Selepas membangun jejaring lintasan kereta api, Kolonial Belanda mengusahakan memperpendek jarak tempuh antar wilayah. Dengan cara membangun jejaring layanan melalui transportasi udara. Sejak 1919, transportasi udara secara komersial telah berkembang. Diawali dengan jalur antara Eropa, menggunakan pesawat Fokker.
Kehadiran transportasi udara di Hindia Belanda, diulas dalam artikel De Toestand van het Verkeerswezen in Ned-Indie. Laporan kondisi transportasi di Hindia Belanda, pada majalah Spoor en Tramwegen, 22 April 1948. Menuliskan jaringan transportasi udara regional di Hindia Belanda (Indonesia), mencapai 10.000 km pada tahun 1941. Kemudian berkembang melalui jaringan udara hingga 20.000 km. Pada tahun 1941 telah melayani 38.000 penumpang, 124 ton surat, dan 333 ton barang diangkut. Hingga pada tahun 1948 melonjak hingga mampu mengangkut 140.000 penumpang, lebih dari 1000 ton surat, dan 8.400 ton barang diangkut setiap tahunnya.
Peningkatan tersebut merupakan keunggulan pengangkutan transportasi melalui udara. Sebagai alternatif layanan yang tidak mampu dikerjakan melalui transportasi darat, seperti layanan kereta api. Selain itu transportasi udara mampu memangkas waktu. Layanan melalui laut antara Batavia (Jakarta)-Banjarmasin-Balikpapan sejauh 1520 km, tempo 3 hari. Sedangkan menggunakan transportasi udara, mampu dipersingkat menjadi 7 jam perjalanan. Sehingga layanan udara menjadi alternatif transportasi, seiring dengan perkembangan ekonomi di Hindia Belanda.
Dalam laporan KNILM-nummer (1938), KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) perusahaan penerbangan, milik Hindia Belanda. Perusahaan negara yang beroperasi secara tunggal, melayani penerbangan sipil menjelang perang dunia ke-dua. Berdiri pada 1928, melayani penerbagan dalam dan luar negeri, hingga pada pascaperang. Kemudian pada 1947 diambil alih menjadi KLM Interinsulair Bedrijf. Selanjutnya pada 1949 dinasionalisasi menjadi perusahaan BUMN, melalui Garuda Indonesia.
Awal perintisan pelayanan penerbangan sipil, menemui banyak kendala. Seperti daya jelajah dan kondisi pesawat masih menggunaan baling-baling ganda. Teknologi kabin yang belum memiliki kompresi udara, menyebabkan harus terbang rendah. Sehingga diperlukan landasan darurat, antar tujuan. Untuk memenuhi keselamatan penerbangan, kemudian dibuatlah lapangan terbang rintisan. Sebagai sarana landasan darurat bagi pesawat yang menempuh perjalanan di beberapa jalur layanan di Hindia Belanda.
Daerah Jawa bagian barat, dibangun landasan pendek darurat pada 1935. Diantaranya Jawa. Tjigading (Kiri)J Muntok (Kiri) Serang (Kiri) Pameungpeuk (Kiri) Tangerang (H) Tomo (H) Buitenzorg (Kiri) Cheribon (Kiri) Soekaboemi (Tjikembar) (Kiri) Tjidahoe (H) Batavia (Tjililitan) (V) Songgom (H) Tjileungsir (H) Tegal (L) Dekasi (H) Pekalongan (Kiri) Krawang, dan Rajdamandala.
Dalam keterangan Atlas van de vliegvelden, landingsterreinen en watervliegtuigkampen ten behoeve van het burgerluchtverkeer in Nederlandsch-Indië (1931). Panduan berupa Atlas bandara, landasan pacu, dan pangkalan pesawat amfibi untuk keperluan penerbangan sipil di Hindia Belanda. Menguraikan diantaranya landasan pacu darurat di sekitar Rajamandala. Melayani pendaratan darurat penerbangan komersial, hingga untuk kebutuhan militer.
Pada peta lama lembar Tjipanas (1922) ditulis sebagai noodlandingstrerrein. Landasan pesawat udara untuk kebutuhan darurat militer. Landasan pesawat udara yang diperuntukan kebutuhan militer, dalam menghadapi perang dunia ke-dua. Rintisan kemudian berkembang untuk melayani penerbangan sipil pada 1935.
Berada di jalan utama yang menghubungkan Batavia ke Bandung, dikenal dengan Jalan Raya Pos, melalui jembantan lama Ci Tarum di Mandalawangi. Berupa lapangan datar dengan bentuk persegi panjang, berah timur-barat, sejajar dengan jalan lama Ciranjang-Cipatat, melalui jembatan lama Ci Tarum. Saat ini jalan ini di alihkan ke arah utara, melalui jembatan baru. Elevasinya di sekitar 310 meter di atas muka laut. Dalam keterangannya, diltutupi oleh rumput yang terus dipelihara.
Lapangan tersebut diapit oleh dua sungai, Ci Pabuaran di sebelah utara, kemudian Ci Kondang di selatan. Kedua sungai tersebut, bergabung dengan Ci Tarum di sekitar Pasir Kutamaneuh. Ci Tarum menjadi batas bagian barat, dan ke arah berlawanan dibatasi oleh tinggian Kiara.
Keberadaanya saat ini sudah tidak terlihat jelas, telah bersalin rupa menjadi lapangan bola Pabuaran. Bagian barat kini ditempati sebagian besar rumah warga, kemudian ke arah timurnya masih ditutupi vegetasi berupa perkebunan. Didapai jalan penghubung memotong kompleks warga. Dari lapangan bola kemudian Kantor Desa Mandalawangi, terus ke arah timur hingga RW 12. Disebut jalan Babakan Kurnia, membentang timur-barat yang diperkirakan batas luar bagian selatan dari landasan pacu.
Menurut keterangan warga, Bapak Nuriaman. Menurut keterangan orang tuanya, daerah tersebut merupakan lapangan udara terpendek. Dibangun oleh Belanda (Hindia Belanda), sebagai landasan pacu pesawat militer. Kemudian pascakemerdekaan, sekitar tahun 1960-an masih berwujud lapangan. Namun seiring waktu beralih menjadi perkebunan warga dan rumah hunian. Sebagian besar tanahnya berada di penguasaan Angkatan Udara Indonesia/AURI.

