Terlihat perbukitan kerucut, di sebelah timur pintu keluar Tol Kota Sumedang. Bentuknya terpancung, menandakan hasil kegiatan pelapukan dalam jangka waktu yang sangat lama. Disebut G. Kacapi. Dalam peta lama Topografische Inrichting Batavia (1918), dituliskan tingginya sekitar 659 meter dpl. Kemudian puncak kedua sebelah barat, Pasir Pipisan 600 meter dpl.  

G. Kacapi bisa dimaknai instrumen petik budaya Sunda, tetapi bisa juga diartikan sebagai nama tumbuhan. Disebut Kecapi, sentul, atau ketuat kechapi (Mal.) yang mirip dengan buah manggis. Pohon tegakan yan gmampu tumbuh hingga 30 meter, dengan batangnya bisa mencapai diamer  90 cm. buahnya biasanya diolah menai bumbu masaka, atau manisan.

Di sebelah barantnya merupakan dataran rendah, ditempati oleh aluvial. Dalam peta lama Topographisch Bureau Batavia (1908), disebut Sitoe, atau danau dalam bahasa Melayu. Menandakan pada saat itu merupakan dataran rendah yang ditempati oleh air, kemudia surut. Dalam peta geologi Lembang Bandung (Silitonga, 2003), disusun oleh hasil gunungapi muda tak teruraikan (Qyu). Sumbernya berasal dari kegiatan letusan G. Tampomas, berupa pasir tufaan lapili, breksi, lava aglomerat.

Kondisi surut demikian, dimanfatkan menjadi lapangan kuda. Mulai populer pada saat pemerntahan Pangeran Soeria Atmadja, Bupati Sumedang Larang, 1883-1919.

Pada saat itu disebut Pangadoean, berupa lapangan lingkar tertutup bentuk lonjong. Melalui pengukuran secara sederhana, mengguanakan bantuan google map, menempati kurang luas lebih 12,5 Hektar, dengan lingkar 1.33 km.

Pacuan kuda merupakan olahraga populer pada saat itu, mengawali abad ke-19. Sehingga kuda adunya didatangkan khusus dari Sumbawa. Saat ini keberadaanya tinggal kenangan, karena sudah beralih fungsi menjadi perkantoran, niaga dan rumah warga.