Andai saja fotografi lahir lebih awal, tentunya Heinrich Zollingerr akan dimudahkan membawa bukti rekaman visual dampak letusan Gunung Tambora. Gambar-gambar akan menghiasi laporannya dan memberikan deskripsi visual yang lebih akurat yang tersuratkan di perwujudan citra.  Namun Zollinger memilik  cara lain untuk bercerita melalui keterbatasan data visual. Saat itu ia ditugaskan oleh Kerajaan Belanda untuk mendata flora di lereng Gunung Tambora, setelah 32 tahun letusan mahadahsyat 1815.

Dalam laporannya di 1812 Zoolinger menuliskan kenampakan asap tebal dari bagian kawahnya, kemudian 5 April 1815 sudah menunjukan tanda-tanda gejala letusasan, dicirikan dari suara gemuruh yang terdengar hingga Ternate dan Batavia (Jakarta). Letusan terjadi selama dua hari 10 dan 11 April 1815 dikategorikan letusan parosimal, letusan gunungapi terbesar di era modern setelah letusan Gunung Taupo 181 M di Selandia Baru.

Pada tahun tersebut teknik kamera perekaman permanen belum dilahirkan, sehingga laporan yang disampaikan melalui teks, diantaranya dituliskan dalam kisah raja-raja (Kesultanan) Bima, dalam buku Bo Sangaji Kai. Naskah kuno milik Kerajaan Bima ditulis menggunakan aksara Bima, kemudian ditulis ulang pada abad ke-19 dengan menggunakan hurus Arab-Melayu dan kertad dari Belanda dan Cina.

Sumber lokal lain berada di koleksi pustaka gunungapi di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi menyebutkan penelitian awal dilaporkan Adnawidjaja, M.I., dan Chatib, M., 1951, Laporan Kawah Gunung Tambora (Jazirah Utara Pulau Sumbawa) April-Mei-Juni; Bandung: Direktur  Vulkanologi dan tidak dipublikasikan. Kemudian tahun 1995 dilakukan pemotretan udara kondisi eksisting kaldera oleh Chaniago, R., Effendi, W., Suhadi, D., Yuhan, Budianto, A. dan Kusdaryanto, 1995, Laporan Interpretasi Fotret Udara Gunung Tambora dan Sekitarnya.

Peneltian awal masih menyajikan data-data foto hitam putih Gunungapi Tambora, dan belum dipublikasikan. Pada saat kegiatan survey awal jaman kemerdekaan Repulik Indonesia,  kamera merupakan benda mewah dan mahal, sehingga data-data visual yang berkaitan peneltian Gunung Tambora sangat sedikit. Hanya organisasi atau lembaga tertentu yang memiliki akses. Diantaranya dilakukan oleh Kementrian Penerangan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjodjo II 1956-1957, melalui biro regional yang berkerja di wilayah peliputan Indonesia Timur. Biro ini menghasilkan foto-foto peristiwa, termasuk pendokumentasian fotografi sebagian gunungapi di Indonesia, disimpan dan dikelola oleh Arsip Nasional.

Laporan-laporan yang dilengkapi data visual foto, kemudian diproses untuk kepentingan pendukung penelitian atau pengkajian lanjutan. Data tersebut diintepretasi  dan diturunkan menjadi produk pemetaan mitigas serta penyusunan peta potensi bencana. Diposisi demikian fotografi didudukan sebagai sumber informasi berkaitan dengan dampak letusan Gunung Tambora, baik berkaitan dengan lingkungan, tinggalan budaya yang terkena langsung bahkan sebagai kajian informasi kegeologian. Bagi para peneliti arkeologi di situs Pancasila di lereng sebelah barat Tambora, fotografi menjadi media untuk memetakan visual tinggalan artefak, ekofak, rangka manusia dan struktur bangunan pemukiman. Tim Peneliti Arkeologi Denpasar telah menyusun laporan temuan, disertai foto-foto sebagai bahan ilustrasi, yang dilengkapi dengan deskripsi dan ukuran pembanding pada serta skala pada setiap obyek penelitian.

Untuk kebutuhan penelitian geologi, diperlukan visualisasi eksisting lokasi. Biasanya menggunakan fitur  panorama pada kamera, untuk merekam area yang lebih lebar. Selain itu diperlukan juga bukti singkapan yang disertai skala pada setiap pemotretan, baik ukuran makro hingga mikro. Para penelti dan penyidik bumi biasanya memanfaatkan ukuran benda-benda umu, atau ukuran skala yang lebih spesifik. Keterampilan teknis sangat diperlukan, diantaranya pengetahuan pemilihan ruang tajam, pengaturan komposisi, memilih arah cahaya dan penataan obyek. Keterampilan tersebut menjadi dasar pengetahuan teknis, selebihnya adalah kemampuan estetika yang baik, dan biasanya berkaitan dengan pemilihan komposisi dan sudah pandangan pengambilan. Pada kesempatan tertentu, para peneliti lapangan melakukan pemotretan mandiri, sehingga keterbacaan visual-nya kurang baik. Hal demikian bisa dimengerti karena keterbatasan pengetahuan teknis dan pengelolaan estetika pembingkaian gambar yang buruk.

Ketrampilan teknis dan estetika saja tidak cukup, diperlukan wawasan visual yang harus terpenuhi, diantaranya keterbacaan (bahasa gambar) dan makna. Berbeda dengan laporan tulisan yang bisa di susun melaui informasi pihak kedua atau dari sumber informasi tertulis sebelumnya, foto harus hadir saat peristiwa itu sedang berlangsung. Dengan demikian “foto” merupakan representasi sebuah peristiwa dan diyakini ada. Dalam sajian reportase visual fotografi dibutuhkan teks dalam bentuk deskripsi untuk mendukung informasi visual. Bentuk redaksionalnya sangat umum, bisa berupa data dasar lokasi, apa, mengapa dan kemenarikan obyek tersebut.

Keterbacaan informasi visual menjadi tantangan bagi para pembingkai waktu, karena masing-masing “mata fotografer”  memiliki visi dan cara pandang yang berbeda. Walaupun beberapa orang membidik satu peristiwa yang sama, namun setiap mata memiliki “selera pandang” yang berlainan. Semuanya dikendalikan oleh bingkai pemikiran kemudian diterjemahkan melalui penyusunan tata bahasa visual, diturunkan menjadi komposisi, pemilihan jenis cahaya, kroping dan penentuan sudut pengambilan. Komponen-komponen tersebut sebagai modal dasar reportase visual fotografi untuk kebutuhan publikasi kebumian. Profesi fotografi ini  disebut geofotografer, atau fotografer kebumian dengan ruang lingkupnya pemotretan bentang alam, fitur, proses dan kemenarikan berdasarkan sejarah kebumian. Bagi geofotografer bentang alam Gunung Tambora adalah surga mata, kemudian tugasnya adalah memilah dan memilih informasi mana yang menarik untuk disampaikan. Informasi tersebut kemudian dibunikan oleh teks dalam bentuk deskripsi singkat, bertujuan mengungkapkan informasi yang tidak tampak dalam visual. Berbeda dengan genre fotografer pemandangan alam, tugasnya adalah lebih pada penekanan estetika tinimbang informasi.

Di mesin pecari informasi onlie, google mencatatkan 942.000 laman web yang menyediaan informasi mengenai Gunung Tambora. Di dalamnya disertai foto yang mendampingi penjelasan berita atau artikel. Masing-masing foto tersebut difungsikan sebagai ilustrasi tulisan, sehingga diperlukan deskripsi untuk menjelaskan dimana, kapan dan seterusnya makna foto tersebut. Susunan informasi demikian sudah menjadi baku, foto dianggap sebagai respresentasi visual, kondisi terkini atau eksisting. Namun kemunculan foto-foto tersebut bila disimpulkan sederhana, memiliki bentuk dan makna yang sama, atau sering terjadi pengulangan (repetisi).

Pengulangan foto ibarat tenggelam di lautan citraan digital, semua nyaris sama dan mirip. Kondisi saat inilah  menjadi tantatangan dan tugas fotografer yang mengkhsusukan pada genre fotografi bentang alam disebut geofotografer. Selain harus memiliki wawasan ilmu bumi, kemampuan teknis memotret, ia pun harus memiliki cara menuturkan bahasa visual yang baik dan bisa dimengerti berdasarkan kondisi faktual dan bersifat aktual. Selebihnya adalah eksplorasi kreatifitas dan estetika, untuk menampilkan reportase visual fotografi yang menarik.

Perlapisan lava dan piroklastik di dinding barat G. Tambora
Danau Kawah yang terbentuk di dasar kaldera
Gawir terjal kaldera, arah aliran letusan