Menyebut tinggian Palasari tidak bisa dipisahkan dengan gunung yang berada di utara Cekungan Bandung. Di Sebelah timurnya dihuni G. Manglayang, kemudian ke utaranya terlihat tinggi yaitu G. Bukittunggul, dan beberapa kerucut lainya. Keberadaanya merupakan sistem gunungapi yang bersaing dengan sistem G. Sunda-Tangkubanparahu di sebelah baratnya.

Kerucut G. Palasari hampir menyentuh dua ribu meter dpl., dengan demikian bisa saja disebut gunungapi. Ketinggian diperoleh dari hasil letusan yang berulang, diendapkan di bagian puncak. Disusun abu, piroklastik hingga aliran lava, hingga membentuk tubuh gunungapi. Apakah seperti demikian? Mengingat posisi G. Palasari berada pada sistem patahan, disebut Sesar Lembang. Apakah G. Palintang adalah gunungapi?.

Ketinggiannya adalah 1852 meter dpl. (Peta RBI, Lembar Lembang, 2001). Kemudian pada peta peta lama ditulis Poeloesari/Pulusari (Peta AMS, 1943). Keberadaanya menjulang tinggi, seperti memaku jalur Sesar Lembang di sebelah timur. Kerucutnya ditutupi vegetasi lebat, menandakan ciri hutan hujan tropis yang masih baik. Hadir diantaranya tegakan pohon yang masih asri, hingga perdu yang menyelimuti tubuh gunung ini.

Secara administratif berada di Cipanjalu, Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Penamaanya diambil dari tanaman merambat yang tumbuh subur di daerah hutan tropis. Masyarakat menyebutnya areuy, palasan atau pulosari (Alyxia Reinwardtii Bl), tumbuh liar di hutan dan di ladang. Dicirikan dengan batang kulitnya putih, bisa dimanfaatkan sebagai obat. Keberadaanya menyebar mendekati puncak gunung, di antara jalur pendakian. Dicirikan dengan bentuk daun yang lonjong dan memanjang, kemudian tumbuh di antara tegakan pohon.

Tinggi puncaknya mendekati dua ribu meter dpl., bagian dari jajaran perbukitan, relatif naik ke arah timur. Punggungan yang memanjang barat-timur, bagian dari sistem Sesar Lembang. Patahan yang melintang membatasi tinggian Bandung bagian utara dan Lembang, dengan struktur sesar normal. Berupa dua blok naik dan turun hingga 450 meter di bagian utaranya atau Lembang.

Patahan atau sesar, ditulis fault dalam bahasa Inggris. Merupakan bidang rekahan atau patahan pada batuan yang disertai pergeseran relatif. Satu blok relatif terhadap blok lainya, terbentuk akibat adanya gaya pada batuan. Bisa berupa gaya yang menekan, menarik maupun kombinasi keduanya. Sesar Lembang segmen timur, merupakan blok Bandung yang relatif naik terhadap blok di utara/Lembang. Kemudian disebut sesar normal (vertikal), sedangkan segmen bagian barat relatif bergeser mendatar.

Pendakian bisa diakses melalui dua sisi. Sebelah barat melalui Cimenyan dengan jarak tempuh sekitar 5 km. Mengikuti punggungan perbukitan ke arah timur, naik dan turun mengikuti tebing Sesar Lembang. Sedangka jarak terpendeknya bisa melalui Palintang, tepatnya yang biasa disebut Tenda Biru. Jaraknya lebih singkat, antara 1 hingga 1,5 jam, dengan jarak tidak lebih dari 1.3 km.

Pendakian melalui jalur barat, pertambahan ketinggiannya (elevation gain) meningkat. Karena punggungan yang dilalui dari arah barat lebih landai, kemudian naik ke sisi arah timur. Dengan demikian titik tingginya berada di G. Palasari, di Cipanjalu, Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

Pada titik pendakian dari arah timur relatif lebih cepat, baik dari jarak dan durasi. Dimulai dari celah punggungan Palintang yang memisahkan antara G. Palintang dan G. Kasur-Manglayang. Sehingga titik awal pendakiannya sudah di 1571 meter dpl.

Awal pendakian disambut dengan tanaman kopi rakyat, yang menyebar hingga bagian lereng utara. Jenis kopinya adalah Arabika yang hanya tumbuh di atas ketinggian lebih dari seribu meter. Jenis kopinya telah mendapatkan indikasi geografis tahun 2013, disebut Preanger Kopi. Kopi arabika specialty yang memiliki aroma dan wangi yang khas, mampu tumbuh di tanah vulkanik. Penanaman kopi di lahan Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Utara, memanfaatkan tegakan pohon pinus merkusii. Dengan tidak mengganggu tanaman pokok kehutanan, sekaligus sebagai upaya menjaga resapan air dan mata air.

Budidaya kopi di kawasan lereng G. Palasari, telah hadir sejak masa kolonial. Seiring waktu industri kopi mengalami kemunduran akibat diserang hama, kemudian diganti dengan komoditas pohon Cengkeh. Seperti budidaya sebelumnya, cengkehpun terpuruk akibat negara salah urus bea cukai yang membebani petani. Kemudian tahun 2007 diupayakan penanaman kembali melalui Koperasi Giri Senang, beranggotakan Kelompok Tani Hutan (KTH) Cilengkrang. Perkebunan kopi tersebar dari lereng selatan G. Palasari, hingga sebagian besar Cilengkrang.

Beranjak mendekati Pos 1, vegetasi didominasi oleh tumbuhan invasif, tanaman yang mengintroduksi ke dalam ekosistem lain. Tumbuh pesat di kawasan bekas ladang dengan kondisi unsur hara. Mengingat kawasan ini merupakan batas hutan produksi dengan hutan, sehingga perlu waktu untuk lestari kembali. Tumbuhan invasif ini menyebar sangat cepat, penyebarannya biasanya berkelompok dan mendominasi lingkungan untuk mendapatkan sumber daya alam yang mencukupi. Diantaranya gulma seperti Kirinyuh (Chromolaena odorata), Teklan atau tekelan (Ageratina riparia), kemudian yang paling mendominasi yaitu Kaliandra (Calliandra calothyrsus), hingga Senduduk Bulu (Clidemia hirta).

Ditemui murbei merah (Morus rubra L) atau walot dalam bahasa Sunda. Keberadaannya melimpah di sepanjang jalur pendakian. Manfaat murbei ini memiliki kandungan alkaloida, flavonoida dan polifenol. Bahkan dalam ilmu pengobatan tradisional, bisa digunakan untuk menurunkan demam, anti hipertensi dan anti diabetes mellitus (Sayuti, 2010). Manfaat lainya adalah sebagai obat untuk mengurangi bisa ular, dengan cara memanfaatkan daunya. Diremas sampai halus, kemudian air rebusannya bisa diminum.

Pendakian mulai terjal selepas Pos 2 menuju Pos 3. Menandakan jalur mendekati puncak, dicirikan dengan dengan tanjakan yang dialasi bongkah batuan piroklastik. Batuanya tidak lepas, karena diikat oleh akar pohon, sehingga memberikan kemudahan pada saat pendaki menjejakan kaki. Akar yang melintang tersebut berperan sebagai tangga, sehingga jalur terjal sepanjang jalur ini tidaklah terlalu sulit.

Di jalur pendakian ini terdiri dari tanah lapuk, dan sebagian besar ditutupi oleh bongkah-bongkah batuan. Berupa piroklastik yang telah lapuk kuat, menyisakan ukuran beragam. Peneliti kebumian Silitonga (1973) pada Peta Geologi Lembar Bandung, disusun oleh Satuan Hasil Vulkanik Tua Tak Teruraikan. Kemudian di detailkan kembali dalam peta Geologi Gunungapi Sunda-Tangkubanparahu (Soetoyo dan Hadisantono, 1992), dituliskan adalah aliran lava Sunda (Sl). Mengalir dan menutupi sebagian besar Cilengkrang dan Cimenyan, termasuk G. Palasari.

Hasil penelitian terbaru oleh Satrio Wiavianto (2016), melalui penelitian geologi dan petrologi kawasan Manglayang menyampaikan data lain. Membagi menjadi dua satuan, Satuan Perbukitan Gunung Palasari yang disusun oleh Satuan Breksi Piroklastik dan Lava Basalt Augit.Palasari (Agl). Diperkirakan umur (Kala) Pleistosen. Kemudian dipotong oleh jalan Palintang sebagai batas litologi dengan G. Manglayang di sebelah timurnya. Berupa Satuan Breksi Piroklastik dan Lava Andesit Enstatit Manglayang (Mgt). Tekuk lerengnya terlihat jelas di sekitar Cilengkrang utara.

Keterangan di atas belumlah menyimpulkan apakah G. Palasari merupakan gunungapi? Tetapi bila dilihat dari kondisi lapangan, tidak memberikan syarat-syarat gunung tersebut memiliki sejarah letusan. Diantaranya tidak ditemukannya endapan berlapis khas gunungapi strato, aliran lava dan piroklastik. Kemudian tidak adanya kegiatan alterasi serta ekspresi bentuk kawah.

Dugaan sementara, batuan piroklastik yang menutupi sebagian besar bagian puncak merupakan hasil dari aliran piroklastik gunungapi yang lebih muda. Diperkirakan bersumber dari hasil kegiatan G. Sunda. Kesebandingannya bisa dilihat di Gua Belanda dan Gua Jepang di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Dago Bandung. Berupa endapan awan panas (ignimbrite), produk dari hasil letusan eksplosif G. Sunda pada fase pembentukan kaldera sekitar 105 ribu tahun yang lalu.

Di Bagian puncak G. Palasari didapati pelataran dengan bidang persegi. Terdiri dari dua pelataran, bagian atas sekitar 8 x 9 meter, kemudian di bagian bawahnya sekitar 7 x 7 meter. Pelataran datar tersebut mengindikasikan hasil rekayasa manusia. Sehingga kuat dugaan merupakan situs yang digunakan oleh agama nenek moyang. Bila merujuk kepada kebudayaan batu besar atau megalitik, bisa saja ditafsirkan sebagai punden berundak. Sistem religi yang dianut oleh nenek moyang, diekspresikan dalam bentuk bangun yang umum dijumpai di kebudayaan lama. Berupa teras bertumpuk, semakin ke arah puncak maka bentuknya semakin kecil.

Keberadaan peninggalan sistem budaya lama, didukung oleh beberapa laporan masa Hindia Belanda. Seperti yang dilaporkan oleh Franz Junghuhn 18 Agustus 1843, melaporkan reruntuhan sisa peradaban Hindu (Hindoe-oudheden). Di lereng selatan G. Palintang, sekitar Pasir Panjalu (Ci Panjalu), dan Pasir Pamoyanan. Hasilnya dilaporkan di Indisch Magazijn (1844). Kemudian harian umum De Preangerbode, 19 September 1957 menurunkan reportase tentang bentuk struktur batu yang unik di sekitar Palintang utara. (Grillig mozaiek van keien in fundamenten uit kalisteen Begraatplaats van kluizenares levert stof tot vele vragen). Diperkirakan sebagai situs keagamaan, dengan ciri batuan yang tersusun sangat rapih.

Dugaan di atas tentunya perlu diungkap dalam pengkajian yang lebih mendalam, sehingga akan memperkaya khasanah bumi dan budaya lokal di Ujungberung utara.

Puncak G. Palasari, berupa dataran yang diduga buatan manusia.
Pelataran bagian bawah, berupa ruang datar.
Areuy Palasari, atau Palasan (Alyxia Reinwardtii Bl).
Puncak G. Palasari dengan latar G. Bukittunggul.