Ano adalah bapak paruh baya, bekerja sebagai kuli bangunan. Sesekali bertaruh waktu menjadi buruh tani di sekitar Mayang. Sepertinya lahan sudah milik orang lain, saya hanya melontarkan tenaga saja sebagai buruh. Ano berusia jelang 62 tahun, memiliki anak dan cucu yang tinggal bersama satu atap.

Kehidupannya tidak lepas dari pekerjaan ini, hampir setengah abad yang lalu. Tahun 1974, Ano muda diminta untuk mengerjakan pembersihan lahan. Pa Ateng, tetangga satu kampung, meminta Ano untuk membabat dan meratakan tanah di atas lahannya. Tujuannya adalah pembangunan rumah.

Diperlukan waktu hampir satu minggu, dengan menggunakan cara manual. Lahan yang dimaksud berada di tepi jalan penghubung desa, atau sekitar 100 meter dari Kantor Desa Mayang. Keberadaan lahan tersebut berada di tengah desa, dilalui oleh jalan penghubung dari Cisalak ke percabangan Pasirlame dan Cibogo.

Desa Mayang berada di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang. Nama tersebut merujuk pada nama bunga pohon jambe yang dianggap memiliki banyak manfaat. Keberadaan desa ini lahir seiring dengan Kewedanaan Batusirap, sekitar abad ke-19. Dalam laman profile Desa Mayang, disebutkan desa ini sudah ada sejak 1912.

Secara geografis merupakan daerah yang subur, diapit oleh tiga sungai. Diantaranya Ci Leat dan Ci Waru yang berasal dari G. Canggak. Kemudian di sebelah baratnya, mengali Ci Karuncang. Hulunya berada di lereng utara G. Burangrang. Masyarakat menyebutnya G. Gede, menandakan kerucutnya menjulang tinggi seperti menaungi dataran tinggi Mayang. Elevasi desa ini antara 800 hingga 620 meter dpl., berhawa sejuk dan dialiri air sungai sepanjang musim. Merupakan desa yang menyadarkan kegiatan ekonominya dari bercocok tanam. Kehidupan agraris inilah, menjadi ciri budaya di dataran tinggi.

Desa ini diapit oleh dua perbukitan, Pasir Palasari di sebelah barat dan Pasir Tonggohluhur di bagian timur. Kedua bukit tersebut memanjang dari selatan ke utara, membentuk lembah yang dalam. Di antara lembah tersebut mengalirlah sungai, dengan arus deras. Dicirikan dengan debit air tinggi, lereng curam dan mengendapkan bongkah-bongkah batuan. Kondisi demikian dikategorikan sungai tingkat muda, mengerosi lereng tebing kemudian mengangkut material ke hilir.

Dalam beberapa kejadian, seringkali dilaporkan peristiwa banjir bandang. Diakibatkan oleh curah hujan tinggi, dan kondisi geologi. Selain itu sebagian besar wilayah desa ini, dimanfaatkan menjadi petak-petak sawah yang menempati dataran banjir. Sehingga peristiwa luapan air sungai, menjadi jadwal tahunan.

Seperti yang terjadi pada tanggal 4 Desember 2025, berupa luapan air di Ci Kandey hulu kampung Cibago, Mayang. Luapan air tersebut menggenangi beberapa rumah dan fasilitas umum. Diakibatkan terjadinya longsoran di hulu, kemudian membawa material batuan dan lumpur ke hilir. kondisi demian seringkali melanda Desa Mayang, mengingat secara topografi diapit oleh dua perbukitan. Akibat curah hujan tinggi, dan perubahan tata guna lahan di hulu, menyebabkan limpasan air (run off). Semua air masuk ke dalam sungai, membawa material ke hilir.

Batu-batu yang melimpah dan berserakan sepanjang dataran banjir sungai. Menandakan kekuatan air yang membawa batuan tersebut, kemudian menjadi ciri khas desa ini. Diantaranya didapati batuan dengan ukuran sebesar mobil mini bus. Masyarakat menyebutnya Batu Gong yang berada di tepi Ci Leat, atau sebelah timur desa. Batu ini diyakini menimbulkan bunyi, menjadi tanda peringatan kepada warga. Terutama bila menghadapi bencana.

Ke arah utara, didapati ukuran batuan yang jauh lebih besar disebut Batu Candi. blok batuan inilah yang digali oleh Ano, dengan tujuan mempersiapkan lahan untuk pembuatan rumah milih Ateng. Berupa blok batuan dengan ukuran tinggi sekitar 3 meter, dan lebar 2 meter. Berupa blok batuan membentuk persegi panjang, posisi berdiri. Batu ini diapit oleh bongkah batuan lainya, dengan ukuran bervariasi. Antara ukuran 40 cm hingga 60 cm, membundar. Dalam keterangannya, Ano menggali beberapa batuan, dan memindahkannya ke tempat lain. Tujuannya adalah meratakan lahan, dengan cara menimbun kembali lahan yang miring. Tanpa sengaja dihadapan batu tersebut didapati batu dengan ukuran kecil. Menurutnya bentuknya seperti wujud manusia, lengkap dengan anatomi kepala, kaki, tubuh dan lengan.

Ano menjelaskan objek tersebut, berupa bentuk manusia. Ukurannya sekitar sepaha orang dewasa, atau sekitar 30-40 cm, tinggi. Kemudian lebar sekitar 20 cm, memanjang. Lengannya dilipat di bagian depan tubuh, dan bentuk kaki memanjang. Diperkirakan terbuat dari batuan beku, mengingat jenis batuan ini mudah didapat dan dibentuk dengan teknik tertentu.

Pembentukan batuan diperkirakan sudah dikenal unsur logam. Berupa pahat besi, sehingga ada kemampuan untuk menoreh, memahat atau membelah batuan menjadi bentuk tiga dimensi. Kebudayaan tersebut seiring munculnya budaya perundagian (Zaman Logam), menandai teknologi pembuatan alat dari perunggu, atau bahan besi. Menggantikan penggunaan batu yang dibentuk seperti kapak, dan sebagainya.

Dalam catatan arkeologi di Indonesia, setidaknya logam dan teknik penempaan telah dikenal sejak seribu sebelum masehi. Peradaban ini kemudian disusul dengan fase pengaruh Hindu-Buddha, mulai menyebar dari pesisir hingga pedalaman. Diperkirakan peradaban tersebut kemudian menyebar melalui muara sungai, kemudian menyebar ke arah hulu.

Ateng selaku pemilik tanah menceritakan keterangan dari orang tuanya, bahwa dahulu memang pernah ada beberapa arca yang disimpan di atas batu tersebut. Sesuai dengan laporan N.J Krom (1915), bahwa sebelah barat laut kaki G. Canggak terdapat lima undak-undakan bersegi empat beraturan serta lurus. Di atas tenah-tengah undangakan yang ketiga masing-masing terdapat patung kecil dari batu, satu diantaranya tidak berkepala. Seperti yang dilaporkan kembali oleh Nanang Saptono dalam Masyarakat Masa Klasik Kawasan Lereng Gunungapi Kuarter Zona Bandung (2005), menguraikan keberadaan situs tersebut.

Batu tersebut kemudian diserahkan kepada Haji Muhidin, di Ciaruteun Kota Bandung. Hingga kini keberadaan arca tersebut tidak diketahui.

Jalan penhungun Bukangara-Mayang, melalui lembah G. Kembar-Pasirbedil.
Kampung Pasirlame, dengan lembah yang dipotong Ci Karuncang
Bongkah batu di Cikeuyeup, utara Mayang. Latar G. Canggak
Batu Candi di Desa Mayang, diperkirakan sisa tempat arca disimpan
Komunitas Geourban dan penelusuran laporan N.J Krom 1915 di Desa Mayang