Suara air beradu dengan batuan breksi gunungapi, melantunkan kisah sedih tentang tanah bergerak di lembah Cipeles, Sumedang. Terutama memasuki musim hujan,membawa pesan longsor tiba. Terakhir terjadi pada 16 Maret 2025, mengakibatkan terputusnya jalan penghubung dari Cadaspangeran ke kampung Ciseda 1.

Dalam peta lama lembar Hampang, penerbitan Topographische Inrichting Batavia (1918). Digambarkan kampung yang berada di lembah Cadaspangeran. Ciseda terbagi dua kampung, berada diwilayah Desa Cimarias, Kabupaten Sumedang. Berada di lembah yang dipisahkan oleh Ci Peles, disebut Ciseda 1. Sedangkan kampung yang berada di sebelah utara, bagian lebih atas disebut Ciseda 2. Di sebelah selatannya merupakan sisa dari wilayah perkebunan, hadir sejak jaman Kolonial. Diusahakan tanaman teh, kopi dan karet. Perkebunan tersebut dinaungi oleh kerucut gunungapi purba yang pernah aktif umur Kuarter.

Ciseda adalah dusun yang berada disebelah selatan dari jalan Cadaspangeran. Keberadaanya menempati lereng terjal, dipisahkan oleh Ci Peles. Sungai bagian dari DAS Ci Manuk, hulunya berada di Sukasari. Kelompok perbukitan dan gunungapi purba yang berada di sebelah utara. Kelompok gunungapi, diantaranya G. Manglayang, G. Pangparang. Kampung ini dialiri anak sungai Ci Seda, berhulu di G. Kareumbi 1395 m dpl. Alirannya bergabung dengan Ci Peles, bagian dari Sistem Daerah Aliran Sungai Ci Manuk.

Mata air terbentuk dilereng, merupakan ciri dari sistem hidrologi lingkungan gunungapi. Hutan-hutan yang berada di puncak gunung, bertindak sebagai imbuhan. Kemudian disimpan dalam akar pohon, dialirkan dalam sistem air tanah dangkal. Akibat gaya gravitasi, dan batuan penyusunnya berupa tuff dan breksi. Meloloskan air hingga ke lereng gunung, dan dimanfaatkan sebagai sumber mata air. Digunakan untuk kebutuhan pertanian seperti sawah, maupun kebutuhan warga. Mata air tersebut kemudian mengalir di anak-anak sungai, bergabung di Ci Peles.

Airnya Ci Peles mengalir membelah lembah dalam Cadaspangeran, membujur dari barat ke timur. Membentuk lembah dalam, karena ditoreh aliran sungai ribuan tahun yang lalu. Dari ruas jalan Cadaspangeran, menyelip gerbang selebar 4 meter. Berupa jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, menuju kampung. Jalannya berupa turunan dan tanjakan terjal, hanya bisa dilalui oleh pengendara yang sudah terbiasa.

Sebagian besar jalannya telah ditembok menggunakan semen dan batu, menumpang di atas batuan yang telah lapuk. Sehingga bila hujan deras tiba, beberapa ruas jalan ambrol. Seperti yang terakhir terjadi pada 29 Maret 2024, kemudian disusul kejadian terkahir pad 16 Maret 2025. Bencana selalu datang pada saat musim hujan, ciri lereng yang ditempatinya sangat tidak stabil.

Kurang lebih 11 keluarga, bertahan di bawah bayang-bayang longsor Cadaspangeran. Menempati lereng terjal yang diapit (perbukitan) Pasirgede sebelah selatan, dibelah Ci Peles. Kemudian di utaranya adalah tinggian Cijeruk. Keberadaanya di dalam lembah, hanya dihubungkan oleh jalan selebar motor roda dua, turun dan naik terjal melintasi Ci Peles.

Keberadaan kampung ini berada di lereng terjal Pasir Gede. Dialiri beberapa sungai kecil, berasal dari mata air. Sehingga bagian lereng tersebut, sebagian besar ditempati sawah warga. Membentang dari barat ke timur, sejajar dengan aliran Ci Peles, berupa sawah terasiring. Dari Ciseda di bagian barat, Singkup di bagian utaranya hingga Cikamuning dibagian batas timur.

Tanah yang subur merupakan berkah bagi warga Ciseda, walaupun telah beberapa kali diuji oleh bencana tanah longsor. Alasan inilah menyebabkan beberapa warga masih bertahan hingga kini. Selain itu rumah dan tanah yang dimiliki, merupakan warisan dari generasi sebelunya.

Seperti yang dicerikatan oleh Pa Iwan (53 tahun), pengarap sawah. Ia menceritakan bencana longsor yang terus melanda, terutama bila memasuki musim hujan. Terjadi sejak ia masih kecil, sekitar tahun 1974 hingga kini. Pada tahun 1995, terjadi longsor besar yang melanda kampung ini. Akibat pelebaran jalan raya Cadaspangeran, sehingga material yang ditumpuk dibadan jalan meluncur ke arah kampung.

Longsor tersebut diawali denga longsor kecil, berupa geger puing (debris). Dari ukuran kerikil hingga kerakal, berjatuhan dari lereng terjal Cadaspangeran. Sebagian besar jatuh hingga menimbun di bantaran Ci Peles bagian utara. Kemudian beberapa hari kemudian, disusul oleh longsoran besar. Diberitakan tidak ada korban, karena sebagian besar warga di Ciseda 1 telah mengungsi ke tempat tinggi. Hanya beberapa rumah yang terdampak, dan ternak saja mati.

Menurut Iwan, longsor tersebut terjadi karena alat berat yang digunakan memperlebar jalan telah mengganggu ketenangan para karuhun (nenek moyang). Kemudian terjadilah bencana lingkungan, berupa longsor. Kepercayaan masyarakat tersebut dikaitkan dengan cerita oray koneng. Binatan melata yang dipercayai menempati lembah Ci Peles, akan memperlihatkan amarahnya melalui longsor dan gempa.

Kerpecayaan nenek moyang tersebut, berkaitan dengan kearifan budaya warga Ciseda. Bila dilihat dari pola pengaliran sungai, menjadi ciri kelurusan sesar. Lanjutan dari sistem sesar Cileunyi-Tanjungsari di segmen Cipeles-Cadaspangeran. Arah struktur sesar geser mengiri (sinistral). Bukti dari keberadaan sesar tersebut, terjadi pada gempa yang melanda Sumedang, terjadi pada 31 Desember 2023. Keberadaan sistem sesar tersebut dikaitkan dengan sesar Cileunyi-Tanjungsari. Terjadi pada pukul 20.34 WIB, dengan kekuatan hingga magnitudo 4.8. Sesar tersebut diperkiran menerus ke timurlaut, di lembah Ci Peles (Cadaspangeran), bergeser antaran 0.18 hingga 0,48 mm/tahun.

Kondisi geologi demikian, bisa saja menjadi perhatian serius pemerintahan Kolonial, karena sekitar tahun 1920-an telah dirancang jalur kereta api yang menghubungkan Tanjungsari, Sumedang ke Kadipaten, Majalengka. Kemudian diteruskan hingga pelabuhan Cirebon. Proyek tersebut rencananya digambar pada peta Spoor- en tramwegkaart van Java en Madoera (1894). Namun tidak bisa dilanjutkan, karena masalah kesepahaman dengan pengelola swasta jalur kereta api Kadipaten-Cirebon. Selain itu Hindia Belanda jatuh ke tangan tentara Kekaisaran Jepang pada 1942.

Pascakemerdekaan, jalan Cadaspangeran dimanfaatkan sebagai celah untuk menghentingkan pergerakan tentara NICA. Tentara Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia, melalui aksi agresi militer ke-1.

Iwan menceritakan kisah dari orang tuanya, tentang penyergapan di Casdapangeran pada 21 Juli 1947. Peristiwa penyergapan Tentara Republik Indonesia, di Cadaspangeran. Upaya gerilya ini bertujuan menghambat pergerakan tentara Belanda, pada saat Agresi Militer pertama. Diperkirakan ada 1400 kendaraan militer Belanda, terhenti hingga satu hari, akibat sabotase dan penyergapan yan gdilakukan oleh TRI. Kampung Ciseda menjadi saksi penyergapan tersebut. Orang tua Iwan menceritakan, peluru senjata TRI terbang di atas atap rumah warga, kemudian dibalas oleh Belanda. Warga Ciseda mengungsi menghindari jalur tembakan,

Bila mengaitkan toponimi Ciseda, lebih dekan dengan kata Ceda. Memiliki makna yang negatif. Menurut kamus Kamus Sunda-Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depenbud (1985), bermakna bekas luka; pernah melakukan kejahatan. Bila dikaitan dengan relasi kondisi lingkungannya, berarti daerah yang telah rusak akibat tanahnya labil. Selain berada dilereng perbukitan, batuan penyusunya adalah batuan gunungapi muda. Pada Peta Geologi Lembar Bandung, Silitonga (2003), disusun pasir tufaan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Keberadaannya di lereng sebelah utara G. Kareumbi, sehingga material yang diendapkan di kawasan Ciseda berasal dari gunungapi purba tersebut.

Batuan penyusun gunungapi tersebut, mudah lepas dan lapuk. Sehingga bila terjadi air yang menyusup akibat hujan, menjadi bidang gelincir. Selain itu memiliki potensi gempa, seperti yang diterangkan di atas.

Makna ceda menjadi mamala atau tanda-tanda gejala bumi, bila bumi diperlakukan semena-mena, maka ia akan memberikan mamala atau bencana pada penhuninnya. Sehingga melalui warga yang menempati lembah Ci Peles, sangat meyakini cerita oray koneng. Binatang melata yang dilambangkan kepada bentang alam, akan menggeliat bergerak melalui gempa dan longsor. Bila kelak Ciseda diganggu kondisi lingkungannya.

Ciseda di hadapan Ci Peles, Cimarias, Sumedang
Satu-satunya jembatan penghubung ke Ciseda.