Terlihat goa-goa yang berjajar, menempati batas genang waduk. Jumlahnya lebih dari dua puluh, berjajar dan saling terhubung. Sebagian goa telah tererosi oleh gelombang air danau, sehingga sebagian sudah hilang di bawah gelombang air, dan sebagian lagi tinggal menunggu waktu saja. Bentukannya bukan hasil karya alam, namun oleh kerja manusia melalui aktivitas penambangan. Kegiatan penambangan ilegal tersebut sudah ada sejak awal tahun 2000-an, mengingat di beberapa tempat penggalian, kini telah hilang akibat penambangan secara terus menerus. Biasanya penambangannya dilakukan pada musim muka danau surut, antara pagi hinngga siang hari, hasilnya diangkut dengan perahu sewaan atau milik pribadi untuk dijual ke pengepul.
Lubang-lubang tersebut berupa goa horisontal, digali menggunakan alat bantu sederhana seperti linggis dan sekop. Proses penggalian dilakukan dengan menggunakan perahu, sehingga pernah dilaporkan beberapa penambang meninggal dunia akibat goa tersebut ambruk dan menimpa perahu kayu penambang. Aktivitas penggalian pasir dan batu tersebut terjadi dalam skala kecil, dilakukan oleh warga setempat, hingga berhenti akhir-akhir ini.
Dalam penulisan secara populer dimesin pencari daring, dituliskan Sirtwo Island, atau pulau Sirtwo. Nama tersebut bisa saja penamaan baru yang merujuk kepada kegiatan penambangan pasir dan batu. Dalam bahasa teknis penambangan, disebut sirtu singkatan pasir dan batu. Sedangkan dalam peta rupa bumi Indonesia, tidak ada rujukan penyebutan nama. Namun hanya menuliskan titik tertinggi di pulau tersebut adalah 655 m dpl. Bila ditarik garis lurus disisi terpanjang pulau tersebut, adalah sekitar 1.600 meter dan sisi terpendek atau lebar adalah sekitar 300 meter. Pulaunya memanjang beraarah barat ke timur, merupakan tinggian yang diapit oleh Pasirgepeng, Desa Karanganyar di sebelah selatan, dan Dengkeng masuk ke Desa Saguling di sebelah utaranya.
Dalam peta geologi lembar Cianjur, Sudjatmiko (1972) disusun endapan danau (Ql), umur Kuarter. Endapan danau tersebut tersingkap dan terlihat dengan jelas berupa perlapisan berulang-ulang antara lempung dan pasir. Selain endapan danau umur muda di tepian pulau, ditemui juga endapan volkanik yang diendapkan di bawah endapan danau. Disusun oleh piroklastik, tuff dan fragmental batuapung, menandakan material hasil letusan kelas kaldera. Mekanismenya adalah aliran dan jatuhan piroklstik terlelaskan (ignimbrite), dicirikan dengan susunan fragmennya kasar dan menghalus ke bagian atasnya. Tebalnya diperkirakan lebih dari 20 meter, sebagian tidak terlihat karena tenggelam di bawah air waduk. Dalam peta distribusi sebaran material letusan, diperkirakan merupakan ignimbrite Manglayang hasil letusan periode ke-dua Gunung Sunda (Kartadinata, 2002). Bila ditarik garis lurus arah timurlaut-baratdaya dari pulau ini, berjarak kurang lebih 30 km ke pusat titik letusan Gunung Sunda, sehingga sebagian wilayah Saguling kini adalah bagian dari medial volcanik fasies.
Terletak di kampung Cikereti, Desa Saguling dan masuk ke dalam wilayah Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Lokasinya berada di sebelah baratlaut danau Saguling, atau tepat bersebelahan dengan DAM Saguling. Dari titik terdekat ini, bisa diakses dengan menggunakan perahu yang telah disiapkan, melalui pengelola wisata. Diperlukan waktu kurang lebih 30 menit untuk mengelilingi pulau terserbut, namun dalam kegiatan wisata bisa lebih dari tiga jam.
Walaupun karya manusia melalui kegiatan penambangan, keberadaa goa-goa sisa penambangan tersebut memberikan bentuk bentang alam yang menawan. Menuju lokasi tersebut hanya bisa diakses dengan menggunakan perahu khusus, kini dikelola melalui kelompok wisata. Saat ini penguasaan wilayahnya di bawah Indonesia Power (IP), dan pemanfaatan wisata diserahkan kepada pokdarwis di kampung Cikereti.
Pulau Sirtwo atau Sirtu merupakan tapak bumi bukti letusan pembentukan kaldera Sunda. Dengan demikinan keberadaanya perlu dilindungi, mengingat kondisinya yang mudah lapuk dan tererosi. Waktu terbaik untuk mengujungi destinasi wisata ini, sekitar tengah tahun atau jatuh pada musim kemarau. Bila air waduk naik, sebagaian pulau tersebut tenggelam. Pulau ini memberikan alternatif lain, sekaligus pemanfaatan melalui kegiatan geowisata yang berbasis informasi kebumian.