Jelaga hitam mewarnai bingkai jendela dan pintu. Sebagian dinding telah dirobohkan secara hati-hati, meninggalkan tumpukan batu bata dan bingkai kusen kayu. Di pojok bangunan tampak tembok berwarna hitam gelap, menandakan sumber api datang dari sana. Seorang bapak yang tinggal tidak jauh dari perumahan, mengkonfirmasi memang minggu lalu terjadi kebakaran. Melahap rumah dinas Telkom, di Rancabatok, Rancaekek.

Sumber api berasal dari kompor gas, kemudian menyambar tiga rumah dinas. Akibat kebakaran tersebut, rumah dinas tersebut rusak berat. Saat ini telah dibongkar, menyisakan dinding bagian depan. Sedangkan atap nya sudah hilang dilalap api. Menurut warga, direncanakan akan dibangun kembali dalam waktu yang belum bisa ditentukan.

Rumah dinas tersebut merupakan bagian dari kompleks fasilitas milik negara. Melalui kepemilikan PT. Telkom (Persero) Tbk. Sehingga rumah dinas dan bangunan radio pemancar masih dilindungi hukum, melalui kepemilikan Badan Usaha Milik Negara. Tertulis dengan jelas di papan informasi, bagian depan gedung “Barang siapa dengan sengaja memasuki pekarangan orang lain tanpa seizin pemilik, diancam pidana penjara. Pasal 167 JO Pasal 551 KUHP.

Stasiun radio ini disebut ontvangst-station Rantja-Ekek, atau stasiun penerima radio. Berupa bangunan diperkirakan bergaya art deco, dicirikan dengan fasadnya berupa bentuk geometris dan vertikalisasi. Didapati garis-garis vertikal yang menjulang untuk memberikan kesan tinggi dan dinamis. Jarak lantai ke atap tinggi, bertujuan memberikan aliran udara yang baik. Berada sebelah timur jalan penghubung Rancaekek-Majalaya. Berada di Rancaekek Westa, Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Fasilitas negara ini berfungsi sebagai sarana telekomunikasi dan informatika. Di Sebelah bangunan terdapat menara pemancar yang disusun rangka besi. Tingginya sekitar 40 meter, menjulang tinggi. Namun saat ini tidak lagi berfungsi, kemungkinan teknologinya sudah usang.

Gedung ini dibangun pada masa kolonial, berfungsi sebagai stasiun radio penerima. Pada saat itu masih menggunakan gelombang pendek (short wave/sw)

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Achtste deel. menguraikan rekaman peristiwa sepanjang tahun 1917-1939. Menuliskan tentang rencana layanan Post-, Telegraaf- En Telefoondienst. Pemerintahan Kolonial Belanda mengembangkan sistem telekomunikasi, melalui pancaran frekuensi radio. Tujuannya adalah untuk menggantikan penggunaan pengiriman berita melalui kawat telegraf, dengan cara mengirimkan berita melalui transmisi.

Transmisi didistribusikan melalui pemancar besar dan kecil yang tersebar di dtaran tinggi Bandung. Seperti stasiun Malabar, Cililin, Cimindi dan Dayeuhkolot. Sebaliknya, sinyal yang ditransmisikan oleh pemancar asing diterima oleh stasiun penerima di Rancaekek dan/atau Kebayoran dan juga ditransmisikan melalui saluran langsung ke Batavia Centrum, tempat sinyal tersebut diproses.

Demi kelancaran pengembangan teknis, berdasarkan hasil uji coba yang sudah dilakukan. Pada tahun 1934 pembangunan stasiun radio gelombang pendek dilakukan. Lokasi pertama pembangunan adalah di Dayeuhkolot. Saat ini menjadi kawasan kampus Universitas Telkom, berupa lahan kosong. Sedangkan tiang pemancarnya sudah lama hilang.

Stasiun ini belum selesai pada akhir tahun 1935, tetapi sudah sebagian beroperasi. Di sekitar stasiun, berbagai antena beam didirikan di sebelas menara, masing-masing setinggi 90 meter, yang akan memancarkan sinyal radio ke seluruh dunia. Pemancar yang akan dipasang memiliki desain terbaru, menampilkan sideband dan penekanan pembawa, serta modulasi, memungkinkan dua koneksi telepon dan satu telegraf dipertahankan secara bersamaan. Terlepas dari penggunaan ganda ini, bandwidth yang ditempati oleh jenis pemancar ini hanya seperempat dari pemancar sebelumnya dengan saluran telepon atau telegraf tunggal. Pemancar ini mengkonsumsi energi primer 300 kW, di mana sekitar 80 kW dipancarkan ke antena.

Pengembangan peralatan penerima juga terus maju. Antena pemancar diperlukan untuk penerimaan, yang segera mengharuskan pembangunan stasiun penerima kedua yang berdekatan dengan stasiun di Rantja-Ekèk (30 km sebelah timur Bandung). Lokasi yang dipilih untuk stasiun penerima baru ini, yang akan menangani lalu lintas telegraf jarak pendek antar pulau dan internasional, adalah Kebajoran (24 km barat daya Batavia). Sebuah bangunan dibangun di sana pada tahun 1932, dan sinyal yang diterima oleh 12 penerima diteruskan melalui kabel ke kantor pusat perusahaan di Batavia. Penggunaan telegrafi video semakin meningkat; namun, jumlah telegram video yang dikirim dan diterima masih relatif kecil.

Karena semakin berkembangnya fasilitas yang terbangun, untuk mengoperasikannya diberikan hak konsesi (pengelolaan), kepada perusahaan penyiaran milik Hindia Belanda. berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 30 Desember 1932, NV Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) diberikan konsesi penyiaran.

Izin penyiaran akan diberikan untuk jangka waktu 10 tahun, dan tidak ada perusahaan penyiaran lain yang diizinkan beroperasi sebagai perusahaan komersial dalam jangka waktu tersebut. Penyiar harus berupaya memenuhi kebutuhan dan keinginan pendengar dan akan mematuhi instruksi Direktur Transportasi, Pekerjaan Umum, dan Pengelolaan Air, yang akan diberi nasihat tentang isi siaran serta metode produksi dan transmisi oleh Dewan Penasihat, yang akan dipilih oleh mayoritas pendengar.

Dalam waktu satu tahun setelah menerima konsesi, NIROM akan menyediakan layanan penyiaran secara memadai di Jawa dan, dalam waktu tiga tahun, di seluruh Hindia Belanda. Sebagai imbalan nya, NIROM berhak atas biaya mendengarkan dari semua pendengar di wilayah tempat siarannya dapat didengar dengan jelas. Biaya ini maksimal 10 guilder per kuartal dan secara bertahap berkurang menjadi 5 gulden per kuartal seiring bertambahnya jumlah pendengar hingga 25.000. Direktur Transportasi, Pekerjaan Umum, dan Pengelolaan Air dapat mengurangi biaya tersebut jika hasil operasional perusahaan memungkinkan.

Wilayah di mana siaran tersebut terdengar jelas meliputi seluruh Jawa pada tanggal 1 April 1935 (kecuali kediaman Cheribon dan sebagian kediaman Priangan, Batavia, dan Buitenzorg, di mana pendengaran dianggap tidak memadai) dan di Sumatera meliputi kediaman Benkoelen, Palembang, dan Djambi.

Jumlah pendengar berbayar di wilayah NIROM adalah 5.390 pada tanggal 1 April 1934, dan telah meningkat menjadi lebih dari 19.000 pada akhir Mei 1935.

Karena kebutuhan pendengar pada saat itu yang berorientasi Barat dan Timur sangat berbeda, serta intensitas gangguan atmosfer, NIROM harus menyediakan siarannya dalam tiga cara: pertama, melalui serangkaian pemancar kecil yang dapat didengar secara lokal, yang dihubungkan oleh saluran telepon, yang menyiarkan program umum, yang sebagian besar berorientasi Barat; kedua, melalui serangkaian pemancar kecil serupa, yang terutama menyiarkan program Timur; dan ketiga, melalui pemancar Archipel besar untuk program umum, yang ditujukan untuk pendengar pedesaan yang kesulitan mendengar siaran lokal.

Harian umum De nieuwsgier 11-08-1948 melaporkan hal yang sama. Perang dan masa-masa penuh gejolak yang mengikutinya menyebabkan kerusakan yang cukup besar pada aset PTT (Layanan Pos Belanda). Selama perang, pusat telepon di Makassar dan Manado hancur, banyak stasiun radio di provinsi-provinsi terpencil dan pusat telepon di Priok direbut oleh Jepang, dan pemeliharaan seringkali tidak memadai. Pada tahun 1946 dan 1947, penjarahan terjadi dalam skala besar, dengan stasiun radio Bandung yang paling parah terkena dampaknya. Stasiun penerima Rantja-Ekek sepenuhnya dirampok, stasiun pemancar Dayeuhkolot sebagian dikosongkan, dan laboratorium radio dijarah. Lebih jauh lagi, pusat telepon di sini diledakkan, diikuti oleh pusat telepon Malang selama operasi polisi. Belum lagi banyaknya sambungan telepon dan telegraf yang hancur.

Dalam laporan harian umum Het Nieuwsblad voor Sumatra, tanggal terbit 12 Agustus 1948. Dalam artikel Schadeposten atau “barang rusak”, Kerusakan terbesar, menurut laporan, terjadi setelah Jepang menyerah, akibat tindakan para ekstremis. Selama perang, pusat telepon di Makassar dan Manado dihancurkan, stasiun radio di Kepulauan Luar dan pusat telepon di Priok (Tanjung Priok, Jakarta) dihancurkan oleh Jepang, dan pemeliharaan teknis seringkali tidak memadai. Namun, pada tahun 1946 dan 1947, penjarahan dan penghancuran terjadi dalam skala besar, dan pusat radio Bandung menderita kerusakan yang sangat parah dalam hal ini. Stasiun penerima Rancaekek dihancurkan sepenuhnya, stasiun pemancar Dayeuhkolot sebagian dikosongkan, laboratorium radio dijarah dan dirusak, dan gudang radio pusat dibakar. Selain itu, pusat telepon di sini diledakkan, seperti yang kemudian terjadi selama aksi polisi di Malang. Terakhir, namun tidak kalah pentingnya, sejumlah besar saluran telepon antar daerah dan sambungan telegraf yang hancur perlu disebutkan.

Saat ini bangunan Stasiun Radio Rancaekek terbengkalai dan tidak terurus. Beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan barang bekas. Dibeberapa bagian telah hancur dan rusak, selain vandalisme dan lapuk karena cuaca. Bangunan ini adalah aset PT Telkom, namun tidak terlihat adanya upaya perawatan dan pelestarian. Walaupun stasiun ini tidak digunakan untuk kebutuhan penyiaran komersial, tetapi memiliki nilai sejarah yang tinggi. Diduga sebagai cagar budaya, sehingga selayaknya bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya. Tujuannya adalah agar mendapatkan kepastian hukum, dan perawatan.

Dengan demikian pemerintah daerah selayaknya memiliki peran untuk segera menetapkan objek ini sebagai cagar budaya. Bila pemerintah lalai, otomatis turut menyumbang kehancuran sistematis. Konsekuensinya adalah pidana, sebagaimana diuraikan di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Kepemilikan aset PT Telkom
Fasad khas Art Deco, berupa garis vertikal
Sebagaian bangunan rusak karenatidak terawat
Bagian pondasi khas bangunan tahun 1920-an