Berikut artikel pendek dengan judul Bandoeng Geologisch, diterjemahkan dari majalah pariwisata masa kolonial. Diterbitkan pada majalah Mooi Bandoeng, 2 Agustus 1933. Menggambarkan dataran tinnggi Bandung dari beberapa pendapat ahli kebumian, mengenai sejarah pembentukan hingga rona bumi. menghiasi kota yang dilingkung perbukitan dan gunungapi aktif.
Sejarah geologi Dataran Tinggi Bandung dan sekitarnya sangat luar biasa. Dari data hasil penyelidikannya yang terbaru, yang dengan sukarela diberikan oleh Dr J. Zwierzycki, seorang insinyur di Departemen Pertambangan, berikut ini kami sebutkan secara singkat bagaimana sejarah geologi yang lebih muda di sekitar Bandung yang mungkin terjadi.
Ketika mendengar Bandung disebut sebagai “kota pegunungan”, yang terbayang di benak kita adalah sebuah kota yang dibangun di atas bebatuan di lembah yang sempit. Namun ketika Anda mengenalnya, Anda akan menyadari bahwa kota ini terletak di dataran tinggi yang ditutupi oleh sawas, yang dikelilingi oleh pegunungan bergerigi di semua sisinya, yang semuanya merupakan gunung berapi.
Di sebelah utara menjulang Gunung Tangkubanparahu, yang merupakan gunung berapi aktif dan merupakan bagian dari gugusan gunung berapi yang besar. Dataran tinggi yang luas, di mana Cisarua, Lembang dan Leuweungdatar berada pada ketinggian hampir 1.300 meter, yang dibatasi di sebelah selatan oleh punggungan dengan dinding bagian dalam yang seringkali sangat curam dan terkadang tegak lurus, adalah bagian dari gunung berapi asli. Bruangrang, Tangkubanparahu dan Bukittunggul dibangun di atasnya sebagai gunung berapi parasit.
Di sebelah timur, dataran tinggi Bandung berbatasan dengan gunung berapi purba G. Kareumbi, G. Masigit, G. Mandalawangi, dan G. Guntur, yang telah mengalami perubahan bentuk yang parah akibat erosi. Di sebelah selatan terdapat gunung berapi besar Rakoetak, Malabar dan G. Tiloe. Kecuali beberapa kawah aktif di G. Guntur, gunung-gunung berapi lainnya termasuk gunung berapi yang sudah punah.
Pada masa tersier akhir, kita harus membayangkan lingkungan sekitar Bandung yang sama sekali berbeda dengan saat ini. Saat itu, lanskap perbukitan bergelombang membentang di sini. Kemudian, di sepanjang dua celah yang membentang dari timur ke barat ke utara dan selatan Bandung saat ini, massa besar lava dan sejenisnya naik dari kedalaman dan membangun cincin gunung berapi ini, sementara bagian lanskap berbukit asli di mana Bandung sekarang berada terkubur ratusan meter di bawah abu vulkanik.
Drainase utama dari wilayah yang landai ini mengalir melewati Bandung dan melewati lembah di mana Cimahi sekarang berada. Baru kemudian lembah ini diblokir oleh aliran tufa dan lava dari Tangkubanparahu, yang untuk sementara waktu mengubah dataran ini menjadi sebuah danau. Lumpur yang terbawa dari semua sisi oleh cabang-cabang sungai Tjitaroem, hampir secara sempurna meratakan dasar danau.
Di Tjoeroeg Djompong (7 km. di selatan Cimahi), air kemudian menemukan jalan keluar, dan jalan keluar tersebut digerus semakin dalam, hingga akhirnya dataran tersebut kering kembali.
Kota Bandung dibangun di mana lereng Tangkubanparahu berpapasan dengan dataran. Antara arena pacuan kuda dan rumah-rumah terakhir di jalan Lembangschen terdapat perbedaan ketinggian hampir 100 m. Dari segi pasokan air dan saluran pembuangan, lokasi ini sangat menguntungkan.
Mata air artesis dan mata air di sini berasal dari lereng pegunungan Lembang.
Dalam gempa bumi yang tercatat dalam sejarah sejak tahun 1699, tidak ada satupun yang berasal dari Bandung. Tidak ada satupun pusat gempa yang tercatat sejak tahun 1909 dari hasil pengamatan di Weltevreden (Jakarta) dan Malabar yang berada di daerah ini. Yang terdekat adalah di antara Soekaboemi dan Buitenzorg (Bogor) dan di sebelah utara G. Ciremai.
Jadi kerusakan bangunan akibat gempa bumi di Bandung tidak pernah terjadi dan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.
