Berupa perbukitan kecil di sebelah utara pusat kota Cicalengka. Secara topografis memiliki keunggulan, sebagai titik tinggi. Kondisi demikian paling ideal dalam strategi militer dan pertahanan. Dalam peta Rupa Bumi Indonesia/RBI lembar Cicalengka (2001), disebut Kebonsuuk, Desa Cicalengka Wetan dengan elevasi 731 meter dpl. Keberadaan perbukitan tersebut diapit oleh dua jalan utama, sebelah utara memanjang barat laut-tenggara adalah jalan nasional Bandung-Garut. Sedangkan di bagian selatannya kota Cicalengka.

Masyarakatnya menyebutnya Gua Peteng, berupa struktur bangunan di dataran tinggi Cicalengka sebelah utara. Saat ini menjadi areal Tempat Pemakaman Umum/TPU Cisaladah, Cicalengka Wetan. Kemudian sebagian bidang tanah menjadi lahan pertanian warga. Ditanami sayur, hingga tanaman keras. Kemudian sekeliling areal ini, telah menjadi hunian warga. Rumah-rumah didirikan di batas areal, dihubungkan melalui jalan sempit yang cukup sebatas roda dua. Ke arah baratnya, merupakan areal pemakaman umum.

Menurut warga, terdapat tiga unit bunker. Namun seiring waktu, satu unit roboh karena lapuk dan longsor. Saat ini hanya ditemui dua bangunan. Bunker sebelah barat masih utuh, dan sebelah timur telah hilang hingga 10 persen. Menurut warga karena ambruk dan lapuk. Kemudian satu unit lagi sudah tidak tampak lagi, karena sudah berganti menjadi ladang pertanian warga.

Wujud bunker berupa struktur melengkung setengah silinder. Memanjang dari utara ke selatan, dengan panjang sekitar 10 meter, dan lebar 3 meter. Memiliki akses berupa pintu selebar 1 meter, menghadap ke arah selatan ke pusat kota Cicalengka. Dari titik tinggi inilah, diperkirakan fungsi bunker ini sebagai pos intai atau pengamatan. Agar posisinya tidak diketahui, pembangunan bunker mengikuti bidang miring dan sebagai bangunan ditutup tanah.

Strategi demikian diperlukan, agar tidak terlihat dari intaian pesawat udara musuh. Bunker mulai digunakan setelah pasca perang dunia pertama, untuk mengungguli intaian dari udara. Dibedakan dengan struktur bangunan pada masa pendudukan Jepang 1942, bangunan masa kolonial. Struktur bunker diperkuat dengan dinding tebal berupa cor beton, dan tulangan besi. Tebalnya sekitar 60 cm, disusun menggunakan batu-bata merah.

Keberadaan struktur militer kolonial, tidak begitu dikenal pada masyarakat lokal. Selian cerita orang tua, selebihnya adalah informasi sepintas saja. Keterbatasan pengetahuan tentang sejarah, berkaitan dengan penguasaan areal oleh tentara Hindia Belanda saat itu. Mengingat kawasan strategi militer saat itu, sangat dilindungi keberadaanya. Selain sebagai alasan keamanan informasi strategis militer, termasuk pembatasan akses warga lokal saat instalasi militer tersebut aktif.

Dari bentuk dan strukturnya, diperkirakan satu zaman dengan pembangunan sistem pertahanan sekitar Bandung utara dan barat. Diperkirakan antara 1920-an hingga 1940-an, dalam persiapan menghadapi perang Asia-Pasifik. Sedangkan pembangunan sebelum tahun itu, gaya arsitekturnya masih berupa semi sistem pertahanan terbuka. Seperti pembangunan sistem militer di G. Kunci Sumedang, sekitar 1914-1917 pada Perang Dunia ke-1. Pengamanan sisi timur Bandung Raya menjadi penting, diantaranya ditemukan bunker di Jatisari, Tanjungsari. Bentuk dan fungsinya sama, sehingga bisa ditafsir waktu dan aktif penggunaanya pada tahun yang sama dengan bunker di Cicalengka.

Selain itu didapati juga beberapa bunker yang ditempatkan di Sumedang Selatan. Berupa sistem kompleks pertahanan dalam bentuk bunker, diantaranya di Pasir Kolecer, Pasir Sukajaya dan di Gunung Gadung. Bentuk bangunnya berbeda dengan bunker di Kebonsuuk, karena digunakan sebagai sistem pertahanan di atas perbukitan. Dilengkapi dengan meriam antar gunung, pusat komando dan komunikasi.

Bungker-bungker tersebut membuktikan bahwa kolonial sudah menduga akan terjadi serangan perang terbuka. Seiring dengan gejolak yang terjadi di benua Eropa, invasi Jerman ke Polandia 1939. Mendorong terjadinya Perang Dunia ke-2 hingga ke Hindia Belanda.

Bunker sebelah timur, telah hilang akibat ambrol karena pelapukan.
Bunker sebelah barat, sebagian masih utuh.