Saya berkesempatan berkunjung ke pulau terdepan di bagian barat Sumatera. Tepatanya Siberut Selata, Pulau Siberut, Provinsi Sumatera Barat. Bila ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 145 km dari Pantai Padang ke Muara Siberut, melalui Selat Mentawai. Siberut merupakan pulau besar dari gugusan kepulauan Mentawai. Diantaranya di sebelah selatan yaitu Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, kemudian Pulau Siberut pulau terbesar. Di sebelah selatannya adalah Pulai Pagai.

Pulau Siberut merupakan busur muka atau fore arc dari sistem konvergensi tektoni Sumatera. Dari data seismik, setidaknya memiliki ketebalan sedimen hingga 2500 meter di atas batuan alaas (Hamilton, 1974). Posisinya merupakan punggungan busur luar atau outer arc rigge, sehingga bukan jalur magmatik. Seting geologi demikian, menyebabkan tidak terdapat jalur gunugapi di kepualauan ini. Disusun oleh batuan sedimen umur Eosen atau sekitar 50 juta tahun yang lalu.

Kunjungan saya lakukan dalam rangkaian kegiatan survey, untuk world challenge Inggris. Progam kegiatan yang bersifat nonprofit, diselenggarakan oleh komunitas pelajar di Inggris. Survey dilakukan dalam waktu satu minggu, di tahun 1999. Pada saat itu penyeberangan antar pulau hanya dilayani dua jenis perahu, perahu cepat bermotor. Perahu tersebut menempuh waktu 8 jam pelayaran, sedangkan pilihan lainya dengan harga lebih murah, perahu kayu. Penyeberangan jenis perahu tersebut diperlukan waktu satu malam, atau 12 jam.

Perahu berlabuh di Muara Siberut, pelabuhan yang berada di sebelah selatan Pulau Siberut. Setelah singgah dipelabuhan ini, kemudian perahu bertolak ke pelabuhan di sebelah utara, ke Pelabuhan Muarasikabaluan. Dari muara ini, kemudian perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu sampan. Perahu yang dibuat dari satu batang pohon besar, kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi perahu. Panjangnnya tidak lebih dari 3 meter, dengan bantuan perahu tempel dan dayung untuk mengendalikan haluan. Arahnya berlawanan dengan arus sungai Siberut, sehingga dibutuhkan waktu lama ke kampung Madobak.

Saya menginap di rumah warga, milik Sikerei Amana Jaminan. Saya menduga nama sukunya bukan demikian, mengingat pengaruh Katolik telah datang seiring pendudukan kolonial di sebagian Sumatera. Sikerei Aman Jaminan menetap di dusun Madobak, Pulau Siberut, bagian dari kepulauan Mentawai. Pulau di sebelah barat Sumatra, disebut Nassau oleh para peintis pengarungan pelayaran Belanda. Merujuk kepada dua pulau yang dipisahkan oleh selat sempit, Pulau Siberut dan Pagai, atau disebut juga poggies.

Rumah kayu panggung, beralaskan ijuk dengan dua kamar dan satu ruang keluarga. Tidak ada toilet, hanya pintu dapur yang menghadap ke arah sungai. Kemudian di bagian depan berupa balai-balai dari papan, tempat menerima tamu. Rumahnya sederhana, tidak ada mebel apalagi kursi dan meja, semuanya menggunakan amparan dari anyaman daun yang ditata sedemian rupa. Jika gelap datang dikampung ini, hanya penerangan lampu minyak saja yang memberikan penerangan. selebihnya adalah gelap pekat menyergap kampung. Bilaman diperlukan keluar rumah jelang malam, paling menggunakan lampu sorot batere. Untuk penerangan di bagian dalam rumah, menggunakan pelita berbahan bakar minyak tanah. Bila keluarga yang berkecukupan, menggunakan lampu pompa petromax.

Di rumah Sikerei atau dukun kampung, malam itu menerima kunjungan orang sakit. Seorang lelaki dari kampung lain, mencari kesembuhan melaui kemampuan pengobatan tradisional Sikerei. Gaduh gendang yang dipukul bertalu-talu membentuk ritme yang berulang-ulang. Tidak ada nada hanya pukulan yang membentuk nada-nada yang membangkitkan euforia. Sikerei atau dukun suku di pulau Siberut, menari ritmik mengikuti tabuhan. Menurutnya adalah simbol burung yang menari, dicirikan dengan penggunaan asesoris daun yang dikepal tangan kemudian dilebarkan seperti sayap.

Diujung proses ritual pengobatan, sikerei menggoncangkan lonceng seukuran kepalan tangan, dibunyikan senyaring mungkin. Sambil berjalan menunduk seperti menghalau roh jahat, kemudian diantarkannya di ke pintu keluar.  Si sakit terkulai lemah, mungkin terkena demam berkepanjangan yang tidak kunjung sembuh. Ia hanya bersender di dinding rumah kayu, menitipkan badannya yang nyaris limbung akibat meriang dan sakit kepala.

Demikian sepenggal pengalaman saya, mengunjungi suku Mentawai di Pulau Siberut.

Berkesempatan mengikuti sepenggal ritus para Sabulungan. Kepercayaan orang Siberut, yang menempati kepulaan Mentawai. Praktek-praktek dukun tersebut masih ditemui hingga kini, walaupun keberadaanya pernah dipangkas secara sistematis melalui Rapat Tiga Agama pada pemerintahan Soekarno pada 1954. Pelarangan memeluk kepercayaan tersebut melukai kedaulatan, dan hak padangan hidup. Sabulungan adalah identitas budaya di kepulauan Mentawai.

Praktik pengobatan oleh Sikerei
Praktik pengobatan menggunakan bahan herbal