup halimun sepanjang subuh hingga jelang siang. Kondisi seperti ini hanya terjadi di dua tempat di Indonesia, diantaranya di kawasan perbukitan Cinanggerang, dan kawasan Dusun Wotawati, Kalurahan Pucung, Gunung Kidul, Jawa Tengah.

Di Cinanggerang cahaya matahari tertutup oleh kabut halimun sepanjang pagi. Sedangkan di Dusun Wotawati, Gunung Kidul, terhalang tebing. Akibat posisi dusun yang berada di dalam lembah. Keduanya memilliki karakteristik yang sama, sinar matahari pagi datang terlambat. Aktivitas warga dimulai seiring hadirnya surya, dimula pada pukul delapan pagi. Sehingga produktivitas waktu dalam satu hari, menjadi singkat. Pagi datang terlambat, dan sore lebih tiba lebih cepat.

Demikian suasana yang menyergap Heubeul Isuk yang berada di kawasan perkebunan Cinanggerang, di Sumedang Selatan. Warga memaknai Hebeul Isuk merujuk kepada kondisi cuaca, saat sinar pagi yang datang jelang siang. Terjadi akibat uap yang naik, membentuk kabut yang terus mengambang. Diperlukan waktu untuk diurai oleh cahaya matahari, sehingga cahaya benar-benar menerangi wilayah tersebut. Bergeser ke arah selatannya, disebut kampung Angkeb. Memiliki makna, suasana suram karena kurang cahaya. Fenome tersebut berkaitan dengan kelembaban tinggi, topografi, dan elevasi daerah.

Dalam lini masa sejarah budaya Sumedang, Hebeul Isuk ditempati oleh patilasan keramat. Berupa tempat keramat keturunan kerajaan Sumedanglarang abad ke-16. Ditandai dengan makam yang berada di punggungan perbukitan Babalean, memanjang dari selatan ke utara. Sejajar dengan Pasirgede dan aliran Ci Seda yang bermuara di Ci Peles. Pada papan makam dituliskan Makam Keramat Heubeul Isuk yang berada di Desa Cimarias, Kecamatan Pamulihan. Dimakamkan diantaranya Eyang Sanghyang Prabu Nurcahya, Eyang Tirta Kusumah, Eyang Mundingwanngi dan Eyang Sunan Suaka.

Tirta Kusumah disebut juga Sunan Tuakan, merupakan raja Sumedanglarang. Diperkirakan peralhan dari Darmaraja ke Cinanggerang, abad ke-16 akhir?. Pemindahan tersebut belum dipastikan, mengingat belum ditemukan data berupa prasasti atau naskah lama. Namun bisa dipastikan, pemindahan tersebut berkaitan dengan daya dukung sumber alam. Bentuk dan pola penghidupan budaya Sunda sebelum PraIslam adalah ladang berpindah. Pusat kerajaan Sumedanglarang kemudian berpindah ke Kutamaya, seiring kerajaan ini bersalin ke Islam, pada abad ke-17. Memasuki pengusaan Mataram, Sumedang berubah bentuk menjadi setingkat kabupaten. Kemudian dibawah pengusaan kolonial, Ciananggerang merupakan kawasan perkebunan produktif.

Pengelolaan pertama diperkiranan dikelola oleh perusahaan milik Inggris Tjiasem-Landen?. Kemudian dibeli oleh swasta ketururunan Tionghoa.

Hamparan sisa perkebunan yang diusahakan sejak masa kolonial hingga kini. Berada di beberapa wilayah administrasi, diantaranya Desa Cinanggerang, Mekar Rahayu dan Margalaksana di bagian timur. Kemudian bagian barat, masuk ke Desa Cimarias. Desa tersembut masuk kedalam wilayah Kecamatan Pamulihan, kecuali Mekar Rahayu masuk ke Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang.

Wilayah Cinanggerang dibatasi oleh Ci Peles dan jalan raya provinsi Bandung-Sumedang segmen Jalan Cadas Pangeran. Berada disebelah utara, sedangkan di bagian selatannya adalah puncak G. Kareumbi-Kerenceng. Sebagiaan besar bagian puncaknya berada di kawasan konservasi. Melandai ke arah utara, mebentuk punggungan perbukitan. Menghasilkan sumber-sumber mata air, diantaranya Ci Nanggerang, Ci Gendel, Ci Seda, dan Ci Lembu. Alirannya bermuara di Ci Peles.

Sumber mata air Ci Gendel, kemudian ditampung dalam embung di bagian hulu. Bersanding dengan G. Babalen 1146 meter dpl. Perbukitan yang ditafsir sebagai anak gunungapi Kareumbi.

Keberadaanya di lereng sebelah utara G. Kareumbi 1682 meter dpl. Puncaknya berdampingan dengan G. Kerenceng 1710 meter dpl. Merupakan sistem gunungapi purba yang berada di sebelah timur Cekungan Bandung. Dari morfologinya, memperlihatkan bentuk tapal kuda. Terbuka ke arah relatif sedikit ke arah baralatlaut dan utara. Ciri bagian dari pusat letusan dimasa lalu. Dari pengukuran secara sederhana menggunaan google maps, didapat lebar dari barat ke timur sekitar 1.7 km. Kemudian memanjang selatan ke utara, sekiar 2,9 km. Dari ukurannya masih dalam kategori kawah, dari satu sistem gunungapi.

Laporan tahunan keanggotaan pengusaha perkebunan kolonial, dalam Ledenlijst tevens bevattende een Ondernemingenlijst van aangesloten Ondernemingen (1938). Menyebutkan Cinanggerang merupakan bagian dari Onderneming Tjinanggerang. Disebutkan dalam laporan tersebut mengusahakan pohon karet 149 Ha, Teh seluas 154 Ha dan Kina 145 Ha. Total luas yang dimanfaatkan menjadi perkebunan sekitar 448 Ha.

Perkebunan ini dioperasikan oleh N.V. Cultuur Maatschappij En Djin Hin. Dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, Tan Djin gie dan tinggal di kota Bandung. Di keterangan majalah perkebunan kolonial Hindia Belanda, De Bergcultures Orgaan van het Agemeen Landbouw Syndicaat (7 Juni 1930), kepemiikan lahan ini dikuasai oleh Tan en Tan Djin Gie. Kemudian penguasaan lahannya berakhir, seiring dengan masuknya serbuan Jepang pada 1942.

Dari berita lebih tua yang di catat pada laporan Bericht van den Makelaar H. th. Karsen pada tanggal 20 Maret 1905, menyebut kan Ondernemingen Tjinangerang menghasilkan teh jenis Souchon. Menempati sebagian besar Cinanggarang, berupa varietas teh dicirikan dengan ukuran pohonnya kecil. Diperkirakan asal-usulnya berasal dari pegunungan Wuyi, biasa disebut Lapsang Souchong Cina. Varietas jenis teh yang pertama kali diperkenalkan pada 1646, ditanam di pegugungan Wuyi. Diceritakan cara pengolahannya dengan cara pengeringan melalui pengasapan, dengan cita rasa yang berbeda. Proses tersebut terjadi tanpa sengaja, seiring dengan masa peperangan melalui pemberontakan Taiping (1850-1864). Kemudian diperkenalkan kepada para pedagang Belanda, hingga tersebar ke Eropa. Dengan demikian jenis teh ini pernah diusahakan, dibudidayakan kawasana perkebunan dataran tinggi Cinanggerang.

Hamparan luas perkebuann, berada di lereng sebelah utara G. Kareumbi. Disusun oleh endapan gunungapi, diantaranya batuan tuff, aliran piroklastik dan lava. Batuan penyusun tesebut belum terkonsolidasi dengan baik, sehinga seringkali dilaporkan sering terjadi gerakan tanah atau longsor. Seperti yang diberitakan pada masa lalu, di harian umum Kolonial, Bataviaasch Nieusblad pada 2 Maret 1892.

Door de vele regens ia de laatste dagen had dezer dagen in de désa Tjihamoening, wedana schap Tjinanggerang der ass. residentie Soemadang, een aardstorting plaats, gelukkig Binder dat iemand er het levec bij verloor. Vlak onder de nard-massa, die neergostort is, stonden eenige woningen an slechts aan het dat de wedana op zijn ingpectic-reis het gevaar voor bedelving inzag en de lieden gelastte te verhniren, is het te danken, dat er geea persoonlijke osgelukktn zijn voorgevallen.

Berita hujan lebat yang melanda kawasan Desa Ciakamuning, Kewedanaan Cinangerang. Akibat curah hujan yang tinggi, menyebabkan terjadi lonsor, mengakibat beberapa rumah tertimbun. Dalam kunjungan ke lokasi yang terlanda, Wedana memperingati warga agar segera mengungsi ketempat yang lebih aman.

Kondisi geologi demikian, ciri batuan penyusunnya adalah tanah lapukan. Sehingga mudah terjadi gerakan tanah. Apalagi saat ini kawasan Cianggerang gundul, akibat terjadi konflik kepemilikan dan penggunaa lahan yang belum selesai. Lahannya berada dibawah penguasaan Dinas Perkebunan Jawa Barat. Dikerjasamakan dengan pihak swasta, mengelola perkebunan dan hortikultura seluas 429,46 Ha. Hingga kini konflik pengelolaan masih belum selesai, seiring dengan tuntutan petani di beberapa desa di Kecamatan Pamulihan. Menolak tuntutan perpanjangan izin Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan lahan milik PT Subur Setiadi. Warga menuntuk agar dikembalikan kepada masyarakat, agar bisa digarap dan dimanfaatkan secara produktif.

Saat ini selain meninggalkan lahan yang miskin tutupan hijau, sebagian besar telah terjadi pengalihan tata guna lahan. Mendesak hingga berbatasan dengan konservasi Kawan Taman Buru Masigit Kareumbi, dikelola oleh BBKSDA Jawa Barat.

Lereng G. Kareumbi-Kerencen. Hamparan Babalean, Cinanggerang.
Patilsan Ciguling Sunan Guling, Cimarias, Sumedang