Jalan yang menghubungkan antara Jalan Cagak ke Kasomalang ke Rancakalong, merupakan batas tekuk lereng G. Canggak. Disusun oleh batuan gunungapi tua tak teruraikan (Silitonga, 1973). Berupa perselingan breksi gunungapi, laharik, dan lava. Kemudian ke arah utaranya adalah kipas aluvial, terutama yang berasal dari bahan rombakan gunungapi yang lebih halus.
Dengan demikian memiliki sumber-sumber mata air yang meliimpah, seiring dengan arah sungai dari selatan ke utara. Diantranya mengalir sungai utama Ci Punagara, hulunya di lereng G. Bukittungul. Kemudian Ci Harunten, Ci Karuncang, Ci Leat, dari lereng G. Bukittungul dan G. Canggak.
Sungai-sungai tersebut membawa peradaban berupa pusat-pusat kebudayaan. Dicerminkan dengan tinggal budaya PraSunda, di antara kebudayaan megalitik. Antara tahun 1831-1833, seorang ahli zoologi yang datang ke Hindia Belanda 1825. Kemudian bergabung dalam Ekspedisi yang diselenggarakan oleh Natuurkundige Commissie, sebuah kelompok naturalis yang dikirim ke Hindia Belanda untuk mengumpulkan hewan dan tumbuhan untuk Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden. Dr. Salomon Muller, didamping ahli gambar P. Van Oort, menelusuri kebudayaan di lereng utara G. Canggak.
Kedua orang Eropa tersebut, menelusuri informasi lokal tentang keberadaan tinggal arkeologi di sekitar timur Desa Mayang.Masyarakat menyebutnya Dayeuhluhur yang bermakna pemukiman di daerah tinggi. Merujuk pada hunian masyarakat agraris dalam kelompok kecil, berada di sekitar hulu sungai Ci Tali. Secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa cimanggu, Cisalak, Kabupaten Subang. Jalannya bisa dilalui roda empat (mobil), tetapi di beberapa ruas jalan rusak. Selain tonase truk pengangkut kayu, diakibatkan juga oleh sistem drainase yang buruk, sehingga air melimpah ke jalan. Jarak dari simpang Jalan Raya
Kondisi jalan semakin ke hulu, semakin menyempit. Kemudian sekitar kampung terakhir, kemudian berbelok ke arah barat melalui pabrik penggergajian. Kurang lebih sekitar 500 meter, tiba di kompleks pemakaman. Dari tepi jalan kemudian disambut oleh gapura yang bertuliskan Makam Waliyullah Syekh Eyang Haji Jaya Kusuma. Keberadaan makam berada pada bukit kecil, dinaungi pohon bambu yang rindang. Tersedia jalan setapak yang telah di tembok mengantarkan hingga gerbang makam.
Situs tersebut berada pada lereng G. Canggak. Dihadapan Nya berupa petak sawah warga, dengan latar jajaran perbukitan dan kerucut G. Canggak. Menandakan ke arah barat adalah wilayah Kabupaten Sumedang. Makam ini, berada di batas desa Cimanggu dan Desa Gardusayang sebelah barat nya, di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang. Ke arah baratnya dipotong oleh Ci Tali, mengalir ke utara.
Makam berupa petak ukuran 15 x 20 meter, dinaungi oleh pohon bambu yang tinggi. Di bawahnya didapati dua makam, berbentuk persegi panjang. Di atas kuburan, tumbuh pohon Hanjuang (Dracaena terminalis), pohon yang menjadi simbol penanda objek atau batas, dalam budaya Sunda. Orientasinya barat-timur, dengan panjang sekitar 2 meter dan lebar 0,12 meter. Sebelah baratnya berupa teras yang dilapisi ubin putih, dan atapnya telah roboh. Tempat tersebut diperkirakan tempat bermunajat para peziarah.
Sekeliling makam dibatasi oleh pagar bambu setinggi satu meter, melingkari kuburan. sedangkan bagian pintu menggunakan tiga batang bambu yang digeser.
Van Oort dan S. Muller melaporkan temuan di lereng utara G. Canggah. Melalui laporan arkeologi Over Eenige Oudheden Van Java En Sumatra (1848). Merupakan hasil perjalanan selama dua tahun antara 1831 hingga 1833, menyelidiki keberadaan tinggalan arkeologi di sebagian pulau Sumatera dan Jawa. Di daerah Priangan, Muller melakukan kunjungan ke sekitar G. Lumbung, Cililin, kemudian ke lereng utara G. Tanjaknangsi Ciwidey. Di daerah Subang selatan, mengunjungi daerah hulu Ci Tali, Cisalak.
Pada laporan di Plaat III, merinci temuan patung di kaki barat laut G. Tjagak (G. Canggak). Dalam laporan, dituliskan lokasi keberadaan tinggalan budaya ini berada di Nagara Wangoen Pakoe Hadji, tidak jauh dari Desa Mayang. Bila disandingkan dengan peta lama Batavia : Topografische Inrichting, 1913. Posisi Pakuhaji berada di sebelah selatan dari Pasirlaja, sedangkan Dayeuhluhur di tempat berbeda. Berada pada punggung sebelah barat, sejajar dengan aliran Ci Tali. Sungai yang mengalir dari utara di lereng utara G. Canggak, kemudian bergabung dengan Ci Leat sekitar Samoga. Keberadaan lokasi ini tidak terlalu jelas, hanya menyebutkan di daerah yang bernama Dayeuhluhur.
Satu-satunya petunjuk situs atau makam tua di daerah ini adalah makam Walliyulloh Syekh Eyang Haji Jaya Kusuma. Tokoh penyebar agama Islam sekitar Subang selatan, hingga ke Sumedang.
Berikut petikan terjemahan dari Plaat III. “Di sana terdapat lima teras berbentuk persegi empat yang berurutan, dari timur laut ke barat daya, pada ketinggian yang sedikit meningkat. Setiap teras 6-8 kaki (1.8 meter – 2.4 meter) lebih tinggi dari teras sebelumnya; teras terbawah memiliki diameter 40 langkah (12,1 meter), tetapi teras teratas sedikit lebih kecil. Di sisi-sisinya, tanahnya curam. Di sekeliling, dan juga di teras-teras yang mirip kuburan ini, tumbuh Poespa – (Schima noronhae), Sempoer (Dilenia spec.) dan pohon-pohon hutan lainnya, Bambu Tali (Bambusa apus) dan Alang-alang (Imperata Koenigii); Namun, yang paling menarik perhatian kami adalah beberapa pakis mirip palem, yang sampai saat itu belum pernah kami lihat di pegunungan barat Jawa. Pakis-pakis itu adalah Pakoe Hadji setinggi 20-30 kaki (6-9 meter), yang namanya diambil dari tempat itu, dan yang pasti ditanam di sana. Di samping setiap patung dewa terdapat satu. Batangnya yang cukup tebal, halus, berwarna abu-abu kecoklatan, dan mahkota yang sangat indah berbentuk payung atau kipas, sudah menarik perhatian kami dari kejauhan.”
Dari deskripsi di atas, menggambarkan bentuk punden berundak. Dinaungi oleh pohon kayu keras, dan bambu. Satu-satunya petunjuk keberadaan situs ini adalah pohon Pakis, kemudian menjadi rujukan penyebutan nama tersebut. Nama inilah yang menggeser nama tempat geografis Pakuhaji di Pasirlaja tidak relevan lagi.
Dengan demikian diduga, lokasi tersebut adalah Makam Jaya Kusuma. Berada di Kampung Dayeuhluhur, Desa Cimanggu, Cisalak, Subang.
Laporan tersebut merinci, didapati tiga bentuk arca (patung batu), tinggi 65 cm., berupa badan, tangan dan kaki. Sedangkan bagian kepalanya telah hilang. Arca kedua berukuran tinggi 28 cm, lebih kecil dari dua arca lainya. Disebutkan kepalanya condong ke depan, dengan tangan dipegang di depan tubuh-disebut Aki Sadu. Kemudian arca ketiga, disebut Demang Peret. Tingginya 54 cm, berupa bentuk tubuh manusia dengan janggut yang panjang. Dalam tulisannya, Muller meragukan bahwa itu adalah bagian dari janggut. Tetapi memperkirakan bentuk belalai gajah dengah wajah manusia.
Semua patung dibuat dari bahan trachyt, yaitu batuan beku ekstrusif yang berwarna terang. Bahannya melimpah, mengingat sebagian besar Dayeuhluhur disusun batuan gunugapi G. Canggak.
Didapati dua makam, ditandai dengan menggunakan batu yang disusun membentuk persegi panjang. Di bagian tengahnya ditempatkan batu seukuran 30 cm, dua sisi memanjang. Diperkirakan sebagai penanda. Kemudian orientasi kuburan melintang dari barat ke timur. Setiap sisi makam dibatasi dengan batuan seukuran 10 cm, membudar dan diatur berjajar, sumber batuan diduga berasal dari sungai, berupa batuan beku kemungkinan andesit. Bentuknya membundar, ciri dari batu sungai. Diangkut oleh air (transported), kemudian saling beradu dan membundar.
Keberadaan punden berundak, tidak didapati di situs makam ini. Namun bila menduga, keberadaan makam tersebut berada di atas tinggian. Dengan demikian bisa saja dahulunya merupakan pelataran berangga, kemudian diubah lebih landai.
Saat ini makam ini sering dikunjungi untuk kegiatan ibadah, baik masyarakat yang sengaja datang dari daerah Subang sekitarnya atau bahkan dari luar kota. Diperkirakan bentuk pemakaman telah disesuaikan dengan konsep Islami, sehingga bentuk lama tidak tampak lagi. Begitu juga dengan struktur punden berundak yang kini telah hilang.



