Dari jalan raya Bandung ke Garut, selepas Dangdeur bersiap-siap untuk memutar balik. Situs berada di sebelah selatan jalan raya nasional. Kemudian sekitar Pasir Cimanggung, atau setelah pabrik tekstil Kahatex, memutar arah kembali ke Bandung. Kurang lebih 30 meter, kemudian menepi di bahu jalan. Bagi yang menggunakan roda empat atau mobil, bisa memarkirkan di tepi jalan kemudian dilanjutkan berjalan kaki.

Lokasinya tersembunyi di balik pabrik dan rumah warga, disarankan untuk menggunakan alat bantu aplikasi navigasi. Ciri pintu masuknya adalah di mulut gang yang dihimpit oleh rumah warga. Tidak ada petunjuk khusus, hanya papan kecil dipojok atas mulut gang. Lorong sempit berupa gang yang ditempati rumah warga, memanjang utara ke selatan. Tidak terlalu lebar, sehingga hanya bisa diakses berjalan kaki, sedangkan kendaraan roda dua harus diparkir sebelum jembatan Ci Mande. Karena selepas jembatan sempit, berupa gang sempit selebar 1.5 meter. Kiri dan sebelah kanannya adalah tembok tegak sebagai batas pabrik. Benteng tersebut mengepung situs berupa dinding tegak hampri 3 meter.

Di seberang jembatan didapati papan informasi, bertuliskan Situs Candi Bojong Menje. Kemudian di bagian bawah tergambar arah tanda panah ke selatan. Papan ini berfungsi sebagai papan petunjuk, menuju lokasi situs.

Secara geografis berada dibatasi oleh Ci Mande (sungai), ke arah selatannya didapati klaster hunian warga. Disebut kampung Seke Jondol, terdiri dari 15 rumah. Ahmad termasuk penghuni lama, menempati kampung tersebut Sehingga mengetahui sejarah sejarah yang diturunkan dari orangtuanya. Dalam Bahasa Sunda, Jondol memiliki makna menonjol, bila diselaraskan dengan topografi berarti satu tempat yang membentuk tinggian seperti bukit. Bila merujuk kepada peta lama lembar Linggar (1908), disebut Cipareuag, bagian dari Bojongmenje. Bojong bermakna daratan yang menjorok atau mengarah ke suatu wilayah perairan. Sesuai dengan bentang alam kawasan tersebut, dibatasi aliran sungai setengah lingkaran. Merupakan daerah yang subur, karena bojong tersebut merupakan dataran banjir yang mengendapkan material sedimentasi di daerah tersebut.

Dengan demikian, sebagian besar wilayah ini merupakan dataran banjir sungai (flood plain), dibuktikan dengan laporan sebelumnya bahwa tempat ini seringkali direndam banjir. Dicirikan dengan endapan lumpur tebal dan berlapis, pada dinding Ci Mande. Sebagian badan sungai tererosi, sehingga menyebabkan rumah di bagian selatan terancam. Bentuk bangunannya sudah miring, akibat digerus arus sungai.

Saat ini di Situs Candi Bojongmenje diurus oleh Ahmad (80 tahun). Bertindak sebagai kuncen sekaligus warga lokal yang menempati rumah di belakang situs. Dari keterangannya menceritakan bahwa daerah yang ditempati situs merupakan hutan keramat warga. Sehingga ditumbuhi hutan tegakan pohon tinggi dan lebat. Didapati beberapa makam tua di wilayah tersebut, sehingga dianggap angker dan terlarang untuk didatangi. Warga memilih menghindari jalur ini, dengan cara memutar ke arah timur. Kondisi demikian dimanfaatkan oleh keluarga Ahmad, saat pasca pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Keadaan Rancaekek saat itu terimbas kondisi politik yang tidak menentu. Dermi mencari keselamatan, keluar Ahmad berlindung di tempat ini. Dikatakan bahwa ia bersembunyi di balik pohon besar, kemungkinan pohon beringin tua. Setelah kondisi keamanan pulih, Ahmad kembali ke kampung.

Keadaan demikian mengakibatkan warga sekitar Bojongmenje enggan untuk datang ke tempat tersebut, sehingga kawasan tersebut lestari. Sejak dahulu tempat tersebut dikeramatkan, karena merupakan pemakaman warga kampung. Melalui cerita orang tua Ahmad, bahwa di lokasi ini memiliki sejarah peninggalan nenek moyang dari sejak jaman dahulu. Namun bentuk peninggalan lama tidak dimengerti oleh Ahmad. Hingga awal bulan Agustus 2002, didapati petunjuk secara mistis pada Ahmad. Panggilan batin tersebut adalah petunjuk untuk mengungkap, dengan cara membersihkan sebagian lahan. Beserta enam warga lainya, Ahmad melaksanakan petunjuk tersebut dengan cara membuka lahan. Dilakukan pada pagi hari, tanggal 18 Agustus 2002.

Penggalian dilakukan dengan cara cara sederhana, secara manual dan tanpa rencana. Didasarkan kepada keyakinan tanpa menentukan titik, layaknya kegiatan ekskavasi. Ahmad dibantu beberapa orang, dengan cara menggali menggunakan cangkul dan sekop. Dimulai dari arah barat kemudian bergeser ke arah timur. Langkah awal yang dikerjakan adalah pembersihan akses jalan yang kini digunakan sebagai jalan masuk menuju situs. Kemudian dilakukan penggalian secara hati-hati.

Ahmad menduga titik sebelah barat berpotensi akan menemukan sesuai, berdasarkan sebaran batuan yang digunakan pada pemakaman. Pada saat itu belum ada batas pabrik, karena hanya ada satu yang beroperasi di sebelah barat. Sedangkan sebelah timur masih dalam bentuk urugan sebagai batas dalam rangka ada rencana pembangunan pabrik.

Menjelang siang, pada saat penggalian pada kedalaman 1,5 meter mendapati batu. Posisinya berada di luar areal candi. berupa blok-blok batuan, dengan ukuran persegi panjang. Berukuran 60 x 40 cm, sebanyak 30 blok batuan. Pada saat ditemukan berada di sebelah barat struktur Candi, tidak tersusun dan berkesan ditumpuk.Ahmad menduga bahwa blok batuan tersebut, kemungkinan jatuhan atau tergeser posisinya akibat kegiatan banjir di masa lalu.

Penggalian dilanjutkan bergeser sekitar beberapa meter ke arah timur, ke lokasi penemuan struktur candi saat ini. Dari siang hingga sore sekitar pukul 16.00 WIB, berhasil menggali di kedalaman 1,5 meter dan panjang 4 meter. Didapati susunan batuan yang tersusun rapi,. Bagian atasnya adalah pohon besar yang tumbuh menumpang di atas batuan tersebut.

Susunan batuan inilah yang merupakan dasar pondasi candi. Sehingga penggalian diputuskan untuk dihentikan. Tindakan selanjutnya adalah melaporkan ke pihak desa, kemudian dilanjutkan ke otoritas yang berwenang. Beberapa hari kemudian, hadir tim arkeologi dari Balar Arkeologi di Cibiru, Kabupaten Bandung. Kemudian dilanjutkan kegiatan ekskavasi terstruktur dan ilmiah.

Dalam keterangan Ahmad, batuan tersebut berserakan. Arah sebaran nya tidak terlalu jauh dari struktur utama candi. Kondisi demikian diperkirakan dibawa hanyut oleh banjir, menghancurkan tubuh candi ke segala arah. Kondisi banjir seringkali terjadi, sesuai keterangan Ahmad pada awal pengalian, ditemukan endapan lumpur. Sedimentasi biasa terjadi pada kondisi di dataran banjir seperti wilayah Rancaekek, mengingat lokasi ini adalah aluvial atau genang rawa di masa lalu.

Untuk mengamankan situs, lahan kemudian ditetapkan sebagai situs budaya. Luasnya sekitar 60 tumbak atau 843, 75 meter persegi. Terdiri dari 40 tumbak milik warga, kemudian 20 tumbak merupakan kepemilikan pribadi. Saat ini kegiatan penelitian masih berlangsung yang diperkirakan akan memakan waktu yang sangat lama. Sehingga sebagian besar struktur yang ditemukan Ahmad, saat ini disimpan dan di tata di sebelah selatan. Ditempat semi terbuka, dinaungi atap hasil bantuan pemerintah.

Dalam keterangan penelitian oleh ahli sejarah Anas Anwar Nasirin dan Dade Mahzuni (2021), belum menemukan kesimpulan. Mengingat literatur penemuan candi di sebelah barat Jawa masih minim informasi. Diperkirakan hadir pada abad ke-8 Masehi, seiring dengan peralihan dari Tarumanagara ke Kerajaan Sunda pada abad ke-10. Anas mendasari penelitiannya bersandar pada proses heuristik, kritik interpretasi dan historiografi. Didapat pemandangan umum, bahwa bukti eksistensi peradaban Bojongmenje, ditandai dengan keruntuhan Kerajaan Tarumajaya berdasarkan bukti keberadaan kompleks Candi Batujaya sejak abad ke-7. Keberadaan budaya Batujaya adalah akibat silang budaya dari ekspansi Jayasana dari Kerajaan Sriwijaya yang membawa pengaruh Budha. Sehingga corak agama tersebut tersirat pada budaya Sunda. Hadir di ujung kejayaan kebudayaan Tarumanagara, dan lahirnya Kerajaan Sunda.

Selanjutnya mengutip dari keterangan ahli arkeologi Widyastuti (2006), Bojongmenje secara keseluruhan merupakan candi Hindu berdasarkan penemuan fragmen tangga, tiang atap, puncak, blok batu lainnya, yang merupakan bagian dari struktur candi, patung Nandi, dan fragmen Yoni.

Anas menyimpulkan bahwa akibat desakan dari Sriwijaya, mengakibatkan terjadinya pergeseran kepercayaan Hindu ke arah pedalaman. Pemeluk kepercayaan Hindu kemudian bergeser ke area Bogor dan Kawali saat ini. salah satunya jejak pergeseran kebudayaan itu diantaranya adalah Situs Candi Bojongmenje.

Blok batuan yang dipekirakan disusun oleh tuff
Gudang penyimpanan blok batuan candi