Awan gelap menemani perjalanan pagi, sejak dari batas kota melalui jalan raya Bandung-Garut. Selepas persimpangan Paramon, jalanan mendaki kemudian bertemu dengan fly over Tenjolaya. Memilih jalur ke arah utara melalui underpass (jalan di kolong jembatan) di Cikopo. Di batas desa ini jalanan terjal menanjak, memotong perbukitan Pasir Sangiang. Masyarakat menyebutnya bukit Candi, karena di sebelah timurnya berupa bukit kecil membentuk struktur kerucut. Bagi masyarakat, tempat ini menjadi lokasi wisata pemandangan. Merupakan lapangan luas, hasil pengerukan sisa tambang. Sedangkan di sebelah baratnya, telah menjadi sentra bisnis berupa perumahan mewah.
Perbukitan yang disusun oleh produk gunungapi tua, diantaranya hadirnya di beberapa tempat struktur kekar lembar, dan tiang. Pasir Sangiang merupakan punggungan dari G. Buyung 1440 meter dpl. berada di sebelah timur. Membentuk perbukitan yang memanjang timur-barat, dan tekuk lereng yang memisahkan Cimanggung dan Tenjolaya. Dari titik tinggi Panenjoan, melihat hamparan sawah yang menempati dataran banjir Ci Tarik. Jalan kembali mendaki ke arah Dampit, membelah perbukitan Pasir Sodok. Lembahnya yang dalam, di erosi oleh Ci Tarik. Sekitar di arah hulunya, didapati air terjun yang mengalir di atas aliran lava produk G. Kareumbi-Kerenceng. Lembah tersebut merupakan tekut lereng dua gunungapi. Sebelah selatannya disusun oleh G. Buyung, menyingkapkan perselingan lava dan piroklastik. Sedangkan di bagian utaranya adalah dinding lava tebal, aliran lava dari G. Kerenceng.
Melanjutkan perjalan ke arah timur, jalanan kembali terjal mengikut tekuk lereng Pasir Cijaha hingga wisata air terjun Sindulang. Berupa aliran Ci Tarik hulu, mengalir di atas lava, berupa air terjun kembar. Tingginya sekitar 30 meter, menerjang batuan keras. Di bagian bawahnya membentuk kolam melingkar, dengan ceruk yang dalam. Terbentuk akibat erosi oleh air yang dapat menggerus batuan keras dalam waktu yang sangat lama.
Selepas Sindulang, jalanan masih menanjak hingga tiba di Basecamp pendakian G. Kerenceng di Kampung Babakan Jambuaer. Dari sini jalanan agak melandai, karena sudah berada di seribu meter di atas permukaan laut. Jalan aspal bersalin rupa dengan makadam (jalana rintisan berbatu) di sekitar Dusun Leuwiliang, menandakan batas wilayah Taman Buru Masigit Kareumbi. Wilayahnya berada di tiga batas kabupaten; Garut di sebelah tenggara, Sumedang bagian utara, dan Kabupaten Bandung di sebelah timur.
Dari gerbang Taman Buru Masigit-Kareumbi, dilanjutkan ke arah timur. Mengikuti jalan makadam yang dipagari pohon tegak Puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia excelsa). Mendekati gerbang Kampung Cigumentong, mendapati jembatan Ci Tarik. Sungai yang mengalir dari G. Calangcang, kemudian melintasi tiga kabupaten. Sungai merupakan DAS Ci Tarum, hilinya di sekitar Majalaya. Sebelum masuk ke Cigumentong, terdapat percabangan. Ke arah utara masuk ke wilayah Cigumentong, sedangkan ke arah tenggaranya menuju Kampung Cimuluk. Dua desa terisolasi, di dalam kawasan.
Kampung Cigumentong, berada di lerang sebelah selatan G. Munggang 1400 meter dpl. Sistem kompleks gunungapi Kareumbi-Calangcang. Masuk ke dalam Desa Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang. Dari batas wilayah, masuk ke dalam Kawasan Hutan taman Buru Masigit Kareumbi. Secara topografis, dibatasi G. Munggang, G. Puncakanjung sebelah utara, kemudian di baratnya dipagari puncak Pasir Sindulang-sub bagian dari G. Calangcang 1667 meter dpl. ke arah selatannya dipagari tinggian Pasir Ciaro, G. Rancang 1402 meter dpl., bersanding dengan Pasir Nini.
Dalam panduan wisata Gids Van Bandoeng En Midden-Priangan (1927), atau buku panduan Wisata Bandung dan Sekitarnya. Wilayah ini masuk ke dalam usaha perkebunan Sindangwangi.
Menurut Pa Unang (89 tahu) , warga Cigumentong.tersedia jalur alternatif yang hanya bisa ditempuh jalan kaki. Membelah G. Munggang dan Pasir Sindulang, jalur ke arah utara hingga Kampung Cikobet. Masuk ke dalam wilayah Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Tengah. Jalan ini ditafsir sebagai jalur yang menghubungkan wilayah Sumedang dengan batas bagian selatan, melalui G. Puncaanjung. Dari peta lama dikenal nama Geomentong, merujuk kepada pada Cigumentong. Pergantian penulisan, kemungkinan terjadi menjelang kedatangan Jepang ke pulau Jawa. Pada buku administrasi Hindia Belanda tahun 1940 ditulis Cigumentong. Berbeda dengan penulisan pada peta lama abad ke-19 awal, ditulis Goementong.
Catatan lama kolonial, Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indië, (1940). Buku lampiran negara (Hindia Belanda), menyinggung mengenai batas administrasi, sebagai berikut:
“Gedeelten van de regentschappen Bandoeng en Garoet van de residentie (afdeeling) Priangan der provincie West-Java welke gelegen zijn ten noorden van de l|jn, beginnende in het oosten vanuit den top van de Goenoeng Tjalantjang op de regentschapsgrens Soemedang — Garoet langs de waterscheiding in zuidwestelijke richting tot het snijpunt met den desaweg Tjigoementong — Tjimoeloe — Pangeureunan, langs dezen weg zuidwaarts via Poegeran, Tjitjadas en verder tot het snijpunt met den hoofdverkeersweg Tasikmalaja — Bandoeng”
Keterangan di atas, menguraikan batas Provinsi Jawa Barat. Di dalamnya secara regional dibagi ke dalam batas administrasi kabupaten. Batas administrasi Kabupaten Bandung dibatasi oleh Puncak G. Calangcang, ke utaranya masuk ke Kabupaten Sumedang. ke arah selatannya dibatasi oleh (Desa?) Kampung Cigumentong, Cimulu dan Pangereunan. Ke araha selatannya dibaasi oleh Pugeran, Cicadas hingga jalan raya yang menghubungkan ke Bandung-Tasikmalaya (batas Nagreg).
Merujuk peta lama Soemedang (1943), batas administrasi Sumedang bagian selatan diperkirakan merupakan wilayah perkebunan. Dalam peta tersebut dituliskan wilayah Onderneming Sindangwangi. Menelusuri perkebunan Sindangwangi, dituliskan dalam majalah mingguan Indië; geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, jrg 5, 1921, no. 38, 21-12-1921. Menyebutkan jalur wisata ke air terjun Tjitarik (kemungkinan air terjun Sindulang). Onderneming Sindangwangi salah satu perusahaan tertua. Priangan (Cicalengka), awalnya berawal dari perkebunan kopi, tetapi sekarang seluruhnya ditanami teh.
Di dalam laporan De wereldburger; orgaan ter bespreking van Nederlandsche belangen in den vreemde en in de overzeesche bezittingen – commercieel – financieel – beschryving van landen en volken – emigratie – varia, (1887) laporan formal perihal kepentingan pemerintahan Hindia Belanda di wilayah jajahan. Menuliskan laporan tanggal 6 Agustus 1886, terjadi tanah longsor di kebun kopi Tjipokbraj, Kareumbi dan Goementong (Cigumentong), distrik Tandjongsari (Tanjungsari) dan Soemedang di divisi Soemedang, sebagai akibat dari hujan lebat dan terus-menerus beberapa hari terakhir.
Dari dua keterangan di atas, dengan linimasa yang berbeda memberikan informasi bahwa sebagian besar wilayah Cicalengka, merupakan lahan perkebunan teh. Sedangkan pada tahun 1887, merupakan perkebunan kopi.
Budidaya perkebunan setidaknya pernah hadir di Cigumentong. Sesuai dengan keterangan Pa Unang warga Cigumentong. Dahulu pernah hadir budidaya jeruk manis (sinaasappel plantage), di Cigumentong. Bukti keberadaan pengusaha perkebunan tersebut, berupa lahan yang diperkirakan bekas struktur bangunan tempat tinggal. Kemudian di sebelah utaranya terdapat ceruk yang diduga adalah bekas kolam. Lokasinya sekitar 100 meter ke arah barat, saat ini merupakan perkebunan warga. Bersebelahan dengan kolam, didapati tumpukan struktur, disusun oleh batuan beku dalam bentuk serpih. Bila dilihat sekilas bentuknya persegi panjang barat-timur. Menurut keterangan Unang, masyarakat kampung meyakini bahwa ini adalah kuburan Tuan Jansen. Pemilik lahan perkebunan di dataran tinggi Cigumentong.
Mengenai perkebunan di Cigumentong, belumlah ada informasi yang sahih dan tertulis. Bila diselaraskan dengan linimasa, sebagian besar wilayah ke utara merupakan lahan perkebunan dan hutan. Belum ada data yang menyebutkan secara jelas, siapa Tuan Jansen, dan usahanya di Cigumentong. Sehingga sementara ini masih berupa dugaan saja. Kemungkinan ada babak sejarah yang hilang, mengingat dua masa penting yang pernah menggoreskan tinta gelap dalam perjalanan sejarah bangsa.
Perang Jepang, disusul pasca perang kemerdekaan, sejak proklamasi hingga kedatangan kembali Belanda melalui Agresi Militer. Mendorong tumbuhnya sentimen buruk kaum pribumi terhadap penduduk keturunan Belanda saat itu. Sehingga bisa saja bangunan-bangunan yang berbau dengan penjajahan, hilang akibat amuk masa saat itu.


