Longsoran dinding timur G. Nangklak .
Kawah Tegal Alun, sebelah selatan pusat letusan G. Papandayan.

Foto aerial panorama bisa dilihat di sini: https://kuula.co/share/5QNQ6?logo=1&info=1&fs=1&vr=0&sd=1&thumbs=1

Tohaan dari Kerajaan Pajajaran pernah menapaki puncak G. Papandayan pascaletusan 1772. Titik tinggi di Priangan timur, yang menjadi perhatian Bujangga Manik saat melalukan perjalanan kedua. Kemungkinan puncaknya pada saat itu mencapai lebih dari 3000 meter lebih. Setelah 1772, sebagian besar puncaknya hilang, akibat longsor yang diiringi kegiatan letusan gunungapi. Guguran puing atau disebut debris avalanche, terjadi karena tubuh gunungapi tidak mampu lagi menahan bobotnya, karena disusun oleh endapan batuan gunugapi yang belum terkonsilidasi. Bujangga Manik menuliskan perjalannya ke dalam naskah. Yang kini disimpan di Bodleian Library, Oxford Unversity sejak tahun 1627. Naskah yang ditulis sekitar abad ke-16 dalam aksara Sunda.

Dalam naskah tersebut Pangeran Sunda tersebut memberikan kesaksian, dari titik tinggi G. Papandayan disebut Panenjoan. Posisi titik pengamatan Bujangga Manik tidaklah begitu jelas diuraikan dalam naskah. Namun bisa diduga, keberadaan Panenjoan berada di sebelah tenggara G. Papandayan.

Ngalalar ka Ti(m)bang Jaya, datang ka Bukit Cikuray, nyangla(n)deuh aing ti inya, datang ka Mandala Puntang. (Berjalan melewati Timbang Jaya, pergi ke Gunung Cikuray, seturunku dari sana, pergi ke Mandala Puntang.)

Dari tempat ini (Panenjoan, atau titik tinggi untuk melihat bentang alam) kemudian ia memandang ke arah tenggara, melihat jajaran pegunungan dan perbukitan. Diantaranya G. Cikuray di sebelah timur, G. Guntur di utara. Kemudian G. Sawal jauh diarah timur. “Aku melihat Nusia (Nusa?) Larang (hamparan daratan) yang ditempati oleh pemukiman.

Bisa saja Bujangga Manik hanya berdiri di lereng sebelah tenggara, dan tidak pernah mencapai puncaknya. Diperkirakan praletusan 1772, gunungapi ini aktif dan memiliki kawah puncak yang sering mengeluarkan material eflata (material padat). Dalam naskah tersebut, Bujangga Manik menyebutkan gunung Agung, ta(ng)geran na Pager Wesi. Ditafsirkan sebagai G. Cikuray yang menaungi wilayah Garut. Saat itu disebut Pager (kandang) Wesi, untuk menyebut wilayah Garut Selatan.

Bagian puncak G. Papandayan, ditempati kompleks kawah yang terbentuk dalam empat kali kejadian. Kawah tersebut saling tumpang tindih, sesuai dengan aktivitas kegunungapiannya. Kawah paling muda terbentuk di sebelah timurlaut, kemudian hilang oleh kegiatan letusan besar 1772. Seperti halnya G. Cikuray yang berada di sebelah timurnya. G. Papandayan tidak pernah membentuk kerucut, akibat kegiatan letusannya bergeser dari baratdaya ke timurlaut.

Kawahnya membentuk tapal kuda ke arah timurlaut, menandakan terdapat kelurusan baratdaya-timurlaut. Kemudian material longsorannya melampar jauh hingga Bayongbong. Guguran puing (debris avalanche) tersebut disusun blok-blok lava dalam ukuran besar, didominasi fragmen hingga ukuran pasir dengan bentuk menyudut. Bahkan di sekitar Sirnajaya atau sebelah tenggara pusat letusan, disebut lemah neundeut. Berarti tanahya yang selalu bergerak, akibat disusun oileh materia tefra yang belum pada. Bila memasuki musim hujan, sering dilaporkan terjadi gerakan tanah, akibat air yang menyusup. Dengan demikian lempung yang mengalasi piroklastik, menjadi bidang gelincir. Sehingga disebut “daerah yang terus bergerak”.

Setidaknya catatan paling awal yaitu pada 11-12 Agustus 1772. Berupa letusan besar dari kawah pusat, awan panas yang meluncur menuruni lereng. Menyebabkan 2951 orang meninggal, dan menghancurkan lebih dari 40 perkampungan. Kemudian di tahun 1882, terdengar suara gemuruh yang diduga dari pusat letusan. Pembentukan Kawah Baru terjadi pada 11 Maret 1923, letusan lumpur disertai lontaran batuan hingga 150 meter. Kegiatan G. Papandayan terbatas pada kepulan asap fumarola dan solfatara, disertai bualan lumpur dan air panas disekitar Kawah Mas dan Kawah Baru.

Dalam beberapa laporan pengamatan, tipe letusan G. Papandayan berupa freatik atau freatomagmatik. Kegiatan letusan gunungapi berkaitan dengan adanya kontak antara air tanah dangkal bawah permukaan, atau bisa berasal dari formasi batuan yang banyak mengandung air. Ciri letusannya semburan gunungapi yang menghasilkan debu halus, uap air dan diiringi dengan suara gemuruh atau dentuman. Pada letusan freatik, menghasilkan sebagia besar dari gas dan uap air. Kegiatan kegunungapiannya terus diawasi, mengingat gunugapi ini termasuk dalam kelompok gunungapi aktif di Jawa Barat. Hingga kini kegiatan aktivitas G. Papandayan dipantau tanpa henti. Diamati melalui Pos Pengamatan Gunungapi G. Papandayan. Hingga kini kegiatan aktivitas G. Papandayan dipantau tanpa henti. Diamati melalui Pos Pengamatan Gunungapi G. Papandayan.