Menerawang kembali perjalanan fotografi di kota Bandung memasuk abad ke-18, dibawa oleh kolonial. Modernisasi dari karya lukis bergeser ke fotografi diperkenalkan melalui orang Eropa yang tiba di Batavia. Dicatatkan dalam penelusuran penelitian Anneke Groeneveld (1989), dalam judul Toekang Potret: 100 years of photography in the Dutch Indies 1839-1939 – 100 jaar fotografie in Nederlands Indie 1839-1939. Merisalahkan bahwa kamera pertama kali datang melalui Batavia. Dibawa oleh seorang dokter (ahli medis), Jurrian Munihc (1817-1865).

Dimasa itu pula fotografi menggeser seni lukis, serta diterima sebagai sarana dokumentasi, dan menggantikan portrait bangsawan dan pejabat negara kolonial saat itu. Jejak para praktisi dan pelaku fotografi portrait yang hadir saat itu diantaranya adalah pasangan bersaudara Woodbury dan Page. Pasangan dua bersaudara yang mengadu nasib di Australia demi mencari emas, akhirnya terdampar di tanah Jawa menjadi fotografer komersial awal. Karyanya bisa diihat dibeberapa situs yang memuat sejarah visual, diantaranya proyek dokumentasi fotografi tentang jalan Anyer Panarukan pada 1860-an.

Fotografi saat itu masih ditangan orang Eropa, sebagai media yang setara dengan keahlian khusus seperti pelukis. Diperlakukan kemampuan teknis, kimia hingga artistik, termasuk kemampuan untuk mengelola kondisi pemotretan. Mengingat pada saat itu bentuk dan cara pengoperasian kamera diperlukan keterampilan, dan sumber daya asisten fotografer. Selain ukuran kamera besar, berat dan membutuhkan alat bantu penopang disebut tripod. Selain itu adalah tantangan kondisi pemotretan, karena membutuhkan pencahayaan alami. Dengan demikian fotografer menggunakan cahaya matahari, dengan melakukan pemotretan di luar ruang. Walaupun di dalam ruangan, biasanya memodifikasi bagian atap studio bisa dibuka agar cahaya masuk.

Fotografi di Bandung dibawa oleh kolonial Belanda, dan sebagian bangsa dari Eropa. Kemudian diturunkan kepada pada warga Tionghoa yang dianggap saat itu sebagai rekan bisnis kolonial. Keturunan Tionghoa saat itu memiliki kemampuan untuk membuat badan kamera dari kayu, kemudian membeli lensa dari pada pedagang Eropa. Akses inilah membuka peluang bagi keturunan Tionghoa untuk membuka usaha studio fotografi awal di Bandung, bersaing dengan warga Eropa.

Satu abad kemudian, fotografi di Bandung dibesarkan oleh amatir, yang tergabung dalam satu klub dinamai Preanger Amateurt Fotografi Vereneging, yang kemudian di-Indonesiakan, sesuai ketentuan pemerintahan Soekarno, tahun 1957 berganti nama menjadi Perhimpunan Amatir Foto Bandung, oleh RM. Soelarko, dengan bentuk logo yang dibuat oleh Harmoko. Genre yang diusung adalah pictorial. Mengadopsi genre yang disebarkan oleh artis di Amerika, melalui gerakan Secession, yang digairahkan oleh Alfred Steiglitz, seorang imigran keturunan Jerman-Yahudi. Aliran ini percaya bahwa fotografipun bisa bersanding dengan seni lainya. Ini menjawab, masa itu Kodak telah menghadirkan kamera satu kali pakai dengan ukuran kecil, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama, dengan harga murah tentunya. Kamera adalah sangat demokratis, awal tahun 1881.

Steiglitz menjawab, gerakan yang ia bangun adalah karyapun harus melalui sentuhan tangan. Maka karya tersebut benar-benar di retouch ulang, dalam kamar gelap, untuk mendapatkan efek-efek tertentu.

Kembali ke kota Bandung. Masa gairah fotografi di Bandung, menurut penelusuran saya, berawal dari kedatangan bangsa kolonial. Akses mendapatkan kamera pada masa itu hanya ada di beberapa kalangan terntentu saja. Hal ini bisa dimengerti, bahwa menekuni fotografi masa itu harus dituntut pengetahuan untuk bisa meracik, memroses dikamar gelap, selain itu informasi belajar memotret sangat mahal.

Fotografi hanya ada dikalangan bangsa eropa, cina dan jepang. Sebut saja, pebisnis fotografi masa itu masih didominasi warga belanda yang menetap di Bandung dan warga keturunan Tionghoa. Hingga masa perang pendudukan Jepang, fotografi di Bandung berbalik. 1942 hingga 1945 adalah masa sulit. Perkembangan fotografi tidak ada, karena semua kamera, perlengkapan penunjang; chemical, kertas dilarang oleh pemerintahan Jepang yang berkuasa saat itu. Bahkan bagi mereka yang melakukan aktifitas memotret, dianggap sebagai mata-mata.

Selepas Jepang, aktifitas fotografi agak longgar. Produsen kamera saat itu bisa berniaga di Bandung, melalui perwakilan agen-agen penjualan. Diantarnya adalah Goodland Photo Suply di Jalan Raya Barat dan Dragon di Jalan Braga. Kamera-kamera yang beredar masa itu adalah buatan Jerman dan Eropa Timur. Kebutuhan kamar gelap; kertas, film banyak tersedia.

Selepas pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia, melalui Konferensi Meja Bundar. Bandung kini berdiri sendiri. Begitu juga dengan kegiatan fotografi. Pada masa ini hanya ada dua bentuk himpunan yang aktif melakukan kegitan memotret. Himpunan amatir yang tergabung dalam PAF, atau sebagai pewarta foto, yang tergabung dalam agensi press. Masa itu hanya ada dua agensi press di Bandung, tahun 1952-1960an, Preanger Agensi Press dan James Photo Agensi Press, yang berkantor di bawah Bank Denis, kini Bank Jabar Banten.

Titik baliknya adalah peristiwa Konperensi Asia Afrika tahun 1955. Fotografi di Kota Bandung naik panggung, karena pada saat itu dunia ingin melihat apa yang terjadi dengan gerakan Non Blok saat itu. Dengan demikian fotorgafi sebagai sarana berita visual, disebarluaskan hingga ke daratan benua Amerika, Asia hingga Eropa. Saat itu fotografer lokal diberikan kesempatan untuk mendokumentasikan peristiwa ini, sebut saja beberapa fotografer yang bekerja untuk kantor berita hingga praktisi hobi fotografi.

Mejelang abad ke-19 akhir, fotografi di Bandung dihiasi bisnis dan kebutuhan hobi. Beberapa pekarya menggunakan media ini sebagai media ekspresi seni, tetapi itupun dalam jumlah tidak banyak. Mengingat fotografi di kota ini lebih dominan digunakan sebagai sarana rekrekasi melalui kegiatan hobis.