Titik tertinggi perbukitan ini disebut Batu Masjid Agung. Dicapai melalui pendakian dari gerbang wisata Gunung Padang sebelah selatan, menapaki lereng perbukitan sejauh 600 meter. Menuju puncak sedikit merayap, melangkah diantara bongkah-bongkah batu. Tiba di titik tinggi ini, arah pandang terbuka ke segala penjuru. Mengungguli vegetasi yang berlomba tumbuh di bagian puncak perbukitan.
Melihat ke arah tenggara, tampak hunian warga di Ciwidey. Bersanding dengan perkebunan yang terkonsentrasi sepanjang (sungai) Ci Widey. Kemudian ke arah baratdaya, puncak G. Tambakruyung dan G. Masigit berjajar barat timur menaungi Rancabali. Ke arah barat, samar-samar terlihat G. Kendeng di Cianjur Selatan. Gunungapi purba yang menjadi batas jajaran pegunungan selatan Jawa Barat. Sebagai penutup, ke arah utara berjajar perbukitan di Batulayang. Bagian dari Kecamatan Cililin, dicirikan dengan hadirnya kerucut soliter. G. Bonjot 990 meter dpl. Bukit intrusi yang menaungi Waduk Saguling bagian selatan, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.
Secara umum perbukitan ini tersembunyi dan ditutupi vegetasi, di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Sehingga sepanjang masa selalu hijau, dicirikan dengan sumber mata air yang hadir sepanjang masa. Disebut Gunung Nagara Padang, tempat pencerahan bagi yang meyakininya.
Menyebut nama Gunung Padang di Jawa Barat, menunjukan Gunung Padang di Cianjur. Perbukitan yang disusun oleh struktur kekar kolom, mencuat menjadi perhatian para ahli. Berada di Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Padang berikutnya menunjukan di Kadongdong, Banjarwangi, Kabupaten Garut. Padang dalam pengertian budaya Sunda, merujuk kepada kondisi terang.
Menuju G. Padang bisa diakses melalui jalan Tol Soreang-Pasirkoja/Soroja. Jaraknya sekitar 35 kilometer atau satu jam lebih sedikit. Perjalanan dari pusat Kota Bandung melalui Gerbang Tol Pasteur, diarahkan ke selatan. Melenggang melalui jalan bebas hambatan ini, menawarkan ragam bentang alam yang terus bersalin rupa. Setelah menyeberangi Ci Tarum, mengarah ke selatan sekitar Kutawaringin Barat. Didapati pemandangan terbuka luas, berupa perbukitan di sebelah barat dan dataran rendah di bagian timur. Ke arah barat akan disambut struktur bangunan, Stadion Si Jalak Harupat. Stadion yang kini menjadi monumen Kabupaten Bandung di Kopo, Kutawaringin.
Dibalik stadion tersebut, berjajar perbukitan yang memagari Soreang. Mengambil referensi spasial, dari peta lama yang disusun Junghuhn; Kaart van het Eiland Java (1866), berjajar dari utara ke selatan diantaranya Pasir Buleud, Pasir Gedogan, G. Cintalangu. Kemudian mendekati pintu Tol Soreang, terlihat G. Puncaksalam di wilayah Cibodas-Kutawaringin hingga Padasuka di sebelah selatan.Dalam keterangan penelitian tentang alterasi gunungapi, Rinaldi Ikhram dkk., (2021), menunjukan bahwa kumpula kerucut tersebut merupakan bagian dari sistem gunungapi purba. Disebut Gunungapi Purba Soreang.
Selepas Soreang, kemudian tiba di Ciwidey. Jalan kelas kabupaten yang sejajar mengikuti aliran Ci Widey. Jalur ini pernah ramai oleh kegiatan ekonomi, di masa kolonial. Terutama untuk mengangkut hasil perkebunan dan hasil bumi pada masa itu. Dengan demikian dibuatlah jaringan kereta api hingga Ciwidey. Pada masa kolonial, transportasi antar kota dilayani melalui kereta api. Jalurnya mengikuti pola aliran Ci Widey, dilewati melalui beberapa jembatan besi. Namun sejak jalan raya semakin ramai, dan peralihan penumpang dan barang ke jenis angkutan darat jenis bus dan truk. Akhirnya operasi perkeretaapian harus ditutup karena terus merugi. Kemegahan teknis pembangunan jembatan, masih bisa disaksikan hingga kini, diantaranya Jembatan Rancagoong panjang 150 meter. Keberadaanya saat ini digunakan warga untuk melintasi Ci Widey, ke arah kota Soreang.
Tiba di sebelum pusat kota Ciwidey, didapati Pasar Sadu. Dari sini terdapat dua jalur yang mengantarkan ke Gunung Padang. Dua arah jalan tersebut sama-sama menuju lokasi, namun bila ingin mendapatkan suasana dataran tinggi, disarankan mengambil arah jalan melalui Cilame. Dari cabang jalan, kemudian mengambil arah ke barat melewati Ci Widey.
Jalannya aspal kelas desa, tidak lebar dan tidak terlalu sempit. Sehingga bila ada kendaraan yang datang dari arah berlawanan, masih bisa berpapasan. Jalannya relatif menanjak karena memotong perbukitan. Jalan ke arah barat memasuki wilayah Cililin, kemudian mengarah ke selatan masuk ke Kabupaten Bandung. Jalannya relatif menanjak, melalui tinggian Cilame. Jalanan terjal tersebut adalah jalur memotong lereng Pasir Pamidangan, kemudian naik ke utara melalui Pasir Puspa bagian selatan.
Dari Cipeuteuy, kemudian ke arah baratdaya ke Cipangkalan. Koesmono dkk, (1996), menduga bahwa tinggian tersebut merupakan sistem sesar. Berarah timurlaut-baratdaya, berupa struktur sesar normal. Di utara relatif naik, dibandingkan ke arah selatan, disebut sesar normal. Dalam keterangannya, hanya memperkirakan saja, tanpa ada penelitian lanjutan. Tetapi bila melihat morfologinya, bisa jadi pola pengaliran Ci Widey, berarah baratdaya-timurlaut itu menunggangi jalur sesar geser. Ci Widey merupakan Daerah Aliran Sungai Ci Tarum. Hulunya berada di G. Patuha dan Puncaklawang. Kemudian mengalir ke arah utara, bermuara di Ci Tarum di Cimahi.
Tiba di Cilame, singgahlah sebentar ke Puncak Andes. Objek wisata yang dikembangkan warga, menjadi sarana wisata berbasis alam. Titik tinggi ini memberikan arah pandang yang menarik, untuk melakukan pengamatan Cekungan Bandung bagian selatan. Kemudian aliran Ci Widey yang menghiasi lembah Cilame. Sungainya berkelak-kelok mengikuti kontur disebut meander. Ke arah barat terlihat tinggian Pasirawi, kemudian memotong Ci Sarua hingga lereng Pasir Pangguyangan 1261 meter dpl.
Dar Puncak Andes dilanjutkan mengarah ke barat, melalui Pasir Pamipiran. Kemudian berbelok ke arah baratdaya, tiba di percabangan di Naringgul Buni Sari, Buninagara. Jalan memotong ini langsung mengangtarkan ke gerbang Gunung Padang. Jalur jalannya relatif sempit, karena jalanan kelas desa. Tetapi bila ingin leluasa atau menggunakan kendaraan roda empat, bisa mengikuti jalan Rawabogo. Jalur sedikit memutar melewati kota Ciwidey, melalui perkebunan dan kampung Legok Kiara.
Tiba digerbang, ditemui beberapa warung dan pendopo. Jalannya berbatu dan menyempit. Sehingga kendaraan roda empat harus dititip di kampung Legok Kiara. Dari kaki perbukitan ini, elevasi sudah menunjukan sekitar di atas 1000 meter. Sehingga tidak heran, sebagian besar kawasan hutan produksi milik Perum Perhutani KPH Bandung Selatan diselingi tumbuhan kopi. Terutama varietas arabika, biasa tumbuh subur di atas 1000 meter lebih.
Disebut gunung namun kategorinya adalah perbukitan. G. Padang tingginya 1455 meter dpl., bila dikelompokan adalah kategori bukit. Seperti yang diuraikan dalam Kamus Geologi yang disusun Purbo Hadiwidjojo (2013), pengertian bukit adalah dari posisi kaki hingga puncak tidak lebih dari 300 meter. Menuju puncak disediakan jalur pendakian yang telah disediakan oleh pengelola. Agar tidak terlalu terjal, diatur memutar melingkar dan mengikuti topografi.
Puncaknya berupa blok batuan yang dahulunya merupakan tubuh perbukitan. Akibat cuaca, waktu dan erosi menyebabkan bersegmen-segmen menjadi blok batuan. Diantara blok batuan besar, menumpuk di bagian atasnya sisa batu yang membundar. Menandakan proses pelapukan tingkat lanjut.
Dalam pemaparan ahli gunungapi purba, Sutikno Bronto pengelompokan batuan gunungapi bagian selatan. Disusun oleh hasil kegiatan kegunungapian, sejak Pleistosen hingga Kuarter. Antara 2.5 juta tahun hingga 11.500 tahun yang lalu. Dalam peta geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, disusun oleh Koesmono, dkk., (1996), batuan penyusunnya adalah batuan gunungapi tua diendapkan pada kondisi lingkungan darat-laut dangkal. Diantaranya endapan breksi andesit, breksi tuf, tuf kristal dan batulempung. Dikelompokan ke dalam Formasi Beser. Formasi ini berumur Miosen Akhir, berkisar antara 5,3 hingga 1,8 juta tahun yang lalu.
Batuan tua tersebut kemudian ditindih oleh produk gunungnapi modern. Ke arah selatannya merupakan endapan lava dan lahar G. Tambakruyung, G. Wayang, G. Masigit. Ditutupi oleh produk gunungapi yang lebih muda Gunung Patuha, umur Holosen. Disusun lava, lahar andesit piroksen yang pejal dan berongga.
Wilayah ketinggian perbukitan yang dikelilingi oleh tegakan pohon pinus merkusii. Kemudian sebagian lereng yang dimanfaatkan oleh masyarakat, melalui pengelolaan tani mandiri perkebunan kopi. Wilayahnya berbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Dalam Peraturan Daerah tentang penataan kawasan dan wilayah (RTRW Kab. Bandung, 2016-2036), diproyeksikan sebagai kawasan wisata yang terletak di jalur selatan.
Disebut Gunung Padang, di Rawabango. Ciwidey, Kabupaten Bandung. Dikenal dengan nama Nagara Padang, situs berkaitan dengan kepercayaan masyarakat. Berupa perbukitan yang disusun oleh batuan beku, berupa blok-blok dengan ukuran raksasa.
Ukurannya beragam, mulai dari sebesar rumah hingga lemari es. Blok-blok batuan tersebut saling terkunci, dan lapuk. Dicirikan dengan bentuknya yang lancip, tidak lagi menyudut. Menandakan batuan tersebut telah mengalami pelapukan dalam waktu yang sangat lama. Beberapa bagian, hasil pelapukan tersebut membentuk rupa yang mirip dengan bentuk binatang mamalia hingga detail dalam ukuran mikro.
Bentuk batunya beragam, sehingga memberikan imajinasi seperti bentuk binatang. Di bagian lereng sebelah timur, terlihat bentuk batu yang mirip dengan kepala kura-kura. Berupa kepala yang menjulur, dan leher jenjang memanjang. Menuju lokasi disambut oleh dua bongkah batu, membentuk gerbang. Menurut keterangan Jurus Pelihara Situs Abah Undang menyebutnya batulawang, atau batu gebang. Sebagai ciri batas antara memasuki wilayah sakral Nagara Padang.
Abah Undang menjelaskan bahwa Nagara Padang merupakan patilasan, memiliki makna filosofis perjalan hidup. Direfleksikan melalui siloka atau simbol tentan lahir, hidup dan mati. Kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk fisik berupa batu. Seperti batu kaca-kaca, tempat untuk evaluasi perjalanan hidup. Kemudian batu rahim, berupa lorong antar batuan. Digunakan dengan cara merangkak ke bagian bawah, kemudian naik hingga keluar lagi dimulut lorong. Direfleksikan sebagai upaya terlahir kembali. Kemudian ditemui batu wedak paibuan, Batu Panyipuhan, Batu Kaca Saadeug. Perwujudannya dalam bentuk fisik, kemudian dimaknai menajadi refleksi kehidupan.
Masyarakat yang hidup di lereng perbukitan ini mayoritas peladang, keberadaanya berbatasan dengan dua desa, Rawabogo di bagian timur dan bagian barat masuk ke Buninagara. Keberadaan Gunung Padang, menjadi tempat keramat. Diantaranya ada sumber mata air abadi, disebut Cikahuripan. Keberadaan sumber mata air ini, seiring dengan kepercayaan warga untuk menjaga agar hutan sekitar Gunung Padang lestari. Bila mata air kering, menandakan kehidupan sekitar perbukitan ini akan sengsara kekurangan air.

