“Saya mah sudah coba beberapa Kodak dari tahun 76, sekarang sih Kodak saya pake Yashica saja, karena ringan” sambutan kata dari Eman Sulaiman, seorang penjaja jasa fotografi yang dimulai tahun 1976. Jargon Kodak yang melekat dibenaknya dan masyarakat umum pada masanya, menyebut kamera dengan istilah “Kodak”
Bermula karena tidak mempunyai keahlian lain, Eman Sulaiman muda belajar memotret kepada pa Entoh, mentor sekaligus menjadi partner mengais foto jasa foto di sekitaran taman Ganesha ITB Bandung. Saat itu tahun 1976, masa layanan foto jemput bola pada masa itu mengalami jaman keemasan. Ia menyebut dirinya amatir fotografer. Entah karena merasa ada pada kasta industri fotografi paling bawah, sebutan amatir selalu melekat pada diri mereka, padahal lebih tepat disebut profesional, menyandarkan sumber mata pencaharian dari profesi fotografer.
Fotografi pada masa itu masih dianggap sebagai barang mewah. Tidak semua orang mempunyai akses dan memiliki kamera. Pasar inilah yang dibidik, masyarakat bawah menginginkan foto kenang-kenangan dengan cara praktis.
Para pembantu rumah tangga, ibu rumah tangga, keluarga dan sukuran wisuda adalah kegiatan rutin yang biasa didokumentasikan. Pada saat itu (awal tahun 80-an) harga cetakan ukuran kartu pos (9x12cm) adalah Rp. 60., kemudian ia jual, termasuk jasa film dan profesinya sebesar seribu rupiah. Dengan demikian ia bisa mengantongi nilai cukup lumayan, untuk menghidupi empat anak dan kehidupan sehari-hari, termasuk mengontrak rumah.
Juru foto Eman, seperti kolega yang dilakukan pada masanya; Bana Amir almarhum, ia pun berkeliling kampung ke kampung. Biasa disebut foto keliling, memang nyatanya sehari-hari menawarkan jasa foto dengan cara mendatangi langsung konsumen. Wilayah jelajahnya adalah mulai dari Cihampeas, Gegerkalong, Ciwaruga, Parongpong hingga Cimahi. Jarak tempuh cukup panjang yang selalu ia lakoni sehari-hari selama 6 tahun. Bila jatuh pada hari libur atau akhir pekan, ladang taman Ganesha sebagai ruang kerjanya. Biasanya memotret keluarga yang berdarmawisata dan wisata berkuda. Pada saat itu Eman menawarkan foto langsung jadi, jenis film isntan merek Polaroid, yang kemudian digusur merek lainya.
Memasuki awal tahun 80-an, penggunaan film warna semakin populer. Para amatir di Bandung pada masa itu biasa berkumpul untuk proses cetak di BM1 Dago Bandung, studio cetak milik Beny keturunan Padang. Kini Laboratorium cetak foto sudah tidak ada. Tempat lainya adalah Permai di jalan Pungkur Bandung, selain itu Aloen Foto. Seperti yang pernah dituturkan oleh para pemilik lab. Foto, biasanya para foto amatir ini mencuci-cetak tanpa perlum membayar terlebih dahulu, kemudian dibayar setelah hasil jepretan mereka dibeli konsumen. Beberapa amatir yang tidak mampu melunasi, biasanya cukup menggadaikan kamera mereka sebagai jaminan. Kadang beberapa orang tidak kembali. Bentuk kepercayaan dari pemilik cetak foto pada masa itu (masih berlaku pula sekarang) masih menjadi bagian dari bisnis foto spekulasi.
Produk film yang beredar dan biasa digunakan Eman adalah jenis paling murah dipasaran, bahkan kalau mendapatkan konsumen yang segera ingin mendapatkan hasil cetakan, tanpa segan-segan, Eman memotong filmnya. Sebagian potongan film tersebut masih bisa digunakan. Jenis film warna 35mm yang biasa beredar dikalangan amatiran adalah Fuji, Sakura, Tura, lucky, Neopan dan Hory.
Kini, selain telah berhasil menyekolahkan anaknya tamat SMU, Eman pun merasa bangga bisa memiliki rumah, sederhana di Gang Bongkaran, Cihampelas Bandung. Bagi Eman, dalam usianya menjelang paruh baya, tidak pernah membayangkan masa pensiun. Karena jenis pekerjaan yang ia lakoni tidak mempunyai istilah uang pensiun. Hingga kini, Eman masih aktif menerima pekerjaan spekulan untuk jasa foto langsung jadi. Sehari-hari ia sering mangkal di Nasir Photo jalan Taman Sari nomor 9 Bandung, bersama rekan-rekan seprofesi; fotografer spekulan. (denisugandi@gmail.com)