Tiga gunungapi yang tidak bisa dipisahkan, gunungapi Bedil, Wayang dan Windu menuai cerita dan sejarah yang panjang. Sejarah bumi jajaran gunungapi selatan Jawa Barat yang muncul sejak umur Pliosen, kemudian mulai membangun dirinya sejak setengah juta tahun yang lalu. G. Bedil tingginya 2086 m dpl., berada di sebelah utara G. Wayang 2198 dpl. Kemudian kearah selatannya ditutup oleh G. Windu 2147 m dpl. Ketiga kerucut tersebut membentuk punggungan memanjang utara selatan, kemudian menyerong ke baratlaut ditutup oleh kerucut G. Bedil.
Sebagian besar wilayahnya ditutupi oleh perkebunan teh milik negara, kini kepemilikannya sebagian besar sudah bergulir ke pihak swasta. Perkebunan teh di Pangalengan, khususnya di sekitar lokasi ini hadir sejak dibukanya undang-undang agraria tahun 1870. Kebijaksanaan pemerintah Kolonial Belanda, membuka investasi swasta untuk mengelola perkebunan di priangan. Sebuah kebijakan luar negeri, untuk urusan wilayah kolonial. Sebagai upaya politik liberalisasi penguasa kolonial, untuk mengelola perkebunan lebih modern dan menghilangkan tanam paksa. Dampanyak adalah penguasaan lahan oleh para juragan-juragan teh. Tidak hanya Kawasan Pangalengan selatan, tetapi mendesak hingga berbatasan dengan G. Tilu. Penguasaan wilayah terluas di Pangalengan dikuasai oleh K.A.R Bosscha. Juragan teh di Priangan, kemudian turut menyumbang lahirnya kota Bandung modern.
Tanpa gunungapi pada juragan tidak akan hadir, karena tanah yang subur adalah hasil pelapukan material letusan. Mengendap di sekitar lereng, seiring waktu lapuk dan berubah menjadi media tanam yang subur.
Ketiga gunungapi tersebut hadir bersamaan dengan gunungapi di sebelah utaranya, G. Malabar. Menempati batas Cekungan Bandung dan tinggian Pangalengan. Sedangkan Wayang-Windu berada di dataran tinggi Pangalengan. Duduk dielevasi antara 1400 sampai dengan 2180 m dpl. Dicirikan dengan rona buminya berupa perbukitan terjal, dibentuk oleh hasil aliran dan kubah lava dan perbukitan yang tererosi kuat.
G. Bedil berada dibagian paling utara, dari jajaran trio gunugapi dataran tinggi Pangalengan. Dari penelitian sebelumnya, menyatakan umur pembentukannya sekitar 0.19 juta tahun yang lalu (Bogie dan Mackenzie, 1998). Penentuan umur tersebut berdasarkan contoh lava yang diambil dengan teknik coring/bor, dan dianlisa menggunakan metode K-Ar. Metode yang menggunakan penanggalan kalium-argon, didasarkan pada pengukuran produk peluruhan radioaktif dari isotop kalium (k) menjadi Argon (Ar).
Disebelah selatan, G. Wayang duduk berdampingan dengan G. Windu. kedua kerucut tersebut memiliki sejarah pembentukan gunungapi yang tidak sama. G. Wayang memiliki kawah berbentuk tapal kuda, terbuka ke arah barat. Menandakan zona lemah pada saat letusan memiliki indikasi arah selatan utara. Sedangkan G. Windu memiliki dua kawah.
Berada di dua wilayah administrasi Pangalengan. G. Wayang berada di Tarumajaya, sedangkan G. Windu di Wanasuka di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada dalam disebelah selatan, G. Malabar. Gunungapi ini menjadi batas Cekungan Bandung dengan tinggian Pangalengan.
G. Wayang dicirikan dengan bentuknya yang terpancung, menandakan kegiatan letusan di masa lalu. Bagian puncaknya berbentuk kubah, ciri hasil kegiatan pasca eksplosif. Tekanan gasnya berkurang, energinya menghasilkan aliran lava yang bersifat asam, komposisi silika tinggi dan temperatur lava rendah. Mengakibatkan lava tidak mengalir jauh, namun berkumpul di pusat letusan, membentuk kubah dan menutupi atau menyumbat kepunda. Kondisi demikian biasa ditemui di sistem gunungapi yang lahir dari zona penunjaman. Dalam pengukuran umur absolut K-ar, menghasilkan umur 0.49 juta tahun yang lalu (Bogie dan Mackenzie, 1988). Sedangkan pengukuran pada lava G. Windu adalah 0.10 juta tahun yang lalu.
Dengan mengurutkan umur batuan dari sampel lava yang diambil, menunjukan G. Wayang terbentuk terlebih dahulu. Hadir sejak 490.000 tahun yang lalu, kemudian disusul oleh pembentukan G. Bedil di sebelah utara, 190.000 tahun yang lalu. Kemudian ditutup oleh aktivitas G. Windu, sekitar 100.000 tahun yang lalu.
G. Windu memiliki lapangan kawah, memperlihatkan manifestasi di permukaan. Di sebelah selatannya adalah komplek kawah Burung, di Wanasuka. Terbuka ke arah tenggara, berbentuk memanjang timurlaut-baratdaya. Kawahnya berada di lereng sebelah tenggara, dengan Panjang sekitar 1,8 km (pengukuran menggunakan google map). Kompleks kawah tersebut menghasilkan manifestasi berupa hadirnya uap air panas/fumarol, dan semburan belerang/solfatara. Kemudian manifestasi mata air panas, berasosiasi dengan sumber panas gunungapi.
Produknya adalah mata air panas, menandakan keberadaan sumber panas yang berasal dari magma. Ciri panas bumi yang dipancarkan di bawah gunungapi, baik yang masih aktif maupun yang telah dorman.Mata air panas dimanfaatkan sebagai sarana pariwisata Cibolang. Dialirkan ke kolam-kolam, dimanfaatkan sebagai sarana wisata kesehatan. Biasanya warga menggunakan sebagai sarana untuk pengobatan, mengingat airnya mengandung konsentrasi belerang yang cukup tinggi. Untuk mengurangi temperature, pengelola menggunakan sumber mata air dingin, kemudian diatur agar suhu tidak lebih dari 45 derajat celcius.
Kawah lainya berada di sebelah timur. Berbatasan dengan lereng G. Wayang. Kawah tersebut menghadap ke timur, dengan sisi terpanjang kawah sekitar 230 meter. Terlihat dengan jelas kegiatan alterasi yang masih berlangsung, mengakibatkan sebagian besar batuan diperlukannya mengalami pelapukan.
Pendakian Gunung Wayang
Jalur pendakian bisa dilalui melalui kompleks kawah G. Wayang. Jarak tempuhnya tidak lebih dari seribu meter, namun jalur yang dilaluinya mendaki hingga terjal. Dari arah kawah jalur mendaki bau belerang menyergap saat melintasi lapangan kawah. Didominasi oleh batuan yang telah lapuk, akibat kegiatan alterasi. Dari bongkah ukuran besar, terfragmen-kan menjadi ukuran-ukuran kecil, dilapisi oleh hasil alterasi. Manifestasi di permukaan ini mengakibatkan proses perubahan komposisi mineralogi batuan di sekitar kawah. Menghasilkan lempung, oksida, kuarsa, atau sulfide logam.
Bahaya melintasi kawah adalah kemunculan gas lemas, bila terhirup bisa menyebabkan kematian. Sehingga melintasi kawah Wayang diperlukan kewaspadaan, dan menghindari terlalu lama di kawasan kawah. Diusahakan agar tidak duduk atau jongkok, karena berat jenis gas CO2/Karbon Dioksida lebih berat dibandingkan udara. Gas tersebut biasanya hadir tidak berbau, mengalir diatas 60 cm permukaan tanah dan menuruni lereng. Bila terkena cahaya matahari, gas tersebut akan terurai.
Dibeberapa tempat ditemui solfatara, dan fumarole, menandakan sumber panas dekat. Di sebelah baratnya didapati sumber mata air panas, kemudian disalurkan ke kolam-kolam pemandian.
Tinggi puncaknya sekitar 2182 m dpl. Ditempati oleh lava tebal, terkekarkan karena mengalami pelapukan. Menjelang puncak, jalurnya semakin terjal. Mengindikasikan bagian puncaknya disusun oleh aliran lava hasil kegiatan letusan efusif. Terlihat rekahan yang terbentuk, menjadi jalan satu-satunya menuju puncak. Sehingga pendakian menuju titik tertinggi G. Wayang, berpotensi terpeleset, atau bahaya jatuhan batuan (rock fall).
Panorama di puncak memperlihatkan arah pandang ke segala arah. Di selatan terlihat hamparan perkebunan teh Malabar, ke arah timur dan tenggara terlihat punggungan G. Kendang-Papandayan di Garut. Kemudian ke arah utaranya adalah punggungan G. Bedil dan G. Malabar.
Potensi lainya adalah pemanfaatan sumber mata air panas, digunakan untuk kegiatan wisata. Diantaranya kolam air panas Cibolang, di lereng sebelah selatan G. Windu. Berasal dari Kawah Burung, kemudian dialirkan oleh warga ke kolam pemandian. Kemunculan air panas di lokasi ini menandakan hadirnya magma, sistem air tanah dangkal, kemudian naik ke permukaan melalui pola struktur yang mendukung naik ke permukaan.
Bedil-Wayang-Windu memberikan berkah. Pascakegiatan letusannya menghasilkan tanah yang subur, rona bumi yang menawan hingga sumber energi yang mendukung energi bersih.

