Setiap saat saya melirik waktu untuk kesekian kalinya, rupanya baru beranjak seperempat jam yang lalu, namun ujung yang dituju belum terlihat. Hanya suara gesekan roda ban mobil mencicit membelah dingin malam Sukabumi selatan. Setelah lepas dari Bojonglopang, kendaraan bisa melaju agak cepat, karena jalan sedikit mulus namun tetap saja meliuk-liuk.
Rasa kantuk sudah saya titipkan di dasar gelas kopi hitam pekat, namun masih saja mengikuti hingga lewat tengah malam. Tidak terasa enam jam sudah saya lewati, menapaki dari Bandung ke Sukabumi, kemudian mengarah ke selatan, menuju Surade untuk menemui gua unik di desa Gunung Sungging. Gua alami ini menjadi buah bibir di jejaring sosial, mulai dari fenomena aura mistis yang menyertainya, lorong panjang yang diperkirakan 1 km lebih, hingga lokasi baru sensasi para pemburu swafoto. Bentukan alam ini menjadi fenomena ungulan wisata minat khusus, di wilayah taman bumi yang telah dikukuhkan sebagai Geopark Nasional. Luas Geopark Ciletuh-Palabuhanratu itu sendiri menempati luas hingga 126.100 Ha, atau 1.261 km2 yang meliputi 74 desa, di delapan kecamatan, termasuk Surade.
Goa yang terletak dilingkar perkebunan dan pesawahan warga, hanya bisa diakses melalui jalan setapak jalan desa dan berbatu. Dari area parkir kendaraan dilanjutkan berjalan kaki mengikuti paving block yang telah disusun warga, sebagai upaya memudahkan pengunjung. Di ujung gang dilanjutkan menelusuri pematang sawah, yang mengantarkan jalan setapak berakhir ke mulut gua. Dari kenampakan bukit tersebut seperti halnya bentuk alam biasa, bukit yang tertutupi vegetasi dan pohon hutan, dan sebagian terbuka karena digali untuk menjadi bahan tambang batu bata disebut bata cadas. Batupasir tuf tersebut dimanfaatkan menjadi bahan baku konstruksi bangunan, dengan cara dipotong-potong menggunakan gergaji tanpa proses pembakaran. Berbeda dengan bahan dasar tanah liat, disebut bata merah atau dari pasir kwarsa yang harus dicetak dan dikeringkan.
Lebar mulut gua kurang lebih lima meter menghadap ke arah tenggara, dan tinggi dua meter. Sawah di bagian depan gua sebagian tanahnya dimiliki keluarga bapak Usup, sebagai tanah warisan dari kakeknya. Kepemilikan inilah menjadi haknya memanfaatkan muka gua sebagai usaha wisata, sedangkan gua itu sendiri berdiri di atas tanah milik desa. Menurut sesepuh kampung, awalnya gua tersebut hanya dimanfatkan menjadi tempat burung walet besarang, namun seiring waktu burung tersebut hilang tidak kembali, kemungkinan lingkungan sekitarnya telah berubah menjadi lahan pertanian. Kira-kira awal tahun 70-an gua tersebut sering dikunjungi para pesugih, yang mengadu nasibnya menjadi lebih baik. Terlihat dari altar yang dibangun menyerupai meja, di bagian dalam gua untuk menyimpan sesaji. Itu dulu, tetapi sekarang telah berganti menjadi lokasi tujuan wisata umum. Ki kamal salah seorang sesepuh desa pernah menuturkan, gua ini pernah menjadi tempat pelarian para gerobolan para pengikut partai politik yang dilarang pemerintah tahun 65-an. Bersembunyi di gua ini untuk menghindari kejaran tentara, dikepung hingga dua minggu lebih. Namun para gerombolan tersebut bisa kabur melalui pintu sebelah timur, keluar di daerah Caringin. Kalau sekaran saya tidak tahu, jelas Ki Kamal, kemungkinan sudah tertutup. Bila keterangannya benar, berarti sistem terowongan bisa menembus 1,5 km dari desa Gunung Sungging ke Caringin.
Di mulut gua pintu masuk ditata sedemikian rupa, menggunakan pengamanan teralis besi, dengan ukuran lubang masuk seukuran orang dewasa. Menurut Usup pintu tersebut dikunci karena alasan keamanan, untuk menghindari dari pelaku yang suka mengambil sarang burung walet tanpa ijin pemilik. Usup mempersilahkan saya berjalan di depan, sesekali ia memberi aba-aba untuk membungkuk, untuk menghindari ornamen gua yang runcing. Dari muka pintu di daerah zona remang-remang, tampak lorong yang sebagian telah tererosi, dan kering. Kenampakan endapannya tanah menumpuk ke arah pintu masuk, menandakan arah aliran sungai saat banjir ke arah puntu saya masuk.
Udara pengap mulai terasa ketika sudah berjalan kurang lebih 15 menit, meniti lorong-lorong kering, yang hanya disinari cahaya lampu sorot seadanya. Diawal pergerakan harus berhati-hati dan membungkuk beberapa meter, kemudian berjalan bebas diantara dinding lorong dengan lebar 3 m, dan tinggi bervariasi kemungkinan kurang lebih 10 m. lorong-lorong tersebut merupakan dinding tegak, meliuk karena dierosi air. Di tengah perjalan saya mendengar gemericik air yang mengalir diantara celah vertikal kurang lebih 30 meter, ciri sistem sungai tertutup, kemudian timbul di bagian tenggara gua.
Gua ini termasuk unik, karena disusun oleh batupasir gampingan, hasil pengendapan jutaan tahun di lingkungan laut zona neritik, yaitu bagian cekungan lautan dengan kedalaman antara 50 ke 200 meter. Pengendapan tersebut mengalami kompaksasi, karena adanya gaya gravitasi kemudian memadat. Proses sedimen dianggap lengkap setelah memasuki tahap pembatuan atau litifikasi, dan disertai proses sementasi. Di peta geologi lembar Jampang dan Bale Kambang, kelompok penyusun batuan ini adalah Formasi Bentang Bagian Atas (Tmbu) umur antara Miosen Atas-Pliosen atau diantara 23 – 2 juta tahun yang lalu. Batuan gua ini disusun oleh tufa kristal, tufa batu, tufa abu, dan pada umunya ditemui napalan dan berbatu apung (Sukamto, 1975). Gua ini dibedakan pembentukannya dengan lingkungan kawasan kars, meskipun dihiasi ornamen, tetapi tidaklah begitu banyak kemungkinan karena susunan batupasir karbonatan tidak begitu baik meloloskan air (porositas). Berbeda dengan batuan karbonat yang memiliki rongga air, dibentuk dan diterobos oleh proses pelarutan atau karstifikasi. Hiasan gua yang saya saksikan diantaranya batutetes yang membentuk stalaktit-stalagmit, kolom, batualir berupa batutirai (drapery), tetapi tidak menemukan kolam-kolam air atau disebut travertin.
Usup melemparkan cahaya ke arah atap gua, dan memperlihatkan figur seperti kepala ular yang sedang menggantung. Endapan kalsit yang menarik adalah bentuk mirip seperti kepala ular, menggelantung di atap gua, terbentuk dalam kurun waktu yang sangat lama. Bentukan-bentukan alami tersebut menjadi menarik, bila diartikan dalam rupa imajinatif, bila melihat dari sudut yang tepat.
Setelah menapaki lorong tegak sejauh 300 meter dari mulut gua, tiba di ruangan luas membentuk kubah. Saya menduga atapnya runtuh yang dicirikan oleh material yang menumpuk akibat erosi. Di dinding gua terlihat ornamen-ornamen yang terbentuk melalu batualir, terlihat rupa rahang buaya kerucut, lengkap dengan sudut runcing yang berkesan gigi. Usup menjelaskan bahwa bentuk tersebut merupakan penjelmaan siluman buaya, yang pernah menempati gua ini. Di arah lain, terlihat perlapisan batupasir gampingan, mencirikan diendapkan di lingkungan air, kemungkina laut dangkal dan tenang di umur jutaan tahun, karena tidak ditandai perlapisan simpang siur. Gua ini bertingkat dicirikan dengan keberadaan lorong yang bersusun hingga ke bawah. Tinggi antar lantai diperkirakan antara 7-10 meter, dan kemungkinan tebalnya endapan bisa lebih dari 100 meter. Lorong bertingkat ini bisa jadi karena proses pengangkatan, kemudian sistem aliran sungai bawah tanah menyesuaikan dengan batas air permukaan pada saat itu.
Lorong-lorong tersebut terbentuk karena diterobos oleh aliran sungai bawah tanah, melalui mekanisme air. Hasil dari pengikisan tersebut menghasilkan lorong –lorong terjal, bercabang dan bertingkat. Bisa dibayangkan bila tidak diantar pemandu, tentunya akan tersesat dan hilang orientasi, seperti berjalan dilabirin yang gelap. Untuk perbandingan, gua ini dibedakan dengan bentukan pseudokars atau berkesan seperti-kars. Misalnya gua dilingkungan permafrost di kutub bumi, atau gua-gua yang terjadi bukan oleh proses pelarutan, seperti gua lava di Purbalingga, yang terbentuk karena aliran lava kemudian bagian atas mendingin, membentuk atap gua. Kita aliran lava pijar bagian dalam habis, kemudian terbentuklah struktur lorong.
Kekaguman saya meraba kegelapan, mengantarkan ke waktu menjelang senja. Tidak terasa hampir empat jam menapaki lorong gua kering, seakan waktu di dalam perut bumi berhenti. Di ujung lorong Usup melambaikan tangan, menandakan harus segera kembali keluar. Perlahan sapuan lampu sorot seperti melambaikan perpisahan, menyapu ruang dan lorong gua yang tidak berujung untuk disinggahi kelak. Pintu besi ditutup Usep rapat-rapat, meyakinkan agar keindahan tetap milik kegelapan abadi, menjadi rahasia alam perut bumi Jampang.