“Jembatan sekarang itu sudah dibuat tinggi” ungkap seorang warga di ujung jembantan lama yang melintasi Ci Tarum di segmen Cihea. Upaya peninggian jembatan tersebut, untuk menghindari paras sungai yang diperkirakan akan mencapai ketinggian 229 meter dpl. Titik penyeberangan ini, berdampingan dengan muara Ci Hea yang berhulu disekitar dataran tinggi Sukajaya dan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Tepatnya di kampung Tagong, Desa Mandalawangi, Cipatat, masuk ke wilayah Kabupaten Cianjur ke sebelah barat, dan Kabupaten Bandung Barat ke arah timur.
Celah sempit lebar 45 meter tersebut, dianggap paling tepat untuk dibuat jembatan yang menghubungkan Cipatat di sebelah timur, dan Cihea ke arah barat masuk ke wilayah Kabupaten Cianjur. Jembatan tersebut menjadi jalan lintas utama pada masa sebelum kolonial, kemudian diperlebar melalui pembangunan jalan yang dilakukan oleh Daendels 1808 hingga 1811.
Pada masa pembangunan jalan raya pos, Cihea merupakan segmen penyeberangan paling sulit saat itu. Diperlikan bantuan dua perahu digabungkan menggunakan poros bambu, dan dilapisi oleh bambu yang dianyam sebagai alas. Teknik penyeberangan sungai tersebut sangat sederhana, pengemudi cukup menarik alat bantu tali yang dibentangkan antar landasan batas sungai dan darat. Kemungkinan diperlukan waktu lebih dari setengah jam, melintasi celah sempih Ci Tarum. Posisinya persis di bawah jembatan Citarum lama sekarang, saat itu menghubungkan Haurwangi dan Rajamandala.
Saat ini jalan penghubung antara kabupaten tersebut bergeser lebih ke utara. Tepatanya ke jembatan Rajamandala yang berada di sebelah utara dari jembatan Cihea (lama). Dikerjakan oleh PT. Jasa Kencana Bahagia, sekitar tahun 1986-1987. Sedangkan di sebelah utaranya, dibangun jembatan TOL pertama di Indonesia. Diresmikan pemerintah Orde Baru, 1979, menghubungkan Bandung-Jakarta via puncak Cianjur. Saat ini jembatan Cihea menjadi kenangan, hanya dilintasi para warga dan wisatawan yang ingin berkunjung ke wana wisata yang dikelola oleh Perhutani.